Penanganan tengkes memerlukan komitmen yang kuat dari sejumlah pihak. Tengkes harus dipahami sebagai persoalan multifaktor, tidak hanya soal kesehatan.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tengkes atau stunting disebabkan oleh multifaktor. Karena itu, intervensi dari sejumlah pihak diperlukan untuk menanganinya. Komitmen yang kuat pun amat dibutuhkan yang disertai dengan konsistensi dalam menjalankan strategi.
Data Riset Kesehatan Dasar menunjukkan, prevalensi tengkes di Indonesia terus menurun. Pada 2013, tercatat prevalensi tengkes sebesar 37,2 persen dan menurun menjadi 30,8 persen pada 2018 dan 27,67 persen pada 2019. Ditargetkan, prevalensi tersebut bisa menurun menjadi 14 persen pada 2024.
Meski begitu, disparitas pada capaian prevalensi tengkes masih ditemui. Di sejumlah wilayah, prevalensi tengkes bahkan lebih dari 40 persen, yakni Nusa Tenggara Timur (43,82 persen) dan Sulawesi Barat (40.38 persen).
Wakil Presiden Ma’ruf Amin dalam Forum Nasional Stunting 2021 yang diikuti secara virtual di Jakarta, Selasa (14/12/2021), mengatakan, waktu yang dimiliki untuk mencapai target penurunan angka tengkes menjadi 14 persen kurang dari tiga tahun. Target yang cukup ambisius tersebut menjadi tantangan yang harus diselesaikan bersama oleh semua masyarakat.
”Komitmen yang kuat untuk memastikan semua aktor pelaksana harus bergerak dan mengerahkan upaya terbaiknya dalam upaya percepatan penurunan stunting. Koordinasi dengan pemangku kepentingan di tingkat pusat dan daerah hingga kelurahan juga harus diperkuat,” ujarnya.
Menurut dia, keterlibatan dan kerja kolaboratif dari semua tingkatan pemerintahan sangat penting untuk mengawal konvergensi program penanganan tengkes. Sumber daya yang diperlukan pun harus dipastikan tersedia.
Komitmen yang kuat untuk memastikan semua aktor pelaksana harus bergerak dan mengerahkan upaya terbaiknya dalam upaya percepatan penurunan stunting.
Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo, yang juga Ketua Pelaksana Program Percepatan Stunting, mengatakan, formulasi percepatan tengkes yang diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2021 memformulasikan upaya percepatan berbasis keluarga. Karena itu, strategi yang akan dijalankan akan lebih berfokus pada keluarga yang berisiko melahirkan anak tengkes.
”Kita juga menyiapkan kehidupan keluarga, pemenuhan asupan gizi, perbaikan pola asuh, peningkatan akses dan mutu pelayanan, serta peningkatan akses air minum dan sanitasi yang sehat,” katanya.
Hasto menambahkan, komitmen konvergensi intervensi program pengentasan tengkes juga telah disusun. Itu mulai dari peningkatan kualitas pelaksanaan percepatan tengkes, penelitian dan pengembangan, serta penyiapan kerangka pendanaan, baik yang bersumber dari APBN, APBD, APBDes, maupun sumber lainnya.
Staf Ahli Bidang Pengeluaran Negara Kementerian Keuangan Made Arya Wijaya menyampaikan, pemerintah telah memberikan dukungan pendanaan untuk pencegahan tengkes. Dukungan tersebut diberikan melalui mekanisme anggaran belanja kementerian/ lembaga serta mekanisme transfer ke daerah dan dana desa.
Pada 2021, belanja APBN untuk kementerian/ lembaga yang dialokasikan untuk 19 kementerian/lembaga terkait dengan penurunan angka tengkes meningkat dari semula Rp 32,9 triliun menjadi Rp 35,3 triliun. Rinciannya, Rp 2,4 triliun untuk intervensi spesifik, Rp 32,5 triliun untuk intervensi sensitif, dan Rp 400 miliar untuk dukungan dan koordinasi.
”Secara umum, dari tahun ke tahun, alokasi anggaran intervensi gizi sensitif lebih besar dari intervensi lainnya. Pada 2021, sebesar 92 persen dari total anggaran untuk intervensi gizi sensitif,” ujar Made.
Deputi Bidang Pembangunan Manusia, Masyarakat, dan Kebudayaan Kementerian Perencanaan dan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Subandi Sardjoko menyampaikan, penajaman kegiatan dan sasaran dalam upaya penanganan tengkes perlu dilakukan, antara lain dengan mengerahkan intervensi lebih kepada keluarga dengan 1.000 hari pertama kehidupan serta mencakup intervensi spesifik lebih dari 90 persen. Kerja sama dengan akademisi dan mitra lain juga diperlukan untuk menetapkan target penurunan tengkes di setiap daerah.
”Intervensi dilakukan berbasis data. Karena itu, pendataan untuk mendeteksi keluarga yang memiliki anak lahir dengan keadaan stunting, keluarga yang mempunyai remaja calon pengantin atau pasangan baru menikah, ibu hamil, dan ibu menyusui dengan anak usia 0-59 bulan juga diperlukan,” ucapnya.