Langkah Tersulit Saat Kasus Makin Melejit
Petugas pelacak kontak bagaikan pasukan perang di garis depan. Berbulan-bulan mereka mencari warga yang berkontak erat dengan pasien positif. Tugas yang tidak mudah di tengah stigma yang masih kuat tentang pandemi.
Sepuluh bulan melawan pandemi cukup menguras energi tim pelacak kontak (contact tracing). Mereka semakin repot melacak orang-orang yang berkontak dengan pasien positif Covid-19. Paling tidak, mereka harus mencari 10 hingga 30 orang untuk satu pasien positif. Pada saat yang sama, penambahan kasus baru belum dapat dikendalikan.
Mereka melakukan pelacakan saat sebagian temannya terpapar virus korona baru. Selama itu pula, Dea (24) sudah beberapa kali menjalani tes usap karena sering berkontak dengan pasien positif. Kini, pelacak kontak rekrutan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) itu kembali blusukan melacak warga.
Dea dan tiga petugas pelacak lain bertugas di Kelurahan Pademangan Barat, Kecamatan Pademangan, Jakarta Utara. Mereka harus melacak warga yang berkontak dengan 87 pasien positif, per Rabu (6/1/2021). Jika sepuluh orang sasaran untuk satu pasien positif, mereka harus mencari 870 orang yang berkontak erat di satu kelurahan. ”Susah sekali melacak sepuluh orang saja,” kata perempuan yang juga perawat ini.
Hal tersulit yang dikerjakannya adalah mengorek keterangan pasien positif. Tidak semua warga mau berterus terang ke petugas pelacak. Sementara Dea dan tim pelacak lain harus berhati-hati selama menggali keterangan warga. Sebagian temannya mundur dari tim pelacak karena terpapar Covid-19.
Baca Juga: Surabaya Susur Jejak Korona hingga ke Akarnya
Karena itu, Dea setiap hari mengonsumsi vitamin, menerapkan protokol kesehatan selama bertugas, dan mengganti pakaian sesampainya di rumah. Atas pekerjaannya itu, dia menerima honor Rp 200.000 per hari dan nilainya bertambah Rp 150.000 jika mampu menemukan 10 orang yang berkontak erat. Namun, tambahan honor ini jarang didapatkan karena susah mencari jejak 10 warga yang berkontak erat dengan pasien.
Dea dan teman-temannya yang direkrut BNPB disebut warga sebagai tim pelacak ”formal”. Mereka sangat bergantung pada bantuan warga setempat. Tanpa keterlibatan warga di tingkat lingkungan rukun tetangga (RT) dan rukun warga (RW), mereka kesulitan menembus komunikasi dengan penduduk setempat. ”Selain mereka (Dea dan teman-temannya), kami ini juga tim pelacak. Bedanya, kami tidak dibayar,” kata Andi Pane yang juga Ketua Rukun Warga (RW) 011 Kelurahan Pademangan Barat.
Di RW 011, ada 40 relawan pelacak kontak yang melayani 2.472 keluarga di 15 RT. Saat ini, ada 14 warga yang berstatus positif aktif, yang semuanya adalah penambahan kasus baru sejak satu bulan terakhir. ”Setiap kali ada informasi satu kasus baru, kami mencari siapa yang pernah berkontak dengan pasien, tugas ini membantu tim formal dari pemerintah,” kata Andi Pane.
Serupa dengan Dea, Andi yang warga Pademangan Barat kesulitan melakukan pelacakan kontak. Di awal pandemi, pelacakan dilakukan dengan menyasar 30 orang per satu kasus baru. Namun, itu hampir mustahil sebab mencari 10 orang saja susahnya minta ampun.
Baca Juga: Pelacakan Kontak Erat dengan Pasien Transmisi Lokal di NTT Diperketat
”Tantangan terberat adalah menghadapi stigma. Warga yang masuk dalam sasaran pelacakan tidak mau menjalani isolasi. Kami terus memberi penyadaran ke warga. Untuk membujuk mereka ke puskesmas, luar biasa beratnya. Mereka malu, takut dikucilkan, dan minta dirawat di rumah saja,” kata Andi.
Tim pelacak di Pademangan Barat sementara ini mengandalkan cara ”manual”, yaitu melakukan wawancara ke pasien positif, ke orang terdekatnya, dan narasumber lain. Andi dan pelacak lain belum tahu cara menggunakan aplikasi pelacakan yang disiapkan pemerintah.
Tidak mudah
Proses pelacakan kontak juga berjalan tidak mudah di Tanah Abang, Jakarta Pusat. Kardi (58), Ketua RT 003 RW 005 Karet Tengsin, Tanah Abang, sempat menangani kluster keluarga dari Hambali (39) yang berstatus positif setelah mengurus persalinan istrinya. Kasus keluarga Hambali cukup pelik karena sang bayi dan dirinya yang berstatus positif, sehingga sulit menjalani isolasi mandiri.
Baca Juga: Kota Bogor Gencarkan Pelacakan Kontak Erat
Kardi butuh dua hari untuk membujuk Hambali agar turut dalam tes Covid-19 di Puskesmas terdekat. Proses pelacakan juga tersendat karena tes swab PCR butuh antre selama dua hari. "Selama menunggu hasil tes itu, Saya mengungsikan Hambali untuk sementara di rumah serbaguna lingkungan sini," tuturnya.
Ketua RW 005 Karet Tengsin Harmadi menyampaikan, proses pelacakan dari satgas Covid-19 di lingkungannya memang tidak bisa cepat dan akurat di 17 wilayah RT sekaligus. Ada beberapa kasus yang baru ketahuan sekitar dua hari setelah dinyatakan positif, ditambah dengan jadwal tes yang masih harus antre karena kasus positif belakangan tampak semakin banyak.
Sementara kapasitas kemampuan petugas dan relawan pelacakan di wilayah itu sangat terbatas. Puskesmas Tanah Abang mengandalkan 31 relawan untuk melacakan kontak pasien positif. Kini mereka sedang melacak kontak erat 250 pasien positif aktif di Tanah Abang. ”Kami ingin gerak cepat agar warga tidak menunggu lama untuk tes dan kebutuhan lainnya. Namun, karena kasusnya banyak, kami harus memprioritaskan orang sesuai dengan tingkat kegawatan,” ujar Kepala Puskesmas Tanah Abang Sari Ulfa.
Menuju 1 juta kasus
Di sebagian tempat, pelacakan bahkan tidak berjalan. Hal ini dialami Atok (40), warga Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Desember 2020, ayah satu anak ini terpapar Covid-19. Dia mengumumkan kasus itu ke kantornya, ke puskesmas, hingga tetangga dekat. Namun, setelah pengumuman itu, tidak ada pelacakan terhadap istri, anaknya, dan orang-orang dekat yang pernah berinteraksi dengannya.
Atok kemudian melakukan isolasi mandiri setelah mengantarkan anak dan isterinya tes Covid-19 di puskesmas terdekat. Pihak puskesmas menyarankannya isolasi mandiri sepuluh hari. Jika tidak ada gejala lanjutan, dia dapat dinyatakan sembuh. Hal ini ditandai dengan penerbitan surat sembuh dari puskesmas. ”Masalahnya, ada tetangga yang dapat surat sembuh, tetapi ternyata setelah di tes lagi masih positif. Kesembuhan orang ternyata tidak dapat dibatasi 10 hari setelah isolasi, dia hampir satu bulan baru negatif dari Covid-19,” kata Atok.
Baca Juga: Surabaya Tambah Petugas Pelacakan Kontak
Hal serupa disampaikan Syahrizal Syarif, Wakil Rektor 1 Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia di Jakarta. Setelah ada tiga kasus positif di kampusnya akhir tahun 2020, tidak ada penelusuran kontak. Padahal, pihak kampus sudah melaporkan ke Satgas Covid-19 terdekat.
”Sekarang situasinya mengarah tidak terkendali, peningkatan kasus terjadi eksponensial. Jika ada orang yang positif, kita tidak tahu tertular dari siapa. Ini terjadi karena transmisi lokal,” kata Syahrizal yang juga epidemiolog Universitas Indonesia.
Dengan kondisi seperti ini, sangat mungkin pada awal Februari 2021 ini akan ada 1 juta kasus di Indonesia, sedangkan 23 persen kasus positif di antaranya ada di wilayah Jakarta. Pada saat itu, dia memprediksi kasus aktif mencapai 200.000-an. Seberat apa pun situasinya, kata Syahrizal, pemerintah harus dapat memperbesar kapasitas layanan kesehatan. Sebelum itu terjadi, tidak bisa tidak, perlu menegakkan protokol kesehatan, penerapan isolasi mandiri bagi yang berkontak erat dengan pasien, dan memperluas kerja sama dengan rumah sakit.
Situasi pelacakan kontak pasien Covid-19 di Indonesia sangat berbeda dengan di Singapura. Pemerintah Singapura sejak Maret 2020 telah fokus melacak kontak pasien positif secara digital lewat aplikasi ponsel pintar SafeEntry dan Tracetogether.
Baca Juga: Penolakan Tinggi, Pelacakan Covid-19 Libatkan Polisi dan TNI
Tiap aplikasi itu mencatat riwayat bepergian warga dengan cara berbeda. SafeEntry mencatat riwayat singgah melalui pemindaian kode pembaca cepat (QR code), sedangkan TraceTogether bekerja mendeteksi terjadinya kontak erat dengan pasien positif lewat jaringan Bluetooth.
Direktur Penyakit Menular Kementerian Kesehatan Singapura Vernon Lee menjelaskan, tim pelacak kontak memiliki waktu 2 jam untuk mendapatkan detail awal setiap pasien terinfeksi korona lewat sejumlah aplikasi tersebut.
Riwayat kontak yang dilacak cukup detail. Selain pertanyaan mendasar mengenai perjalanan ke luar negeri dan anggota keluarga, setiap pasien positif juga dimintai keterangan mengenai daftar orang yang pernah mereka temui.
Menurut Lee, upaya pelacakan kontak, kemudian diikuti dengan karantina paksa dan pembatasan sosial yang ketat, menjadi kunci penanggulangan Covid-19. Transparansi informasi juga memegang peranan penting (Kompas.id, 27/3/2020).
Kondisi tersebut berbeda dengan pengalaman Dea, Andi, dan relawan pelacak di Indonesia. Mereka semakin lelah karena pandemi belum terkendali. Garda depan penanganan pandemi makin lama bisa rapuh dan, sebaiknya, jangan dibiarkan menjadi lumpuh.