Pedoman Kementerian Kesehatan Hambat Pengendalian Pandemi
Warga, dokter, dan epidemiolog meminta Pedoman Kementerian Kesehatan edisi revisi ke-5 agar diperbarui. Pedoman ini dinilai melemahkan pelacakan.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pedoman pencegahan dan penanganan Covid-19 oleh Kementerian Kesehatan yang diterbitkan pada Juli 2020 lalu telah menjadi penghambat pengendalian pandemi. Pedoman ini diharapkan segera diperbarui sehingga pelaksanaan tes, lacak, dan isolasi bisa dilakukan secara lebih masif.
Dorongan agar dilakukannya perubahan terhadap pedoman ini disampaikan para epidemiolog, tenaga kesehatan, dan masyarakat, yang dihubungi terpisah, Jumat (8/5/2021). Pedoman ini dianggap menjadi salah satu penghambat tidak dilakukannya pemeriksaan dan pelacakan secara masif sehingga mempersulit pemutusan rantai penularan Covid-19. Selain itu, pedoman ini juga menyebabkan pasien kerap terlambat ditangani sehingga bisa berakibat fatal.
Pedoman Kementerian Kesehatan edisi revisi ke-5 di halaman ke-46 menyebutkan, pelacakan kontak (trace) dilaksanakan setelah kasus suspek/probable ditemukan. Kontak erat kemudian dikarantina selama 14 hari. Pemeriksaan dengan tes usap reaksi rantai polimerase (PCR) hanya akan dilakukan jika kontak erat muncul gejala.
Pedoman ke-5 ini harus direvisi karena hal ini bisa membahayakan nyawa pasien.
”Aturan ini yang menyebabkan keluarga kami meninggal,” kata Soleh, warga di Peterongan, Kabupaten Jombang, Jawa Timur.
Ia menjelaskan, pada awal Desember 2020 ada satu rekan kerja kakaknya dinyatakan positif Covid-19 dan dirawat di rumah sakit. Kakaknya salah satu kontak eratnya. Namun, saat meminta tes usap PCR di puskesmas ditolak karena dianggap tidak ada gejala, hanya diminta isolasi mandiri.
Soleh menambahkan, ketika kakaknya kemudian mengeluhkan sakit sesak napas, puskemas setempat hanya melakukan tes cepat antibodi dan hasilnya negatif. Namun, gejala sakit sesak napas semakin parah sehingga pada 18 Desember 2020 meninggal dunia.
”Hasil rontgen dokter menunjukkan, pasien suspek Covid-19 karena ada flek di paru-paru,” katanya.
Kisah serupa ini banyak dikeluhkan warga lainnya, bahkan juga dialami tenaga kesehatan (nakes). Tri Maharani, dokter spesialis emergensi yang jadi sukarelawan Lapor Covid-19 mengatakan, banyak nakes yang menjadi kontak erat kesulitan mendapatkan pemeriksaan PCR dan hanya diminta isolasi mandiri karena tidak bergejala.
Padahal, menurut dia, pasien Covid-19 yang sebelumnya seolah dalam kondisi baik bisa mengalami pemburukan tiba-tiba dan jika itu terjadi, biasanya akan sulit tertolong. ”Pedoman ke-5 ini harus direvisi karena hal ini bisa membahayakan nyawa pasien,” ujarnya.
Epidemiolog Indonesia di Griffith University, Dicky Budiman, mengatakan, kecepatan tes, lacak, dan isolasi merupakan kunci untuk memutus rantai penularan. ”Setiap kontak erat seharusnya diperiksa, baik punya gejala atau tidak. Justru keberhasilan memutus rantai penularan adalah kalau kita berhasil menemukan dan mengisolasi orang-orang tanpa gejala ini sebanyak mungkin sehingga tidak menularkan ke orang lain,” ucapnya.
Menurut Dicky, minimal 80 persen dari kontak erat harus ditemukan dalam waktu kurang dari 72 jam untuk kemudian dilaporkan dan diisolasi. Masyarakat yang memiliki kontak erat ini, umumnya, tidak akan menjalani isolasi mandiri, tanpa ada hasil tes.
Karena itu, hasil tes usap yang masif dengan hasil yang cepat menjadi sangat penting. Semakin lama menemukan kontak erat dan dilakukan isolasi, penularan akan terus terjadi.
Karena itu, menurut Dicky, pedoman pencegahan dan penanganan Covid-19 Kementerian Kesehatan edisi revisi ke-5 ini harus segera direvisi. Jika tidak, kesenjangan antara kasus yang terdapat di masyarakat dan ditemukan melalui pemeriksaan akan semakin besar sehingga wabah semakin tidak terkendali dan konsekuensinya tingkat kematian akan meningkat.
Kembali capai rekor
Laporan Satuan Tugas Penanganan Covid-19, penambahan kasus harian di Indonesia kembali mencapai rekor tertinggi dengan adanya 10.617 kasus baru. Penambahan ini didapatkan dari pemeriksaan terhadap 42.605 orang sehingga rasio kasus positif mencapai 25 persen atau dari 4 orang yang diperiksa terdapat 1 kasus yang positif.
Angka rasio kasus positif ini jauh lebih tinggi dari ambang aman yang disarankan WHO sebesar 5 persen. Menurut Dicky, rasio kasus positif hingga 25 persen ini menunjukkan kasus tidak terkendali. Di sisi lain, hal ini juga menunjukkan jumlah tes yang sangat kurang dan cakupannya yang terbatas.
”Tes harusnya dilakukan tidak hanya untuk diagnosa, tetapi juga untuk menemukan kasus-kasus baru,” ucapnya.
Pemodelan epidemiologi oleh MRC Centre for Global Infectious Disease Analysis, Imperial College London menunjukkan, penambahan kasus Covid-19 di Indonesia bisa mencapai 100.835 per hari. Dengan tes dan lacak yang terbatas, estimasi penambahan kasus ini akan semakin melebar.