Menemukan “Indonesia Kecil” di Sihanoukville, Kamboja
(Tulisan 8 dari 19). Ia berambut cepak, berkulit gelap, mengenakan setelan berkelir ungu, seperti pegawai lain di kasino itu. “Hanya bisa pakai dollar AS untuk mainkan slotnya, Mas,” ujar pegawai itu.
Oleh
Tim Kompas
·4 menit baca
Sihanoukville atau Kampong Som (KPS) Kamboja sudah memikat sejak penampakannya di Google Maps. Coba zoom in peta digital Sihanoukville. Bakal muncul nama-nama khas Indonesia, seperti Kedai Yeci, Jakarta Cafe Trimulia, Kedai Ayam Oneng, Rumah Makan Tambuah, dan RM Sempurna. Usaha itu tersebar di tiga lokasi. Ada di sekitar Trimulia Tower, Holiday Palace, dan Kompong Dewa Resort.
Kalau penasaran seperti apa orang Indonesia di sana, bisa cari konten TikTok dengan kata kunci #KPS. Anda bakal menemukan berbagai konten video bikinan anak negeri dengan iringan musik ajeb-ajeb. “Keluarnya pagi, pulangnya malam. Perginya malam, pulangnya pagi. Lagi di mana kita ini? Ya benar sekali bestie, welcome to +855 (nomor Kamboja). Cuaks,” demikian narasi dari akun TikTok @ronikps.
Terekamnya nuansa Indonesia dari pelacakan awal tentang KPS menambah rasa “pede” tim Kompas yang akan berangkat ke sana. Di tengah gencarnya berita penyekapan terhadap WNI di Sihanoukville dalam beberapa tahun terakhir, informasi awal itu sedikit melegakan.
Tuhan, jangan biarkan kami berangkat ke Kamboja sebagai jurnalis tapi kembali sebagai korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO)
“Tuhan, jangan biarkan kami berangkat ke Kamboja sebagai jurnalis tapi kembali sebagai korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO),” demikian doa kami setelah Pesawat Airasia yang ditumpangi meninggalkan Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, Banten, awal Desember 2023.
Penerbangan Jakarta-Phnom Penh yang kurang lebih 3 jam itu berlangsung lancar. Sopir taksi warga lokal yang sebelumnya sudah dipesan menunggu kami di pintu keluar. Ia langsung membawa kami ke Sihanoukville dan tiba di penginapan saat matahari sudah tenggelam.
Hari pertama kedatangan, kami masih merasa asing. Mungkin karena hotel yang kami pesan berada agak jauh dari kantong-kantong pekerja Indonesia.
Kalaupun ada yang membuat suasana di SS Hotel and Residence ini sini seperti di Tanah Air, itu adalah karena lokasi hotelnya. Posisinya dekat pelabuhan, tempat truk kontainer wara-wiri. Bermalam di sini serasa sedang di Tanjung Priok, Jakarta Utara, dalam lingkup yang lebih kecil.
Baru di malam kedua kami mulai bertemu orang Indonesia. Saat itu akhir pekan dan kami menginap di Holiday Palace. Di sana ada hotel, restoran dengan menu Indonesia, serta pantai privat dengan pemandangan kebiruan laut Teluk Thailand.
Pada suatu sore di Aqua Beach Club, salah satu restoran di Holiday Palace, tiga perempuan duduk di kursi restoran yang berada di pinggir pantai. Alamak! Mereka bercakap dalam bahasa Indonesia.
Kejutan di Holiday Palace tidak sampai di situ. Ketika larut malam, kami coba masuk kasino. Seumur-umur, kami belum pernah melihat mesin slot. Kami pun bingung bagaimana cara memasukkan uang ke mesin judi itu. Apakah harus menggunakan dollar AS atau bisa mata uang lokal? Kami bertanya ke seorang penjaga mesin slot dalam bahasa Inggris semampunya.
Percakapan ini sepertinya terdengar oleh pegawai kasino lain. Ia berambut cepat, berkulit gelap, mengenakan setelan berkelir ungu, seperti pegawai lain di kasino itu. “Hanya bisa pakai dollar AS untuk mainkan slotnya, Mas,” ujar pegawai itu.
Sejak malam itu, kami merasa sudah tak sendiri lagi. Bahasa Indonesia bisa dimengerti di sini, terutama di tempat yang banyak menyerap pekerja Indonesia seperti di Holiday Palace, Trimulia Tower, dan Kompong Dewa Resort.
Suasana di KD Bar & Cafe di Kompong Dewa Resort, misalnya. Penjaga kios makanan di sana sulit diketahui kewarganegaraannya. Kalau kita pesan makanan dalam bahasa Indonesia, mereka jawab dalam bahasa yang sama. Tetapi mereka terkadang ngobrol dengan sesama pekerja dalam bahasa Khmer. Pertanyaannya, mereka ini Khmer atau Indo? Entah lah.
Tidak saja bahasa, suasana Indonesia juga terbangun lewat kios-kios makanan di pinggir jalan. Coba saja melintas di depan Trimulia Tower. Suasananya mirip dengan kawasan kuliner di Sabang, Jakarta Pusat. Ada ayam goreng, sate, bakso, dan menu Indonesia lainnya.
Saking kuatnya nuansa Indonesia di sini, sebuah penginapan lokal di sekitar Trimulia Tower, Ta Phal Leu Phnom Guest House and Restaurant, sampai harus bikin istilah Indonesia di papan namanya. Keterangan “guest house” di papan nama losmen itu bersanding dengan “rumah tamu”.
Menurut Jefry Utama (70), pemilik restoran dan bar, perantau Indonesia sangat diterima di Sihanoukville. Ini karena pola bisnisnya yang terbuka. Tidak eksklusif seperti pengusaha asing lain di KPS. Di bar milik Jefry juga begitu. Pramusajinya saja rerata orang Kamboja.