Penularan Covid-19 Tak Terkendali, Rumah Sakit Semakin Kritis
Penambahan kasus baru Covid-19 di Indonesia mencapai 9.321 dalam sehari dan merupakan rekor tertinggi. Fasilitas kesehatan pun kian kritis di sejumlah daerah.
Oleh
Ahmad Arif
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Penambahan kasus baru Covid-19 di Indonesia mencapai 9.321 dalam sehari dan merupakan rekor tertinggi. Namun, estimasi kasus harian yang belum ditemukan karena terbatasnya jumlah tes mencapai 100.835 kasus. Laju penambahan kasus yang sangat tinggi menyebabkan rumah sakit penuh dan pasien tidak tertangani.
Penambahan kasus pada Kamis (7/1/2021) didapatkan dari pemeriksaan terhadap 44.791 orang, sehingga rasio kasus positif (positivity rate) mencapai 20 persen. Sedangkan jumlah kasus aktif mencapai 114.766 orang dengan suspek 68.753 orang. Untuk rasio kasus positif dalam sepekan mencapai 22,9 persen atau dari 5 orang yang diperiksa ada 1 yang positif.
Sebanyak 29 persen pemeriksaan dilakukan di Jakarta, yang menunjukkan masih tingginya kesenjangan cakupan tes dengan daerah lain, selain jumlahnya yang sangat kurang. Perhitungan berbasis data epidemiologi dari Imperial College London menunjukkan, kasus harian di Indonesia diestimasi sudah mencapai 100.835 dalam sehari.
Besarnya kesenjangan antara yang ditemukan dan estimasi harian ini menunjukkan, banyaknya kasus yang tidak ditemukan karena keterbatasan jumlah tes dan pelacakan. Situasi ini menyebabkan laju penularan semakin tinggi dan akhirnya memicu lonjakan pasien di rumah sakit.
Tri Maharani, dokter emergensi yang menjadi relawan Lapor Covid-19 mengatakan, rumah sakit semakin penuh sehingga semakin sulit merujuk pasien. "Hari ini tidak bisa lagi merujuk sejawat nakes di Mojokerto, padahal butuh perawatan segera. Mayoritas ICU di Jawa Timur sudah penuh," kata dia.
Laporan yang diterima Lapor Covid-19 menunjukkan, pada Kamis siang ICU dan ruang isolasi di RSUD Dr Soetomo telah penuh, sehingga terdapat 51 pasien suspek dan positif Covid-19 yang masih tertahan di UGD. Pasien harus mengantre masuk ke ICU dan ruang isolasi, menunggu ada pasien lain dipulangkan atau meninggal dunia.
"Kondisi yang sama terjadi di Jakarta dan sekitarnya," kata Tri Maharani.
Menurutnya, sebagian rumah sakit juga menutup layanannya, karena banyaknya tenaga kesehatan yang tertular Covid-19. Data Lapor Covid-19 menunjukkan, dalam sepekan terakhir tenaga kesehatan yang meninggal karena Covid-19 bertambah 30 orang, sehingga total yang meninggal sudah mencapai 555 orang.
Penuhnya rumah sakit, menurut Tri, berisiko meningkatkan risiko kematian pasien. Data Satuan Tugas Penanganan Covid-19, jumlah korban jiwa pada Kamis bertambah 224 orang, dengan yang terbanyak di Jawa Timur sebanyak 68 orang, Jawa Tengah 47 orang, dan Jakarta 21 orang. "Ada laporan juga warga positif yang meninggal di rumah karena ditolak ke rumah sakit," kata dia.
Perketat pembatasan
Meski penambahan kapasitas ruang perawatan terus dilakukan, menurut peneliti layanan kesehatan yang juga dosen Fakultas Kedokteran Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Joko Mulyanto, hal itu tetap tidak akan bisa mengejar laju penambahan pasien jika penularannya tidak dikendalikan. "Penambahan ICU tidak akan bisa dilakukan dengan cepat, tidak akan bisa mengejar penambahan pasien seperti saat ini," kata dia.
Menurut Joko, rumah sakit di banyak daerah sudah kolaps dan ini saatnya kita harus mulai memilih menangani pasien yang masih bisa diselamatkan atau tidak. ”Ini pernah dilakukan Italia saat mengalami puncak pertama gelombang Covid-19 beberapa bulan lalu,” kata Joko.
Untuk mencegah terus bertambahnya pasien, jalan satu-satunya yang harus dilakukan segera adalah menyetop lonjakan kasus dengan mengurangi mobilitas melalui pembatasan sosial skala besar (PSBB) secara lebih ketat. ”Agar penularannya bisa terputus, selama pembatasan ini juga harus dilakukan tes, lacak, dan isolasi secara masif. Kita tidak akan bisa memutus penularan tanpa melakukan itu,” katanya.
Joko menambahkan, pengendalian kasus penularan juga sangat menentukan kesuksesan program vaksinasi kita. Jika tingkat penularan masih tinggi, efektivitas vaksin untuk membentuk kekebalan kawanan akan kurang, bahkan bisa gagal tercapai.
Joko juga mengingatkan agar pemerintah tidak lagi menerapkan PSBB secara setengah-setengah. Jika PSBB-nya kembali longgar hanya akan menyengsarakan masyarakat secara sosial dan ekonomi, tetapi kita gagal memutus penularan sehingga kasusnya tetap tinggi.