Ironi Sergapan Omicron Kala Prokes Melonggar
Omicron, yang terdeteksi pertengahan Desember lalu, terus bertambah hingga awal 2022. Disiplin protokol kesehatan di ruang publik dan penanganan pasien positif di lokasi isolasi masih banyak dikeluhkan.
Nurul (19) mengawali tahun 2022 dengan isolasi di Rumah Sakit Darurat Covid-19 Wisma Atlet Kemayoran, Jakarta Pusat. Ia terkonfirmasi positif Covid-19 sepekan setelah kepulangan dari Inggris.
Ketika dihubungi Jumat (7/1/2022), kondisinya sudah membaik. Jika hasil tes reaksi berantai polimerasi (PCR) pada hari kesepuluh perawatannya negatif, pelajar yang baru selesai mengenyam pendidikan strata satu ini sudah bisa kembali ke kampung halamannya di Sulawesi Selatan.
Namun, ada hal lain yang bisa menahannya lebih lama. Vonis terinfeksi varian Omicron.
”Hasil tes PCR terakhir sudah dikirim ke laboratorium untuk dites apa ada varian Omicron atau tidak. Kalau benar, (waktu isolasi) tambah empat hari lagi. Aku sempat tanya ke tenaga kesehatan di sini kapan hasilnya akan keluar. Katanya lama, enggak ada kepastian. Aku dengar dari teman-teman yang kena Omicron dan duluan dikarantina, pengumuman di hari ketujuh (isolasi),” ucapnya.
Nurul wajib mengikuti peraturan yang ada jika terkonfirmasi varian Omicron. Memperketat protokol kesehatan, termasuk tes dan perawatan, adalah hal utama dalam menghadapi pandemi yang hampir dua tahun melanda dunia.
Sejak di Inggris, ia selalu menjaga diri meskipun warga setempat abai mengenakan masker dan menjaga jarak. Sistem tes dan telusur Covid-19 yang ketat dan terkontrol di ”Negeri Tiga Singa” itu pun membuatnya merasa lebih terlindungi.
Sepulangnya ke Tanah Air pada malam Natal lalu, ia juga rajin melakukan tes antigen mandiri. Dua kali sehari dengan alat tes yang didapatkan secara gratis.
Social distancing not too much. Sempat diramaikan penumpang pesawat lain yang tiba dari Hong Kong.
Namun, ia tidak bisa mengelak dari kemungkinan terpapar SARS-CoV-2 penyebab Covid-19 yang terus bermutasi. Selain ketidakpatuhan warga di Inggris, sepanjang perjalanan ke Indonesia, ia kerap menjumpai orang yang abai protokol kesehatan di pesawat dan beberapa bandara transit.
Di Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, misalnya, ia dan pelaku perjalanan luar negeri atau repatriasi lainnya harus berkumpul sebelum keluar untuk karantina. Setiap orang melalui pos pemeriksaan imigrasi, Satgas Covid-19, hingga tes PCR.
Nurul berada di Terminal 3 sejak pukul 22.00 hingga pukul 00.00, sebelum pergi ke salah satu hotel untuk karantina. ”Social distancing not too much. Sempat diramaikan penumpang pesawat lain yang tiba dari Hong Kong,” katanya.
Belakangan, Nurul baru tahu kalau ada penumpang satu pesawat dengannya yang positif Covid-19. Orang itu kemungkinan besar yang membuatnya merasakan gejala Covid-19 pada 29 Desember 2021. Meriang di hari itu berkembang menjadi pening, dahak di tenggorokan, dan hidung tersumbat selang beberapa hari kemudian.
Tes antigen mandiri sama sekali tidak memberi sinyal positif Covid-19. Ia pun memesan beberapa obat ke hotel tempatnya dikarantina bersama seorang kawan yang juga pelajar dari Inggris.
”Tanggal 1 Januari kondisi sudah membaik, cuma dahak doang di antara saluran hidung dan mulut. Pagi besoknya, di hari terakhir karantina, kami diminta tes swab PCR dan enggak curiga akan positif. Ternyata, pukul 7 malam pihak hotel kasih tahu kalau kami sama-sama positif Covid-19,” katanya.
Baca juga : Pelaku Perjalanan Luar Negeri Sumbang 81 Persen Kasus Covid-19 Jakarta
Malam itu juga, Nurul dan teman sekamarnya dirujuk untuk isolasi. Mereka dirawat dalam satu kamar di Tower 5. Meskipun dalam kondisi fisik dirasa bugar, ia memperketat protokol kesehatan setiap kali meninggalkan kamar untuk mengambil jatah makanan atau obat maupun ketika beraktivitas fisik di tempat terbuka yang menjadi zona merah.
Sepenglihatannya, tidak ada batasan bagi pasien untuk bermobilitas di dalam atau luar gedung rawat inap. Setiap pasien bisa sekadar berjalan kaki atau berolahraga di taman, termasuk mengambil barang pesanan dari salah satu pos yang membatasi zona merah dan hijau.
RSDC Wisma Atlet Kemayoran menggunakan Tower 4 dan Tower 7 untuk karantina pelaku perjalanan luar negeri. Sementara, Tower 5 dan Tower 6 untuk isolasi pasien positif Covid-19, dengan salah satu lantai di setiap tower digunakan untuk merawat pasien Omicron.
Repatriasi
Koordinator Humas RSDC Wisma Atlet Kemayoran Kolonel Mintoro Sumego menyebutkan, mayoritas pasien yang dirawat di sana adalah pelaku perjalanan luar negeri. Tren ini, menurut catatannya, muncul sejak akhir November.
Kantor Imigrasi Kelas I Khusus TPI Soekarno-Hatta mencatat peningkatan perjalanan luar negeri sejak September 2021, lantaran pelonggaran mobilitas dan tidak ada larangan perjalanan.
Sejak September hingga 29 Desember, terjadi peningkatan kedatangan dan keberangkatan. Untuk kedatangan secara berturut-turut 52.443 orang, 73.464 orang, 88.928 orang, dan 98.977 orang. Sementara keberangkatan secara berturut-turut 51.542 orang, 56.593 orang, 78.773 orang, dan 95.635 orang.
Adapun secara keseluruhan, sejak 1 Januari hingga 29 Desember, 732.706 orang datang dan 669.303 orang berangkat.
Mintoro memaparkan, repatriasi yang terinfeksi Covid-19 memiliki riwayat perjalanan dari sejumah negara. Mayoritas dari Malaysia, Uni Emirat Arab, Turki, Arab Saudi, dan Hongkong.
”Sejak akhir November, pasien positif repatriasi paling banyak. Tadinya, kalau di awal September masih 50 banding 50 antara repatriasi dan warga rujukan FKTP (Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama). Sekarang, repatriasi bisa 90 persen sendiri,” katanya.
Peningkatan tersebut sejalan dengan kenaikan jumlah pasien harian yang dirawat di sana. Pada 7 Januari, RSDC Wisma Atlet Kemayoran merawat 1.435 pasien. Jumlah ini meningkat dari 655 pasien yang dirawat inap pada 31 Desember 2021.
Belakangan jumlah pasien juga naik lebih dari 10 kali lipat ketimbang rata-rata jumlah pasien harian pada awal Desember 2021. ”Angka terendah di Desember, itu 114 pasien pada tanggal 10. Ini hanya beberapa saat setelah pemerintah pusat mengumumkan varian Omicron masuk ke Indonesia pada 16 Desember,” ucapnya.
Baca juga : Antre 8-9 Jam demi Dapatkan Fasilitas Karantina Pemerintah
Di sisi lain otoritas bandara mulai mengetatkan alur karantina sejak 28 Desember. Supaya tak ada antrean dan kerumunan, mereka yang akan karantina mandiri langsung diberangkatkan ke hotel usai tes usap.
Untuk mereka yang karantina di fasilitas pemerintah, tetap menunggu di bandara hingga hasil tes usap keluar. Satgas Covid-19 pun mengupayakan penumpang dalam satu pesawat bisa menjalani karantina di lokasi yang sama guna memutus mata rantai penularan Omicron.
Alur karantina sempat dikeluhkan banyak orang. Christina (26), pekerja migran asal Kota Depok di Jawa Barat salah satunya. Ia yang kembali ke Tanah Air dari Amerika Serikat pada 15 Desember itu harus mengantre seharian di Terminal 3 hingga bisa masuk ke tempat karantina di Rusun Pasar Rumput.
”Antrean banyak orang dan sama sekali sulit jaga jarak. Kami juga tidak dapat kepastian lokasi karantina,” ujarnya.
Protokol kesehatan lainnya juga tak berjalan optimal. Tidak ada penjarakan di dalam bus menuju lokasi karantina, sopir hanya mengenakan masker, dan pedagang bebas masuk keluar bus ketika antrean masuk parkiran rusun.
Sungguh ironi, berpotensi tertular Covid-19 saat proses karantina mencegah penyebaran korona.