Pengendalian Tuberkulosis Global Butuh Komitmen Kolaboratif
Pandemi Covid-19 telah mendisrupsi layanan tuberkulosis global. Butuh kolaborasi semua pihak untuk mengembalikan program pengendalian tuberkulosis ke arah yang benar.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengendalian penyakit tuberkulosis atau TBC membutuhkan peran semua pihak. Tanpa kolaborasi, mustahil penyakit purba ini bisa dikendalikan. Pencapaian program pengendalian TBC yang selama ini diraih, tetapi berantakan akibat pandemi Covid-19, tidak akan bisa dikembalikan tanpa ada komitmen kolaborasi.
Demikian benang merah pernyataan sejumlah tokoh dunia saat membuka acara 52nd World Conference on Lung Disease yang diadakan oleh the Union dan digelar virtual, Selasa (19/10/2021) sore. Konferensi tahunan ini digelar mulai Selasa sampai Jumat (22/10/2021).
Presiden the Union Prof Guy B Marks menyampaikan, kesehatan global, terutama program pengendalian penyakit dalam dua tahun terakhir, berubah sangat cepat. Pandemi Covid-19 telah mendisrupsi program pengendalian berbagai penyakit dan layanan kesehatan. Penyakit yang menyerang kesehatan paru, seperti TBC, asma, penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), dan pneumonia masih menjadi persoalan kesehatan masyarakat global.
Seiring dengan faktor risiko kesehatan paru yang masih ada dan besarnya ancaman kesehatan yang diakibatkannya, perlu kolaborasi semua pihak untuk mengatasi penyakit terkait dengan paru, terutama TBC.
Menurut Marks, tema konferensi kali ini, yaitu Lung Health for All: Solutions to New Era, merupakan refleksi atas peristiwa yang dialami dunia dalam dua tahun terakhir. Berbagai riset dan inovasi serta praktik, baik yang akan dipaparkan selama konferensi, diharapkan menjadi jalan keluar bagi berbagai persoalan kesehatan paru global.
Kepala Ilmiah Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Soumya Swaminathan menyampaikan, pandemi Covid-19 telah membalikkan pencapaian program pengendalian TBC selama ini. Diagnosis, pengobatan, juga notifikasi kasus yang pada 2015 mencapai 7,1 juta menurun menjadi 5,8 juta tahun 2020. Diperkirakan ada lebih dari 40 juta kasus TBC yang tidak terdiagnosis.
Selain itu, untuk pertama kali dalam satu dekade terakhir, kasus meninggal dunia akibat TBC meningkat. Pada 2020 ada 1,5 juta orang meninggal karena TBC, di mana lebih dari 200.000 orang di antaranya mengalami koinfeksi dengan HIV.
Swaminathan berharap bahwa sumber daya riset yang saat ini difokuskan pada upaya melawan Covid-19 juga diarahkan pada program TBC. Selama ini, program penelitian dan pengembangan TBC global menghabiskan dana sekitar 0,9 miliar dollar AS per tahun dari kondisi ideal 2 miliar dollar AS. Sementara dalam hampir dua tahun terakhir dana riset dan pengembangan untuk Covid-19 global telah menghabiskan 10 miliar dollar AS.
”Mari kita hadapi bersama pandemi lain yang sudah lama ada. Saya menyeru pemerintah, industri kesehatan, juga ilmuwan, untuk berkolaborasi,” kata Swaminathan.
Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin mengatakan, disrupsi terhadap pelayanan TBC oleh pandemi Covid-19 tidak terhindarkan. Pencapaian yang selama ini diraih akan berantakan jika tidak ada komitmen yang kuat dari para pemimpin negara untuk memperbaikinya.
Mari kita hadapi bersama pandemi lain yang sudah lama ada. Saya menyeru pemerintah, industri kesehatan, juga ilmuwan, untuk berkolaborasi
Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2021 tentang Penanggulangan Tuberkulosis yang ditandatangani Presiden Joko Widodo beberapa waktu lalu menjadi bukti komitmen pemerintah dalam mengembalikan program pengendalian ke jalurnya.
Ketika Covid-19 menjadi pandemi semua komponen di dunia, mulai dari pemerintah, peneliti, industri kesehatan dan farmasi, hingga komunitas berjuang bersama untuk mengembangkan alat diagnosis, terapi, vaksin, dan menerapkan intervensi sosial lainnya untuk melawan Covid-19. Budi menekankan bahwa spirit yang sama diperlukan juga dalam pengendalian TBC.
”Tanpa dukungan pemerintah, peneliti, lembaga, dan mitra internasional, persoalan TBC tidak akan bisa diselesaikan,” kata Budi.
Seorang perawat sekaligus penyintas TBC resisten obat dari Kenya, Naomi Wanjiru, mengatakan, meski bisa disembuhkan, TBC tetap ada dan menelan korban jiwa jutaan penduduk dunia.
Di tengah pandemi, ujar Wanjiru, pengendalian TBC butuh komitmen politik yang tinggi. Di tataran pelayanan, layanan Covid-19 perlu diintegrasikan dengan layanan TBC. Layanan yang ramah dan responsive gender juga diperlukan.