Beban Ganda Penyakit Indonesia
Indonesia mengalami beban ganda penyakit. Berbagai penyakit menular belum tereliminasi, sedangkan penyakit tidak menular makin meningkat. Pandemi Covid-19 mempersulit situasi. Perlu upaya keras mengatasi.
Transisi demografi, perubahan gaya hidup, dan pola makan menyebabkan transisi epidemiologi. Bagi Indonesia, hal itu menimbulkan beban ganda penyakit lebih dari tiga dekade. Sejumlah penyakit menular masih mengancam, sementara prevalensi penyakit tidak menular terus meningkat. Ditambah lagi, persoalan gizi buruk belum teratasi.
Penyakit menular yang menjadi persoalan dari waktu ke waktu, antara lain, tuberkulosis, HIV/AIDS, hepatitis, demam berdarah dengue, pneumonia, dan diare. Juga penyakit yang masih endemik di sejumlah daerah, seperti malaria, rabies, dan filariasis.
Sementara penyakit tidak menular yang makin meningkat adalah penyakit kardiovaskular (gangguan jantung dan stroke), diabetes, gagal ginjal, kanker, dan sirosis hati. Penyakit kardiovaskular terus meningkat karena pertambahan jumlah penduduk lanjut usia yang berisiko lebih tinggi dibanding usia lain.
Baca juga: Upaya Pengendalian Penyakit Jantung Masih Lemah
Menurut laman Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kementerian Kesehatan (Kemenkes), hasil riset Analisis Beban Penyakit Nasional dan Subnasional Indonesia Tahun 2017 yang dilakukan Balitbangkes bekerja sama dengan Institute For Health Metrics and Evaluation (IHME) menunjukkan, tahun 1990-2017 terjadi transisi epidemiologi penyakit menular ke penyakit tidak menular.
Pada 1990, komposisi penyakit menular, kesehatan ibu-anak, dan gizi (CMNN) 51,3 persen, penyakit tidak menular 39,8 persen, dan cedera 8,9 persen. Tahun 2017, penyakit CMNN turun jadi 23,6 persen, sedangkan penyakit tidak menular meningkat jadi 69,9 persen, dan cedera 6,5 persen.
Buku Transisi Demografi dan Epidemiologi: Permintaan Pelayanan Kesehatan di Indonesia tahun 2019 dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional menyebutkan, tiga penyakit tidak menular tertinggi penyebab kematian dan berkontribusi terhadap tingginya jumlah tahun yang hilang (DALYs)—tolok ukur untuk menggambarkan status kesehatan—tahun 2017 adalah stroke, penyakit jantung iskemik, dan diabetes.
Adapun tiga penyakit CMNN yang berkontribusi terhadap tingginya DALYs adalah tuberkulosis (TBC), diare, dan infeksi saluran pernapasan bawah (pneumonia). Meski telah turun, kontribusi penyakit menular masih cukup besar dalam menyebabkan kematian di Indonesia.
Penanggulangan tuberkulosis
Data TBC Indonesia tahun 2020 menunjukkan, 67 persen kasus terjadi pada usia produktif. Meski penanggulangan penyakit akibat Mycobacterium tuberculosis ini telah dilaksanakan lebih dari 70 tahun, Indonesia masih menjadi negara peringkat ke-2 tertinggi di dunia setelah India. Jumlah kasus per tahun sekitar 845.000 dan kematian 98.000 atau setara 11 kematian per jam.
Tahun 2018, insidens TBC Indonesia 316 per 100.000 penduduk. Menurut ”WHO Global TB Report 2020”, kurang gizi merupakan faktor risiko terbesar TBC.
”Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2020” yang diterbitkan Kemenkes tahun 2021 mencatat, pada 2020, ditemukan 351.936 kasus TBC, menurun dibandingkan penemuan kasus TBC 2019 yang 568.987 kasus. Angka keberhasilan pengobatan tuberkulosis tercatat 82,7 persen, masih di bawah target 90 persen.
Penanggulangan TBC terkendala pandemi Covid-19 karena fokus program kesehatan dialihkan untuk mengendalikan pandemi. Hal ini berisiko meningkatkan jumlah kasus serta sumber penularan TBC.
Baca juga: Pengendalian Tuberkulosis Global Butuh Komitmen Kolaboratif
Pada Agustus 2021 terbit Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 67 Tahun 2021 tentang Penanggulangan TBC. Hal itu menegaskan komitmen Indonesia untuk eliminasi TBC tahun 2030, yakni menurunkan insidens menjadi 65 per 100.000 penduduk. Perpres mengamanatkan penanggulangan TBC didukung seluruh jajaran lintas sektor dan masyarakat.
Untuk itu, dilakukan integrasi penanganan TBC dengan tengkes di 160 kabupaten/kota, meningkatkan deteksi penderita, digitalisasi pemantauan minum obat, serta menerapkan mekanisme agar penderita TBC berobat sampai sembuh.
Infeksi dan gizi buruk
Pada 2020, penyebab kematian bayi baru lahir (neonatal) terbanyak adalah berat badan lahir rendah. Penyebab kematian lain adalah asfiksia, infeksi, kelainan kongenital, tetanus neonatorium, dan lainnya.
Penyakit infeksi menjadi penyebab kematian pada kelompok usia 29 hari-11 bulan, yakni pneumonia (73,9 persen) dan diare (14,5 persen). Penyebab lain adalah kelainan kongenital jantung, meningitis, demam berdarah, penyakit saraf, dan lainnya. Penyebab kematian tertinggi pada anak balita adalah diare, disusul pneumonia serta penyakit lain.
Terkait gizi buruk yang pada gilirannya menyebabkan tengkes (stunting), Survei Status Gizi Balita Indonesia oleh Balitbangkes terintegrasi dengan Survei Sosial Ekonomi Nasional dari Badan Pusat Statistik (BPS) 2019 menunjukkan prevalensi tengkes 27,67 persen, turun dibandingkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 yang 30,8 persen. Namun, angka tengkes diperkirakan meningkat selama pandemi Covid-19. Para ahli memproyeksikan prevalensi tengkes 32,5 persen.
Pandemi Covid-19 menurunkan kesejahteraan. BPS mencatat, jumlah penduduk miskin di Indonesia pada September 2020 mencapai 27,55 juta, meningkat dibandingkan September 2019 yang 24,79 juta. Juli 2021, BPS merilis, penduduk miskin pada Maret 2021 tercatat 27,54 juta.
Pandemi juga menyebabkan sejumlah pelayanan terkait pencegahan tengkes, seperti posyandu, kelas ibu hamil, bina keluarga balita, dan pendidikan anak usia dini, terkendala.
Akibat kekurangan gizi kronis, anak tengkes tidak bisa tumbuh kembang maksimal. Tingkat kecerdasannya rendah dan berisiko mengalami penyakit kronis, seperti diabetes, hipertensi, dan gangguan jantung di usia dewasa.
Hal ini dikhawatirkan membuat Indonesia gagal menikmati peluang bonus demografi di tahun 2020-2035. Saat jumlah penduduk usia produktif (15-64 tahun) lebih besar (70 persen) dibandingkan jumlah penduduk usia tidak produktif. Dengan komposisi penduduk itu diharapkan produktivitas dan kesejahteraan akan meningkat.
Baca juga: Perkuat Kolaborasi Mengentaskan Tengkes
Untuk mengatasi tengkes, terbit Prepres Nomor 72 Tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting. Targetnya, menekan prevalensi tengkes menjadi 14 persen pada 2024. Berbagai hal untuk menekan tengkes, seperti ketersediaan pangan, akses air bersih dan sanitasi, pengendalian infeksi, kemiskinan, akan ditangani bersama berbagai kementerian dan lembaga dipimpin Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN).
Sejauh ini, Indonesia telah mengalami dua gelombang pandemi Covid-19 yang meningkatkan jumlah kasus dan kematian, yaitu sepanjang Januari-Maret dan Juni-Agustus 2021. Orang lanjut usia atau mereka yang memiliki penyakit penyerta seperti diabetes, tekanan darah tinggi, gangguan jantung, paru-paru, serta kanker berisiko lebih besar mengalami keparahan.
Pengendalian dilakukan lewat vaksinasi dan penerapan protokol kesehatan, seperti mengenakan masker, menjaga kebersihan tangan, menjaga jarak, dan mengurangi mobilitas. Munculnya galur Delta, Omicron, serta kemungkinan galur-galur baru menjadi ancaman di tengah tantangan mengejar cakupan vaksinasi untuk mencapai kekebalan komunitas serta penurunan antibodi pada mereka yang divaksinasi pada awal 2021.
Penyakit tidak menular
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), meningkatnya penyakit tidak menular terutama didorong empat faktor risiko utama, yaitu pola makan tidak sehat, kurang aktivitas fisik, merokok, dan konsumsi alkohol. Penyakit tidak menular menimbulkan konsekuensi kesehatan yang berdampak bagi individu, keluarga dan komunitas, serta mengancam sistem kesehatan. Karena itu, pencegahan dan pengendalian penyakit menjadi penting.
Penyakit tidak menular terutama didorong empat faktor risiko utama, yaitu pola makan tidak sehat, kurang aktivitas fisik, merokok, dan penggunaan alkohol.
Data Riskesdas 2018 menunjukkan, 95,5 persen masyarakat Indonesia kurang mengonsumsi sayur dan buah. Kemudian 33,5 persen masyarakat kurang aktivitas fisik, 29,3 persen penduduk usia produktif merokok tiap hari, serta 31 persen mengalami obesitas sentral (penimbunan lemak perut). Obesitas sentral sebagai akibat gaya hidup dan pola makan tidak sehat berisiko menimbulkan diabetes, gangguan jantung, dan stroke.
Baca juga: Gemuk Itu Sumber Penyakit
Upaya pengendalian dilakukan pemerintah dengan membentuk puskesmas pelayanan terpadu penyakit tidak menular dan pos binaan terpadu (posbindu) yang melaksanakan kegiatan pemantauan dan deteksi dini faktor risiko penyakit tidak menular.
Namun, hal itu tidak cukup. Perlu diiringi dengan peningkatan taman dan lapangan olahraga, jalur pejalan kaki dan jalur sepeda, memperluas kawasan tanpa rokok, peningkatan cukai rokok, pengaturan kandungan gizi serta pembatasan lemak, gula, dan garam pada makanan siap saji dan makanan kemasan.
Berbagai upaya perlu dilakukan simultan dengan upaya pengendalian pandemi Covid-19. Dengan demikian, masyarakat tetap sehat dan selamat melewati pandemi.