Covid-19 Berdampak Jangka Panjang terhadap Kesehatan Paru-paru dan Jantung
Sebuah penelitian menunjukkan bahwa, setelah tiga bulan pulang dari rumah sakit, hampir 60 persen penyintas terdeteksi mengalami kerusakan pada paru-parunya akibat Covid-19.
Oleh
SATRIO PANGARSO WISANGGENI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Gangguan jangka panjang pada fungsi paru-paru dan jantung sering kali masih dirasakan para pasien yang sudah dinyatakan negatif Covid-19. Hal ini diyakini akan terjadi lebih dari tiga bulan. Peneliti meyakini, proses rehabilitasi penyintas sesegera mungkin menjadi kunci pemulihan.
Penelitian yang dilakukan para peneliti dari Medical University Innsbruck Austria menemukan bahwa sejumlah keluhan, khususnya pada paru-paru dan jantung, akan terus berlanjut setelah pasien dinyatakan negatif Covid-19. Gejala ini baru berangsur-angsur hilang dalam hitungan bulan.
Ini adalah penelitian komprehensif pertama yang melihat dampak jangka panjang Covid-19, khususnya terhadap jantung dan paru-paru.
”Kabar buruknya adalah para penyintas memang masih mengalami gangguan paru-paru setelah pulang dari RS. Namun, kabar baiknya, pemulihan juga terjadi. Ini menunjukkan kalau paru-paru punya mekanisme untuk memperbaiki sendiri,” kata Dr Sabina Sahanic, Senin (7/9/2020), dalam presentasinya pada European Respiratory Society (ERS) International Congress yang digelar secara virtual.
Sahanic adalah mahasiswa doktoral di Medical University Innsbruck yang melakukan penelitian ini bersama timnya yang beranggotakan Associate Professor Ivan Tancevski, Profesor Judith Loffler-Ragg, dan Dr Thomas Sonnweber.
Dalam penelitiannya, sebanyak 86 pasien direkrut selama 29 April-9 Juni. Para pasien dijadwalkan untuk dievaluasi kesehatannya sebanyak tiga kali setelah dipulangkan dari rumah sakit pada minggu keenam, ke-12, dan ke-24. Dalam setiap evaluasi tersebut, para pasien diperiksa kondisi klinisnya, analisis saturasi oksigen dan karbondioksida, fungsi paru, CT-scan, dan ekokardiogram (biasa disebut USG jantung).
Dari rangkaian evaluasi tersebut terlihat bahwa pemulihan membutuhkan waktu yang lama. Pola kerusakan jaringan paru-paru akibat radang dan cairan yang terlihat sebagai bercak berwarna putih atau ground glass yang terlihat pada hasil CT-scan pun berkurang.
Saat evaluasi periode minggu ke-6, bercak ground glass ini terlihat di 88 persen partisipan. Namun, pada minggu ke-12, bercak ini hanya terlihat di 56 persen partisipan studi. Di evaluasi minggu ke-6, sebanyak 58,5 persen partisipan juga terlihat mengalami gangguan pada bilik (ventrikel) jantung sebelah kiri, tetapi kondisi ini cepat pulih.
Saat ini, Sahanic dan kawan-kawan sedang menunggu waktu untuk periode waktu evaluasi terakhir, minggu ke-24 atau bulan ke-6.
Temuan ini menyadarkan kita ke fakta bahwa lebih dari 50 persen pasien masih mengalami kerusakan pada paru-paru dan jantungnya setelah 12 minggu pulang dari rumah sakit.
”Studi ini menunjukkan betapa pentingnya menerapkan sistem yang akan mem-follow up pasien setelah Covid-19. Dengan ditemukannya bahwa ada kerusakan paru-paru setelah sembuh, mungkin perlu adanya penanganan yang lebih awal terhadap kondisi ini,” tutur Sahanic.
Munculnya keluhan lanjutan memang banyak terjadi pada penyintas Covid-19. Penyintas Covid-19 asal Indonesia, Juno (36), mengatakan, nyeri di dada masih sering dirasakan tiga bulan setelah ia dinyatakan negatif. Jantung berdebar juga masih sering ia rasakan.
”Setelah saya dinyatakan negatif, saya minta untuk diobservasi oleh dokter spesialis jantung juga, selain dokter paru-paru dan penyakit dalam. Dokter jantung bilang memang ada irama jantung yang aneh,” kata Juno yang menjadi inisiator kelompok penyintas sindrom Long Covid-19.
Lebih awal lebih baik
Peneliti dari Grenoble Alps University France, Yara Al-Chikhanie, bahkan meyakini penting bagi pasien untuk segera latihan pernapasan setelah lepas dari ventilator.
Hal ini karena para pasien Covid-19 berat tidak bisa aktif bergerak ketika harus menjalani perawatan intensif dengan ventilator selama berminggu-minggu. Aktivitas fisik yang rendah ini berujung pada berkurangnya kekuatan otot; termasuk otot pernapasan yang menentukan kapasitas pernapasan.
Untuk itu, dibutuhkan terapi rehabilitasi fungsi pernapasan, dengan cara latihan fisik bernapas dan konsultasi mengenai bagaimana mengelola keluhan sesak napas yang masih sering muncul.
”Pasien yang mengikuti program rehabilitasi pernapasan pada pekan yang sama setelah lepas ventilator pulih lebih cepat daripada mereka yang menunggu dua pekan. Namun, ini semua tergantung apakah dokter menyatakan kondisinya sudah stabil,” kata Al-Chikhanie.
Presiden European Respiratory Society (ERS) Thierry Troosters mengatakan, selama ini bukti-bukti anekdotal bahwa penyintas Covid-19 masih mengalami keluhan pada sistem pernapasan dan jantungnya masih tersebar. Temuan Sahanic menjadi penting karena ini adalah penelitian komprehensif pertama yang melihat dampak panjang Covid-19 terhadap sistem pernapasan dan jantung.
”Temuan ini menyadarkan kita ke fakta bahwa lebih dari 50 persen pasien masih mengalami kerusakan pada paru-paru dan jantungnya setelah 12 minggu pulang dari rumah sakit,” kata Troosters yang juga profesor bidang ilmu rehabilitasi di KU Leuven, Belgia, dalam keterangan tertulis.
Troosters juga mengatakan, dengan temuan dari Al-Chikhanie, perlu ada kerangka kerja khusus yang mencakup terapi rehabilitasi pernapasan bagi para penyintas Covid-19. ”Pemerintah, otoritas kesehatan berbagai negara, harus mengetahui bahwa ada temuan ini dan menyiapkan kebijakan yang sesuai,” kata Troosters.