Tidak Bisa Ziarah karena Jenazah ABK Dilarung ke Laut
Jasad ABK yang dilarung ke laut menyisakan duka mendalam bagi keluarga. Mereka hanya bisa menahan kepedihan karena tidak bisa berziarah melihat pusara korban.
Oleh
DVD/JOG/FRD/ILO
·4 menit baca
Olipah menahan tangis ketika mengenang anak lelakinya, Akhmad Wahid, yang meninggal saat bekerja di kapal ikan dan berujung dilarung di laut lepas. Hingga saat ini, ia tidak pernah melihat jasad anaknya yang lenyap ditelan samudra.
Akhmad mendaftar menjadi anak buah kapal (ABK) perikanan migran pada 2019 melalui perusahaan penyalur PT Puncak Jaya Samudera (PJS). Padahal, Olipah tidak setuju jika anaknya bekerja sebagai ABK.
”Awalnya saya tidak mengizinkan, tetapi dia maksa untuk mendaftar. Katanya bekerja di kapal itu enak,” ucap Olipah saat ditemui di rumahnya, di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Kamis (20/7/2023).
Akhmad bekerja di kapal ikan berbendera Taiwan dengan gaji sebesar 300 dollar AS atau setara Rp 4,5 juta per bulan. Ia sama sekali belum memiliki pengalaman berlayar sebelumnya.
Menurut Olipah, Akhmad berlayar menggunakan kapal berbendera Taiwan bernama Han Rong 365. Ia sempat beberapa kali melakukan panggilan video dengan anaknya sebelum meninggal.
”Terakhir saya video call, yaitu tiga hari sebelum anak saya meninggal, yaitu bulan Juni 2020. Anak saya pun tidak mengeluhkan apa pun ketika itu,” katanya.
Naas, tiga hari setelah kontak terakhir lewat telepon, Olipah dikabari oleh rekan Akhmad di kapal yang memberitahukan bahwa Akhmad sudah meninggal karena penyakit beri-beri akut.
”Awalnya saya tidak percaya dengan kabar tersebut. Lalu, hari itu saya menghubungi PT PJS, mereka bilang anak saya masih koma dan sedang dirawat di rumah sakit. Saya sempat tenang ketika itu,” ujarnya.
Saya ngotot supaya jenazah anak saya bisa dipulangkan.
Namun, perasaan tenang itu hanya sementara. Esoknya, Olipah dikabari oleh pihak perusahaan penyalur dan perangkat desa kalau Akhmad sudah meninggal karena sakit. Posisi jasad Akhmad di atas kapal yang sedang berlayar di tengah laut Sri Lanka ketika itu.
Olipah lalu meminta untuk bertemu pihak perusahaan dan perangkat desa untuk mendiskusikan pemulangan jenazah Akhmad.
”Saya ngotot supaya jenazah anak saya bisa dipulangkan,” ujarnya.
Awalnya, pihak perusahaan menjanjikan jika jasad Akhmad bisa dimakamkan di Batam. Namun, ternyata kapal Taiwan tersebut tidak jadi bersandar di Batam.
”Pihak PT sempat meminta biaya pengantaran jenazah Akhmad menuju Batam. Namun, biaya tersebut tidak jadi dibebankan ke kami karena kapal tersebut batal bersandar di Batam,” katanya.
Akhirnya, jenazah Akhmad batal dipulangkan. Setelah 23 hari meninggal dan berada di atas kapal, jasad Akhmad dilarung ke laut lepas.
”Pihak PT bilang, kalau mau dipulangkan akan butuh biaya besar dan akan menghabiskan banyak uang. Lalu, saya bilang kalau saya tidak perlu uang (karena) yang penting saya bisa melihat jasad anak saya,” kata Olipah mengenang masa itu.
Atas kematian Akhmad, Olipah menerima uang pertanggungan asuransi sebesar Rp 400 juta dari PT PJS. Uang asuransi tersebut cair sebulan setelah jasad Akhmad dilarung.
”Saya sempat melihat potongan video pelarungan yang direkam oleh teman-teman Akhmad. Hati saya pedih melihat prosesi tersebut karena kami tidak bisa berziarah kalau jasadnya tidak dimakamkan,” ucapnya.
Direktur PT PJS Herman Suprayogi mengatakan, pelarungan jenazah merupakan tanggung jawab perusahaan asing serta pemilik kapal. Menurut ia, jika ada ABK yang meninggal, perusahaan penyalur akan berkoordinasi dengan jajaran pemangku kebijakan.
”Kami tetap koordinasi dengan Kementerian Luar Negeri dan Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) jika ada ABK yang meninggal. Kalau dalam situasi normal, kami bisa memulangkan sampai ke rumah almarhum,” kata Herman saat ditemui di Pemalang, Jawa Tengah.
Herman menyayangkan segala tindakan yang dilakukan oleh kapten kapal ketika ABK bekerja di laut lepas seakan-akan harus ditanggung oleh PT PJS. Ia berharap perusahaan tidak disalahkan atas pelarungan jenazah ini.
Tidak ditangani
Pelarungan jasad ABK perikanan migran tidak hanya dialami Akhmad Wahid. Di kapal ikan berbendera asing lain, hal serupa juga kerap terjadi.
Jimi Ari Sandi, ABK asal Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, sudah beberapa kali melihat rekan di kapalnya meninggal. Ada juga dikembalikan ke keluarga, tetapi ada juga yang dilarung.
”Rasanya sedih jika harus mengingat teman satu kapal yang awalnya saling bercanda tiba-tiba meninggal. Apalagi yang jenazahnya dilarung ke laut,” ujarnya.
Beberapa pengalaman yang saya lihat ini cukup membuat saya trauma dan kapok menjadi ABK. Sekarang saya sudah tidak ingin melaut.
Menurut Jimi, sebagian besar ABK yang meninggal di kapal berbendera Taiwan mengalami penyakit yang hampir sama, yaitu beri-beri. Biasanya, terjadi pembengkakan pada bagian tubuh korban sebelum meninggal.
”Sayangnya, korban ini tidak mendapat penanganan yang baik dari kapten kapal. Mereka hanya diberikan obat seadanya, hingga akhirnya meninggal,” ucapnya.
Jimi menuturkan, biasanya sebelum dilarung, jasad korban disimpan di dalam pendingin bersama ikan-ikan hasil tangkapan. Jika tidak ada kepastian akan merapat ke darat, kapten kapal akan memerintahkan supaya jasad ABK dilarung ke laut.
”Beberapa pengalaman yang saya lihat ini cukup membuat saya trauma dan kapok menjadi ABK. Sekarang saya sudah tidak ingin melaut,” katanya.
Penantian keluarga untuk dapat melihat lagi ABK migran kembali ke kampung halaman seusai bertahun-tahun bekerja di laut merupakan kebahagiaan tak terkira. Mendengar ada awak kapal migran yang meninggal dan dilarung di samudra luas hanya menyisakan duka tak bertepi bagi keluarga yang menanti jenazah mereka dipulangkan.
Seperti halnya Olipah menanti jenazah anaknya, keluarga lain juga berharap dapat melihat untuk terakhir kali jenazah para ABK yang meninggal untuk kemudian dimakamkan di kampung halaman.