Pandemi Covid-19 membuat penderita penyakit jantung berisiko mengalami gejala parah. Perawatan untuk penyakit kardiovaskular juga terganggu. Upaya penurunan kasus, di tingkat individu dan negara, menjadi penting.
Oleh
ATIKA WALUJANI MOEDJIONO
·4 menit baca
Pandemi Covid-19 menyebabkan penderita penyakit jantung berisiko besar mengalami gejala parah. Padahal tanpa Covid-19 pun, penyakit kardiovaskular yang meliputi gangguan jantung dan stroke, merupakan pembunuh nomor satu di dunia.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan, 17,9 juta orang meninggal karena penyakit kardiovaskular pada 2019. Jumlah itu merupakan 32 persen dari semua kematian di dunia.
Riset Kesehatan Dasar tahun 2018 mendapatkan, prevalensi penyakit jantung berdasarkan diagnosis dokter di Indonesia sebesar 1,5 persen. Artinya, 15 dari 1.000 orang atau sekitar 2.7 juta penduduk Indonesia didiagnosis menderita penyakit jantung. Sample Registration System (SRS) Indonesia tahun 2014 menunjukkan, penyakit jantung koroner merupakan penyebab kematian tertinggi kedua setelah stroke. Penyakit kardiovaskular banyak menyerang kelompok usia produktif, kesakitan dan kematiannya menyebabkan beban ekonomi dan sosial di masyarakat.
Covid-19 mengancam kehidupan 520 juta penderita penyakit kardiovaskular di seluruh dunia. Selain terisolasi dari teman dan sanak saudara agar tidak tertular virus korona, perawatan penyakit kardiovaskular pun terganggu. Sejumlah tindakan medis, seperti pemasangan stent dan bedah jantung, terpaksa ditunda saat ada lonjakan kasus di mana seluruh sumberdaya kesehatan difokuskan pada penanganan Covid-19.
Otot terkuat
Jantung berukuran sekepalan tangan dan merupakan otot tubuh terkuat, demikian laman Federasi Jantung Dunia (WHF). Jantung mulai berdetak saat janin berusia tiga minggu dalam kandungan. Jika orang hidup sampai 70 tahun, jantung berdetak 2,5 miliar kali.
Meski demikian, jantung bisa menjadi lemah akibat faktor risiko perilaku seperti merokok, kecanduan alkohol, pola makan tidak sehat, dan kurang gerak. Efek dari faktor risiko tersebut muncul sebagai peningkatan tekanan darah, glukosa darah, dan lemak darah, serta kelebihan berat badan dan obesitas.
Penderita diabetes atau peningkatan glukosa darah melebihi normal, dua kali lebih berisiko menderita dan meninggal karena penyakit kardiovaskular. Penyebabnya, diabetes merusak pembuluh darah dan saraf. Penderita diabetes tipe 2 berisiko memiliki tekanan darah dan kadar kolesterol tinggi serta kelebihan berat badan.
Orang yang kurang gerak mengalami peningkatan risiko kematian 20–30 persen terkait gangguan kesehatan. Namun, 150 menit aktivitas fisik sedang per minggu mampu menurunkan risiko penyakit jantung 30 persen dan risiko diabetes 27 persen. Aktivitas fisik sedang antara lain berjalan, menari, melakukan pekerjaan rumah tangga, dan berkebun.
Kolesterol bermanfaat membentuk dinding sel, vitamin D, hormon steroid, dan hormon seks serta membantu penyerapan sejumlah vitamin yang larut lemak. Namun, kelebihan kolesterol menyebabkan timbunan plak sehingga pembuluh darah menyempit dan aliran darah terhambat. Pada akhirnya terjadi penyakit kardiovaskular.
Efek serupa ditimbulkan oleh rokok. Yakni, merusak pembuluh darah, meningkatkan tekanan darah, menurunkan jumlah oksigen darah, serta meningkatkan risiko pembekuan darah.
WHO menyatakan, faktor penentu peningkatan penyakit kardiovaskular adalah globalisasi, urbanisasi, dan penuaan populasi. Penentu lain, kemiskinan, stres, dan faktor keturunan.
Akses penderita penyakit kardiovaskular dan penyakit tidak menular lain ke layanan kesehatan yang sesuai dengan kebutuhan lebih rendah dibanding penduduk negara maju. Akibatnya, deteksi sering terlambat dan orang meninggal pada usia lebih muda.
Lebih dari tiga perempat kematian akibat penyakit kardiovaskular terjadi di negara berpenghasilan rendah dan menengah. Penduduk negara-negara itu sering tidak mendapatkan manfaat dari program perawatan kesehatan dasar untuk deteksi dini dan pengobatan orang dengan faktor risiko penyakit kardiovaskular. Akses penderita penyakit kardiovaskular dan penyakit tidak menular lain ke layanan kesehatan yang sesuai dengan kebutuhan lebih rendah dibanding penduduk negara maju. Akibatnya, deteksi sering terlambat dan orang meninggal pada usia lebih muda.
Selain di tingkat individu, penyakit kardiovaskular juga membebani perekonomian negara. Data Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, biaya perawatan penyakit jantung meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2014, penyakit jantung menghabiskan dana BPJS Kesehatan Rp 4,4 triliun, kemudian meningkat jadi Rp 7,4 triliun di tahun 2016 dan pada 2018 naik jadi Rp 9,3 triliun.
Karena itu, penting mengendalikan faktor risiko. Di tingkat individu, berhenti merokok; mengurangi garam, gula, dan lemak dalam makanan; makan lebih banyak buah dan sayuran; beraktivitas fisik secara teratur; dan menghindari konsumsi alkohol, terbukti mengurangi risiko penyakit kardiovaskular.
Di tataran negara, kunci pengurangan penyakit kardiovaskular adalah memasukkan intervensi manajemen penyakit kardiovaskular dalam paket cakupan kesehatan universal. Dalam hal ini, deteksi penyakit kardiovaskular sedini mungkin sehingga konseling dan pengobatan dapat dimulai. Melakukan pengobatan hipertensi, diabetes, dan lemak darah tinggi, untuk mengurangi risiko penyakit kardiovaskular.
Kebijakan kesehatan yang menciptakan lingkungan kondusif untuk membuat pilihan sehat, terjangkau, dan tersedia, serta menekan polusi sangat penting agar orang terdorong mengadopsi atau mempertahankan perilaku sehat, termasuk beraktivitas, pola makan, dan tidak merokok. Polusi udara bertanggung jawab atas 25 persen kematian akibat kardiovaskular.
Untuk mengingatkan dan meningkatkan perhatian terhadap penyakit jantung dan berbagai masalah kesehatan terkait, diadakan Hari Jantung Sedunia setiap 29 September. Tahun ini bertepatan hari ini.