Penyakit jantung bisa dicegah melalui pengendalian faktor risiko, seperti hipertensi, obesitas, dan diabetes melitus. Upaya promotif dan prevenstif pun perlu lebih masif dilakukan.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Prevalensi penduduk yang memiliki penyakit jantung terus meningkat. Hal itu disebabkan lemahnya pengendalian faktor risiko penyakit tersebut. Hal itu terlihat dari tingginya angka hipertensi dan obesitas, tingginya jumlah perokok, serta minimnya aktivitas fisik dan pemenuhan gizi seimbang.
Hasil Riset Kesehatan Dasar menyebutkan, prevalensi penyakit jantung koroner berdasarkan diagnosis dokter di Indonesia sebesar 0,5 persen pada 2013. Jumlah itu meningkat menjadi 1,5 persen pada 2018. Masalah lainnya adalah tingginya biaya kesehatan untuk penyakit jantung.
Dari biaya pelayanan yang dikeluarkan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, penyakit jantung merupakan penyakit dengan biaya tertinggi yang mencapai Rp 10,5 triliun atau 51,6 persen dari seluruh biaya yang dikeluarkan untuk penyakit katastropik.
Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono dalam acara HUT Ke-36 Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita, di Jakarta, Selasa (9/11/2021), mengatakan, penguatan intervensi di sisi hulu perlu terus ditingkatkan. Masyarakat perlu diajak mencegah faktor risiko dari penyakit kardiovaskular.
”Intervensi terhadap faktor risiko membutuhkan kerja sama lintas sektoral di berbagai bidang keilmuan. Hal ini penting untuk menekan angka kematian akibat penyakit kardiovaskular yang saat ini sudah mencapai 17,9 juta kasus,” katanya.
Adapun faktor risiko yang dapat melemahkan fungsi jantung, yakni merokok, konsumsi alkohol, pola makan tidak sehat, dan kurang aktivitas fisik. Gaya hidup yang buruk tersebut lalu memicu hipertensi, diabetes, serta kelebihan berat badan dan obesitas yang meningkatkan risiko penyakit jantung.
Risiko peningkatan kasus penyakit jantung di Indonesia pun dikhawatirkan bisa semakin besar karena tingginya angka faktor risiko tersebut. Prevalensi perokok pemula tercatat 29,3 persen. Prevalensi penduduk yang mengalami obesitas 21 persen dan prevalensi diabetes mencapai 30 persen.
Gaya hidup yang buruk tersebut kemudian memicu hipertensi, diabetes, serta kelebihan berat badan dan obesitas yang dapat menyebabkan penyakit jantung.
Dokter spesialis jantung dan pembuluh darah RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita, Bambang Dwiputra, mengatakan, tingginya pengaruh faktor risiko dengan kasus jantung terlihat dari data karakteristik pasien serangan jantung di Jakarta. Dari 1.024 pasien di 56 pusat layanan jantung di Jakarta, 54 persen mengalami hipertensi, 26 persen mengalami diabetes melitus, 30 persen mengalami kolesterol tinggi, dan 60 persen merupakan perokok.
”Inovasi pun dibutuhkan untuk membantu pasien mengendalikan faktor risiko yang dimiliki. Karena itu, melalui aplikasi Harkit I-Care yang baru saja diluncurkan diharapkan dapat membantu upaya prevensi primer dan prevensi sekunder dari pasien jantung,” tuturnya.
Bambang menjelaskan, aplikasi I-Care bisa digunakan untuk membantu pasien pasca-serangan jantung untuk melakukan prevensi sekunder agar tidak mengalami perburukan kondisi. Selain itu, aplikasi ini juga bisa dimanfaatkan pasien yang baru menjalani pemeriksaan kesehatan keseluruhan atau medical check up untuk mengendalikan faktor risiko yang dimiliki.
Aplikasi ini telah melibatkan berbagai pihak, meliputi, antara lain, dokter umum, spesialis jantung dan pembuluh darah, psikolog, spesialis gizi klinik, konselor berhenti merokok, spesialis kedokteran olahraga, dan dinas kesehatan di DKI Jakarta.
Secara terpisah, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin dalam acara HUT Yayasan Jantung Indonesia mengatakan, perubahan perilaku menjadi kunci utama untuk mencegah risiko kematian akibat penyakit jantung. Kasus kematian pada usia dini akibat penyakit jantung pun meningkat. Setidaknya, 85 persen kematian dini ini terjadi di negara berpenghasilan menengah ke bawah, termasuk Indonesia.
”Kita harus terus meningkatkan upaya promotif dan preventif dengan melakukan perilaku ’cerdik’ atau cek kesehatan secara berkala, enyahkan asap rokok, rajin aktivitas fisik, diet sehat dengan kalori seimbang, istirahat cukup, dan kelola stres. Kewaspadaan diri juga perlu ditingkatkan dengan mengukur berat dan tinggi badan, tekanan darah, serta kadar gula darah,” kata Budi.