Sukses Perantau di Balik Gunjingan tentang Kamboja
(Tulisan 2 dari 19). Melonjaknya populasi WNI di Kamboja bertumbuh seiring beragam usaha ikutan. Rasa Indonesia pun hadir bagai di Tanah Air.
Ia sudah bertungkus lumus dalam industri judi. Lebih dari satu dekade, lelaki asal Indonesia ini bekerja di berbagai kantong perjudian di Kamboja, mulai dari kota Phnom Penh, Bavet, Poipet, hingga yang teranyar di Sihanoukville atau Kompong Som.
Made, bukan nama sebenarnya, membantu Tim Investigasi Harian Kompas ketika dipalak sopir tuktuk, Minggu (3/12/2023) siang, di depan sebuah warung kopi di Sihanoukville. Tuktuk dipesan lewat aplikasi dengan tarif 3.400 riel. Dikasih pecahan 5.000 riel, sopir tak mengembalikan sisanya. Saat diminta, dia nyerocos dalam bahasa Khmer.
Baca juga: Judi "Online" Mengepung Indonesia dari Kamboja
Made mengambil lagi uang itu dari sopir lalu menggantinya dengan uang dari sakunya sebanyak 3.500 riel. Dalam bahasa Khmer, ia berpesan ke sopir tadi supaya tidak tamak. ”Nanti rezekimu seret,” katanya ke sopir itu.
”Nanti rezekimu seret,” katanya ke sopir itu.
Baca juga : WNI di Kamboja: Tidak Semua dari Kami Pekerja "Judol"
Dalam obrolan cair dengan Made kemudian, pelan-pelan ia membuka tabir hidupnya. Tentang dunia perjudian yang digelutinya di Kamboja. ”Yang pernah mencicipi air Sungai Mekong selalu ingin kembali,” kelakar ayahnya.
Ucapan itu sering dilontarkan orang-orang di Kamboja untuk menggambarkan daya pikat negeri-negeri Indochina. Wahana serba duniawi, mulai dari perjudian hingga prostitusi, komplet di Kamboja.
Baca juga : Kisah Mereka dari Balik Situs Judi
Selama hampir sepekan di Sihanoukville, tim Kompas menyambangi tiga resor perjudian dengan fasilitas lengkap. Trimulia Casino, misalnya, memiliki bar persis di tengah berbagai jenis wahana permainan judi. Menyesap alkohol tipis-tipis sembari menunggu dewi fortuna hinggap di mesin slot dengan suara musiknya yang khas. Boleh juga sekadar menonton pejudi dengan gelak tawa atau muka masam mengadu untung di meja poker dan bakarat.
Dalam ekosistem hiburan yang superkomplet semacam ini, kata Made, setiap pekerja harus hati-hati mengelola uang juga perangai. ”Pokoknya kalau (kerja) di bidang judi itu, kalau kita enggak tahan ya hancur (akibat terjerat godaan duniawi),” katanya.
Upah lebih tinggi
Saat mulai merintis karier di Kamboja, gaji Made sebagai karyawan bidang pemasaran waktu itu 500 dollar AS per bulan. Sebelumnya di Indonesia, sarjana dari suatu universitas swasta di Jakarta ini pernah bekerja di sebuah pabrik dan hanya diupah Rp 250.000 tiap bulannya.
Jadi secara finansial, jelas lebih makmur kerja di Kamboja. Kendati demikian, kemakmuran bisa berubah jadi kerusakan saat hilang kontrol. Made termasuk pekerja Indonesia di Kamboja yang tahu betul arti kerusakan itu. Oleh karena itu, ia dengan ketat mengelola penghasilan sehingga uangnya tak hanya bisa memperkaya diri sendiri, tetapi turut menyejahterakan keluarga di kampung halaman.
”Waktu tahun pertama kerja, rumah orangtua yang masih berdinding bambu saya ganti pakai tembok. Waktu di Jakarta, saya belum bisa membantu mereka. Tapi di sini, sampai sekarang saya masih bantu,” jelasnya.
Meski tak menyebut detail gaji terkininya, kesejahteraan Made terlihat dari tempat tinggalnya, yang berlantai dua dengan sewa lebih dari 1.000 dollar AS per bulan. Menurut dia, gaji pekerja Indonesia di Sihanoukville, baik di perusahaan judi maupun di industri pendukung, seperti rumah makan, berkisar Rp 4 juta per bulan. Ini penghasilan bersih karena mereka disediakan tempat tinggal dan diberi uang makan 200 dollar AS per bulan.
Baca juga: Situs Judi Populer Masih Aktif
Observasi tim Kompas di tiga resor plus kasino yang diduga disinyalir milik orang Indonesia di Sihanoukville menemukan, banyak para pekerja Tanah Air berseliweran. Dari tiga tempat itu, ada sebuah resor dengan fasilitas superlengkap.
Selain arena judi sebagai usaha utama, tersedia apartemen tempat pekerja bermukim. Terdapat pula pujasera makanan Nusantara dengan harga 2-3 dollar AS yang kebanyakan pengunjungnya adalah pekerja Indonesia.
Tak melulu judi
Dengan mengesampingkan fakta bahwa judi punya daya rusak yang hebat bagi masyarakat, tiga resor tadi menyedot banyak sekali tenaga kerja, terutama dari Tanah Air. Mereka ada di kasino, ada di hotel. Salah seorang narasumber dari Kedutaan Besar Republik Indonesia di Phnom Penh, misalnya, menyinyalir di suatu resor judi di Sihanoukvile milik investor Indonesia menampung sekitar 2.000 pekerja WNI.
Dari observasi Kompas selama hampir sepekan di Kamboja, para pekerja berpakaian bebas dengan id card khusus berseliweran dan berkantor di area resor perjudian dan sekitarnya. Tumbuhnya industri perjudian yang menyerap banyak tenaga kerja WNI di Sihanoukville mendorong lahirnya usaha ikutan yang tak berurusan dengan judi.
Seperti keterangan Duta Besar RI untuk Kamboja Santo Darmosumarto, Selasa (28/11/2023). Menurut dia, berdasarkan data dari Imigrasi Pemerintah Kamboja saat ini ada 73.000 WNI yang menetap dan berizin tinggal di Kamboja. Pihak KBRI menyinyalir 50 persen dari jumlah itu bekerja di sektor perjudian.
Geliat ekonomi di sekitar pusat judi pun berkembang. Di sekitarnya berjejer kuliner Indonesia dengan beragam menu. Masakan Padang bukan barang langka di sini. Ada rumah makan Tambuah Indonesian Padang Cuisine dengan harga cukup tinggi. Kalau kalap memilih lauk, bisa kena 10 dollar AS di resto ini.
Ada juga pilihan kedai dengan menu Nusantara yang lebih murah. Dengan 2 dollar AS kita sudah bisa makan enak di sini. Salah satu contohnya Kedai Ayam Oneng The Best Indonesian Restaurant. Restoran ini dibuka enam tahun lalu.
Jaya (44), pemilik Oneng, menjelaskan, usahanya kini mulai berkembang. Tidak saja membawahi beberapa rumah makan, Oneng juga punya kelab malam dengan segmen pelanggan mayoritas pekerja Indonesia. Dari semua lini usahanya itu, Oneng merekrut 70 karyawan asal Indonesia.
Selain urusan perut, ada beberapa industri ikutan lainnya yang tercipta karena adanya kantong warga Indonesia di Sihanoukvile. Contohnya distributor sepeda motor Harley-Davidson di Sihanoukville milik Budi Cahyono (42). Karena investasi di negara ini tak boleh dimiliki penuh warga asing, Budi menggandeng beberapa pihak.
Konsumen Budi beragam. Ada warga lokal, pekerja asing, dan pengusaha Indonesia yang punya bisnis di Kamboja. ”Kami di sini membangun image Indonesia dan kultur Indonesia tetap dibawa ke negara orang,” katanya.
Selain budi, ada pengusaha agen perjalanan Jessica Marchelli Adipurwa (31). Kami menemuinya pada Minggu (3/12/2023) siang di sebuah kedai kopi.
Saat Jessica membuka maskernya, salah satu anggota tim Kompas langsung mengenalinya. Kami ternyata sama-sama nongkrong di sebuah kedai kopi di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, sesaat sebelum penerbangan ke Kamboja pekan sebelumnya.
Perempuan berdarah Jawa, Batak, dan Manado ini bercerita dengan luwes. Sesekali tawanya berderai di sela perbincangan. Jessica adalah Managing Director Sunshine Java Travel & Tours, sebuah perusahaan agen perjalanan di Sihanoukville ini. Ia baru setahun terakhir ini membuka perusahaan itu.
Baca juga: Dari Kamboja, Operator Perjudian Daring Direkrut via Telegram
Sebelumnya, ia menjadi karyawan di sebuah agen perjalanan milik warga India. Awalnya, ia melayani perusahaan tersebut lewat model kerja jarak jauh (work from home/WFH). Kemudian, perusahaan tersebut ekspansi ke Kamboja dan Jessica diminta ikut. Inilah titik awal dia mengenal Kamboja.
Karena perusahaan itu terus berkembang, bos Jessica kembali melebarkan sayap ke Filipina pada 2020. Namun, rencana ini batal karena pandemi Covid-19 melanda. Jessica pun kembali ke Indonesia dan bekerja secara WFH.
Memilih Kamboja
Kemudian awal 2022, Jessica kembali ke Kamboja lagi untuk mengurusi perusahaan bosnya. Lantaran suasana ekonomi setelah Covid-19 mulai pulih, rencana ekspansi ke Filipina kembali diajukan bosnya. Jessica diminta ikut ke sana. Dia tak mau dan memilih mundur dari kerjaan. ”Malas aja sendirian di sana, mesti bangun jejaring pertemanan lagi. Repot. Mending di sini saja,” ujarnya.
Perusahaan milik Jessica mengurus visa dan work permit untuk pekerja Indonesia di Kamboja. Selain itu, dia melayani warga Kamboja yang ingin liburan ke Indonesia. Menurut dia, bisnis layanan visa dan work permit bagi pekerja Indonesia tidak selamanya mulus. Beberapa kali ada pembayaran yang macet dan Jessica dan tim harus menagih utang.
Para pengutang ini, katanya, menyelesaikan tagihan dengan berbagai macam cara. Ada yang kabur begitu saja saat ditagih. Ada juga pekerja yang menggadaikan paspornya sebagai jaminan lalu utangnya dicicil ke Jessica.
Lebih canggih lagi, ada juga yang melobi Jessica dengan modus cinta. Orang itu bekerja di sebuah perusahaan judi dan jadi orang kepercayaan bosnya. Salah satu tugasnya adalah mengurus visa dan work permit untuk karyawan. Kemudian, orang tersebut menggunakan perusahaan Jessica, tetapi biaya jasanya belum dibayar hingga sekarang.
Usut punya usut, dia ternyata sudah dikasih uang oleh bosnya untuk pengurusan dokumen karyawan. Namun, uang itu habis karena yang bersangkutan kecanduan judi. Dia mendekati Jessica agar mau membantu tanpa bayaran. ”Dia pakai modus cinta. Ngajakin saya dinner segala. Untung enggak mempan,” katanya.
Melihat begitu dinamisnya iklim usaha di sekitar pusat perjudian Sihanoukville, terasa ada benarnya perumpamaan yang disampaikan Made. Dia mengibaratkan judi sebagai industri yang berlumpur. Para pekerja di sekitarnya harus hati-hati agar tak masuk ke lumpur itu. ”Loe masuk lumpur, ya loe enggak bisa bangun. Tapi bagaimana loe tetap berjalan, tetapi tidak di lumpur tersebut,” ujarnya.
Baca juga: Menemukan “Indonesia Kecil” di Sihanoukville, Kamboja