Pembatasan Sosial Tidak Efektif Tanpa Tes, Lacak, dan Isolasi
Kebijakan pemberlakuan kembali PSBB hanya akan efektif mengendalikan penularan jika diikuti penguatan serta masifnya pemeriksaan, pelacakan, dan isolasi. Tanpa hal ini, laju penularan sulit dikendalikan.
Oleh
Ahmad Arif
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Laju penularan Covid-19 di Indonesia semakin tak terkendali dan telah menyebabkan fasilitas kesehatan berada dalam kondisi kritis karena dibanjiri pasien. Pembatasan sosial berskala besar yang akhirnya diterapkan kembali hanya akan efektif menurunkan penularan Covid-19 jika diikuti dengan upaya masif dalam tes, lacak, dan isolasi.
Penambahan kasus Covid-19 di Indonesia pada Rabu (6/1/2021) mencapai rekor tertinggi dengan 8.854 kasus baru. Penambahan kasus ini didapatkan dengan pemeriksaan terhadap 44.734 orang sehingga rasio kasus positif (positivity rate) Indonesia sebesar 19,8 persen.
Rasio kasus positif ini sedikit rendah dibandingkan angka dalam sepekan yang mencapai 23,11 persen, tetapi masih sangat tinggi dibandingkan ambang maksimal yang disarankan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) 5 persen.
”Apa yang terjadi saat ini merupakan konsekuensi dari tingginya mobilitas penduduk, terutama setelah libur panjang di akhir November 2020, pemilihan kepala daerah, dan libur pergantian tahun. Situasi ini sudah jauh-jauh hari diperingatkan bakal terjadi,” kata epidemiolog kolaborator LaporCovid-19, Iqbal Elyazar.
Menurut Iqbal, penuhnya rumah sakit terutama terjadi karena penularan yang tidak terkendali. ”Banyaknya orang tanpa gejala yang tidak dites dan berkeliaran telah meneruskan rantai penularan virus ini. Itu prinsip ilmu dasar wabah penyakit infeksi dengan isolasi dan karantina. Jadi, tes dan lacak sangat penting,” katanya.
Sekalipun ada tren peningkatan pemeriksaan dibandingkan rata-rata sepekan terakhir, jumlahnya masih sangat kecil dibandingkan tingkat penularan virus di masyarakat. Pemodelan epidemiologi oleh Imperial College London, yang bisa diakses di Our World in Data, menunjukkan, penambahan kasus di Indonesia bisa mencapai 100.835 kasus per hari.
Dengan adanya penambahan kasus baru yang lebih tinggi dibandingkan pasien yang sembuh 6.767 orang, jumlah kasus aktif di Indonesia telah mencapai 112.593 orang. Kondisi ini menyebabkan penuhnya fasilitas kesehatan di Jawa rata-rata di atas 70 persen, bahkan sebagian okupansinya mencapai 100 persen.
Menurut Iqbal, pembatasan sosial berskala besar (PSBB) Jawa-Bali yang diberlakukan kali ini harus lebih ketat dan tegas dibandingkan sebelumnya. Selain mencegah kolapsnya layanan kesehatan, PSBB yang ketat dibutuhkan untuk mendukung kesuksesan vaksin.
Tingginya transmisi dan kenaikan jumlah terinfeksi akan mengurangi efektivitas program vaksinasi, apalagi dengan vaksin yang efikasinya tidak mencapai 100 persen. (Iqbal Elyazar)
”Tingginya transmisi dan kenaikan jumlah terinfeksi akan mengurangi efektivitas program vaksinasi, apalagi dengan vaksin yang efikasinya tidak mencapai 100 persen,” katanya.
Iqbal mengatakan, PSBB kali ini hanya akan sukses menekan penularan jika secara tegas bisa menarik sebagian besar orang ke dalam rumah, memaksimalkan pembatasan pergerakan dalam dan antarkota, baik oleh masyarakat maupun aparat pemerintah, serta memaksimalkan pemakaian masker di ruang publik. Selain itu, harus ada pengetatan sanksi protokol kesehatan dan menaikkan angka pemeriksaan untuk segera isolasi kasus-kasus yang masih berkeliaran.
”PSBB baru akan memberikan dampak jika dilakukan dengan ketegasan dan dalam waktu yang cukup. Lockdown (penguncian/karantina wilayah) di kota-kota di China baru memperlihatkan hasilnya hampir dua bulan dan pada saat yang sama dilakukan tracing dan testing maksimal. Contohnya pemeriksaan swab PCR 10 juta penduduk dalam waktu kurang dari dua minggu,” tutur Iqbal.
Iqbal juga meminta pemerintah melakukan evaluasi sumber penularan Covid-19. ”Harus dilihat selama ini pelanggaran protokol kesehatan dan kluster didominasi oleh aparat dan kantor-kantor pemerintahan. Jadi, kalau mau ajak masyarakat disiplin, harus dimulai dari aparatnya sendiri,” katanya.
Epidemiolog Indonesia di Griffith University, Dicky Budiman, juga mengatakan, Indonesia hanya akan berada dalam jebakan PSBB jika tidak ada langkah konkret menangani Covid-19. Langkah itu berkaitan dengan tes, lacak, dan isolasi besar-besaran untuk mencegah penularan yang semakin tinggi.
”PSBB ini harus jadi momentum untuk menekan penularan melalui tes, lacak, dan isolasi. Minimal 80 persen kontak erat harus ditemukan dan ditindaklanjuti,” kata Dicky.
Untuk tes, menurut Dicky, selain memperhitungkan jumlahnya, juga harus memperhitungkan cakupannya. Selama ini, jumlah pemeriksaan di Indonesia masih didominasi di Jakarta, yang menyebabkan daerah lain yang sebenarnya lebih parah situasinya tidak diketahui.
Peran daerah
Iqbal mengatakan, tiap kabupaten/kota harus diberi target minimal pemeriksaan, sesuai dengan jumlah penduduk dan tingkat penularan. Sesuai standar WHO, jumlah tes yang harus dilakukan di tiap wilayah minimal 1 per 1.000 populasi per minggu.
”Jangan lagi ada penilaian evaluasi PSBB dengan hanya mengandalkan jumlah tes yang ala kadarnya, seperti terjadi sebelumnya. Dengan demikian, daerah keliru mengira bahwa seolah-olah kasus sudah turun dan zona menjadi hijau sehingga melonggarkan PSBB, padahal itu karena jumlah tesnya yang kecil,” katanya.
Iqbal menambahkan, saatnya memberikan sanksi kepada kepala daerah yang memainkan data pemeriksaan, termasuk menekan jumlah tes. ”Salah satu caranya, jumlah tes yang dilakukan di tiap daerah harus dibuka ke publik. Apakah daerah tersebut sudah memenuhi standar minimal,” ujarnya.
Menurut Iqbal, pemerintah pusat harus tegas kepada kepala daerah yang tidak serius dalam penanganan pandemi. ”Harus dipahami, tidak akan ada satu kabupaten yang aman di Indonesia jika kabupaten yang lain masih ada kasusnya,” katanya.
Dicky menambahkan, pemeriksaan 1 per 1.000 populasi per minggu (standar WHO), yang jika diaplikasikan di Indonesia minimal 38.500 orang yang diperiksa per hari, merupakan target minimal. Jika rasio kasus positif di wilayah tersebut sangat tinggi, jumlah pemeriksaan harus jauh lebih banyak dari ambang minimal tersebut.
”Intinya, jumlah tes harus sebanyak-banyaknya guna menemukan sebanyak mungkin orang yang telah terinfeksi dan kemudian segera dilacak kontaknya dan diisolasi. Itu satu-satunya cara memutus penularan, yang selama ini belum dilakukan dengan baik,” ujar Dicky.