Ketidakseimbangan Lemak Darah Penyebab Musibah
Lemak dalam darah sangat diperlukan untuk aktivitas normal tubuh. Namun, perlu dijaga agar tidak terjadi ketidakseimbangan fraksi lemak yang bisa memicu gangguan jantung dan pembuluh darah.
Kolesterol sering kali ditakuti dan disalahpahami. Padahal, kolesterol dan trigliserida memiliki fungsi bagi tubuh.Kolesterol merupakan molekul mengandung lemak yang berperan penting, seperti membentuk dinding sel, sintesis vitamin D, hormon steroid, dan hormon seks. Kolesterol juga membantu penyerapan vitamin A, D, E, dan K yang larut lemak. Adapun trigliserida berfungsi sebagai sumber energi.
Kolesterol merupakan lemak tidak larut air sehingga dikemas dalam struktur lipoprotein agar bisa bersirkulasi dalam darah bersama trigliserida.
Beberapa protein yang mengangkut kolesterol adalah lipoprotein densitas sangat rendah (VLDL), lipoprotein densitas sedang (IDL), lipoprotein densitas rendah (LDL), lipoprotein densitas tinggi (HDL), dan kilomikron.
Baca juga : Kontroversi Kolesterol
Kolesterol dalam lipoprotein densitas rendah (K-LDL) beredar dalam darah dan diperlukan untuk perbaikan dinding sel. Adapun kolesterol dalam lipoprotein densitas tinggi (K-HDL) bertugas mengangkut kembali kelebihan kolesterol di pembuluh darah.
Masalah kesehatan terjadi jika keseimbangan fraksi lemak tubuh terganggu. Menurut Tri Juli Edi Tarigan, Ketua Divisi Endokrin Metabolik dan Diabetes Departemen Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (FKUI-RSCM), pada konferensi pers 17th Jakarta Endocrine Meeting tentang Pentingnya Pengelolaan Diabetes dan Dislipidemia, Kamis (12/8/2021), kondisi itu disebut dislipidemia, yakni kelainan metabolisme lipid (lemak) yang ditandai dengan peningkatan atau penurunan fraksi lipid dalam plasma. Dislipidemia merupakan faktor utama risiko penyakit kardiovaskular (penyakit jantung dan stroke) serta penyakit arteri perifer.
Jika jumlah K-LDL berlebihan, juga kolesterol non-HDL lain dan trigliserida, struktur lipoprotein cenderung mudah melekat dan menempel di dinding pembuluh darah, membentuk plak. Lama-kelamaan terjadi penyempitan pembuluh darah. Jika plak runtuh, pembuluh darah bisa tersumbat. Jika terjadi pada pembuluh darah jantung disebut serangan jantung, jika di pembuluh darah otak menjadi stroke. Sebab itu K-LDL dikenal sebagai kolesterol jahat, sedangkan K-HDL disebut kolesterol baik.
Tahun 2008, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan, prevalensi dislipidemia di dunia pada laki-laki 37 persen dan perempuan 40 persen. Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, ada 35,9 persen penduduk Indonesia dengan kolesterol total lebih besar atau sama dengan 200 mg/dl.
K-LDL tinggi tidak selalu terjadi pada orang gemuk. Ada yang langsing tapi kolesterol dan trigliserida sangat tinggi sejak muda. Ini biasanya karena genetik atau hiperkolesterolemia familial.
Masalahnya, sebagian besar dislipidemia tidak menunjukkan gejala alias asimtomatik. ”K-LDL tinggi tidak selalu terjadi pada orang gemuk. Ada yang langsing tapi kolesterol dan trigliserida sangat tinggi sejak muda. Ini biasanya karena genetik atau hiperkolesterolemia familial,” kata Tri Juli.
Tanda hiperkolesterolemia, antara lain, arkus senilis (warna putih keabuan pada tepi kornea mata), xantelasma di kelopak mata, dan xantoma (benjolan lemak) di tendon achilles, siku atau lutut. Trigliserida sangat tinggi bisa menyebabkan pankreatitis (radang pankreas) akut, hepatosplenomegali (pembengkakan hati dan limpa), parastesia (kesemutan atau mati rasa), sesak napas, gangguan kesadaran, serta lipemia retinalis (gangguan pembuluh darah retina dan penglihatan akibat pengentalan darah).
Penyebab dislipidemia primer adalah genetik, kadar K-LDL atau trigliserida sangat tinggi. Sementara penyebab sekunder adalah gaya hidup, seperti kurang aktivitas fisik, asupan makanan berlebihan, serta penyebab lain, seperti diabetes, penyakit ginjal kronik, hipotiroid, sirosis bilier, dan mengonsumsi obat-obat tertentu.
Tri Juli mengingatkan, perokok aktif, penderita diabetes, hipertensi, ada riwayat keluarga, penyakit ginjal kronik, penyakit inflamasi kronik, orang dengan obesitas sentral (laki-laki dengan lingkar pinggang > 90 cm dan perempuan > 80 cm), obesitas dengan indeks massa tubuh > 25 kg/m2, disfungsi ereksi, aterosklerosis atau aneurisma abdominal, laki-laki berusia > 40 tahun, serta perempuan berusia > 50 tahun dan menopause perlu pemeriksaan rutin untuk penapisan dislipidemia.
”Jangan tunggu ada serangan jantung atau stroke baru periksa profil lipid,” ujarnya.
Profil lipid merupakan pemeriksaan kolesterol, meliputi kolesterol total, K-LDL, K-HDL, dan trigliserida. Idealnya kolesterol total < 200 mg/dl, kolesterol LDL < 100 mg/dl, kolesterol HDL >40 mg/dl, trigliserida < 150 mg/dl.
Risiko tinggi dislipidemia
Staf Divisi Endokrinologi, Metabolisme dan Diabetes, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI-RSCM, Wismandari Wisnu, menyatakan, penderita diabetes memiliki risiko tinggi mengalami dislipidemia. Perburukan diabetes perlu dicegah dengan mengenali gejala. Diabetes adalah penyakit metabolik kronik yang ditandai dengan peningkatan kadar gula darah melebihi batas normal.
”Terapi tepat dan konsisten, bisa mengurangi komplikasi ataupun kematian pada penderita diabetes,” ujarnya.
Data Federasi Diabetes Internasional (IDF) 2019, Indonesia berada di peringkat ke 7 dunia dalam jumlah penderita diabetes. Riskesdas 2019 menunjukkan, penderita diabetes di Indonesia sekitar 10,7 juta orang.
Diabetes mulai banyak ditemukan pada usia muda. Hal ini terkait tingginya obesitas dan sindrom metabolik akibat perubahan gaya hidup perkotaan. Sebagian besar kasus diabetes di Indonesia tidak terdiagnosis. Pasien yang berobat dan terdiagnosis diabetes umumnya datang dengan setidaknya satu komplikasi.
Kesadaran untuk mengatasi diabetes secara awal masih sangat rendah. Padahal jika sudah ada komplikasi, biaya pengobatan sangat tinggi. Risiko kejadian kardiovaskular meningkat dua kali lipat pada penderita diabetes dengan risiko kematian 2,3 kali lipat. Kontrol glukosa darah yang buruk pada pasien diabetes akan mempercepat komplikasi kardiovaskular.
Komplikasi diabetes pada makrovaskular (pembuluh darah besar) adalah stroke, serangan jantung, dan penyakit arteri perifer, umumnya pada kaki yang menyebabkan gangren dan amputasi. Komplikasi pada mikrovaskular (pembuluh darah kecil) berupa spot hitam, katarak, glaukoma, dan kebutaan mata; gagal ginjal; serta gangguan saraf tepi berupa kesemutan, mati rasa, nyeri saat berjalan hingga kerusakan saraf.
Kontrol gula darah bisa dilakukan dengan pola makan, olahraga, dan obat. Jika pengobatan dengan antiglikemik oral tidak mencapai target, demikian Wismandari, pasien akan diberi insulin. Insulin juga diberikan pada kondisi khusus, penyakit akut, pada tindakan bedah, atau kehamilan.
Baca juga : Diabetes, ”Si Manis” yang Dihindari
Terapi insulin dimulai dengan insulin basal (kerja panjang/24 jam). Jika belum mampu mencapai target akan ditambah insulin bolus (kerja pendek) yang diberikan setiap waktu makan (tiga kali sehari).
”Insulin sangat aman. Pemberian insulin lebih awal untuk mencapai target kontrol gula darah akan mencegah komplikasi diabetes,” ujarnya.
Saat ini sudah ada bentuk insulin baru untuk mempermudah penggunaan. Antara lain insulin premix (basal dan bolus) untuk mengurangi jumlah suntikan per hari; insulin fix ratio combination (insulin basal dan GLP-1 RA) untuk efek samping minimal; ultra long acting insulin (degludec) dan insulin koformulasi, misalnya gabungan insulin degludec (kerja panjang) dengan insulin aspart (kerja pendek) yang membuat pemberian insulin lebih mudah.
Namun, gula darah tidak boleh terlalu rendah. Target optimal pengukuran kadar gula darah dengan HbA1c adalah 6,5-7.
Syahidatul Wafa dari Divisi Endokrinologi, Metabolisme dan Diabetes, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI-RSCM yang menjadi Ketua Jakarta Endocrine Meeting 2021, menambahkan, gula darah dibutuhkan untuk metabolisme dan kegiatan organ vital antara lain otak. Glukosa kurang dari normal (hiperglikemia) bisa fatal.
”Risiko hipoglikemia pada sistem kardiovaskular dan fungsi otak mirip hiperglikemia, namun lebih berbahaya. Angka kematian lebih tinggi,” katanya.
Menyeimbangkan lemak darah
Pengelolaan dislipidemia, demikian Tri Juli, bisa dilakukan dengan olahraga minimal 30 menit, 4-6 kali per minggu. Mengatur pola makan rendah kalori, banyak sayuran, buah, biji-bijian, ikan, daging tanpa lemak, membatasi lemak jenuh, lemak trans dan kolesterol, serta tidak merokok.
Baca juga : Pilihan Makanan Penting bagi Kesehatan Jantung
Obat untuk dislipidemia antara lain statin, fibrat, pengikat asam empedu, asam nikotinik, ezetimibe (penghambat penyerapan kolesterol dari makanan), penghambat proprotein konvertase subtilisin kexin tipe 9 (PCSK9), asam lemak omega-3, dan asam bempedoik.
Laman Badan Pengawas Makanan dan Obat (FDA) Amerika Serikat (AS) menyebutkan, 1 April 2021, FDA menyetujui obat penghambat PCSK9, yakni alirocumab, untuk pasien hiperkolesterolemia familial homozigot (HoFH), suatu kondisi genetik yang menyebabkan sirkulasi K-LDL sangat tinggi, hingga 500-1.000 mg/dl. Obat ini sebagai tambahan terapi lain untuk HoFH. Sebelumnya, obat disetujui pada 2015 untuk mengurangi risiko serangan jantung, stroke, dan angina, serta terapi hiperlipidemia primer.
Pada 11 Februari 2021, FDA menyetujui antibodi monoklonal evinacumab untuk HoFH. Adapun asam bempedoik disetujui FDA sebagai obat penurun K-LDL pada hiperkolesterolemia familial heterozigot sejak 21 Februari 2020.
Penelitian Maciej Banach dari Universitas Łódź, Polandia, bersama tim peneliti dari AS, Kanada. Jerman, Inggris, dan Italia, yang dipublikasi secara daring di JAMA Cardiology, 1 Juli 2020, pada 3.623 pasien di berbagai negara menunjukkan, asam bempedoik mampu menurunkan kadar K-LDL pada pasien hiperkolesterolemia dengan atau tanpa statin. Namun, asam bempedoik cenderung meningkatkan kadar asam urat dan kejadian gout.
Karena itu gaya hidup baik menjadi penting. Jika ada masalah segera atasi sebelum memburuk.
Baca juga : Perbanyak Asupan Pangan Nabati untuk Kesehatan Jantung