Investigasi ”Kompas” menemukan, awak kapal ikan asing asal Indonesia rentan menjadi korban perdagangan manusia. Mereka telah diperdaya sejak sebelum melaut.
Oleh
FRD/JOG/DVD/ILO
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Anak buah kapal perikanan asing asal Indonesia telah diperdaya sejak sebelum bekerja di atas kapal. Investigasi Harian Kompas selama Juli dan Agustus 2023 menemukan, sebagian anak buah kapal atau ABK asal Indonesia di kapal ikan berbendera asing menjaminkan uang beserta sertifikat rumah kepada perusahaan penyalur sebelum berangkat ke negara penempatan dan terpaksa menandatangani perjanjian kerja karena tidak punya pilihan.
Kondisi ini membuat ABK asal Indonesia di kapal ikan asing dalam posisi rentan dan berpotensi menjadi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO). Perlindungan ABK saat mereka bekerja di atas kapal ikan asing juga minim.
Kompas memperoleh dokumen perjanjian kontrak kerja yang menunjukkan upaya pelemahan posisi ABK migran oleh perusahaan penyalur (manning agency). Salah satunya adalah PT GNM Shipping Marindo yang beralamat di Cirebon Jawa Barat, selaku agen penyalur ABK migran ke kapal ikan Korea Selatan.
Dalam sebuah dokumen surat pernyataan di kontrak kerja misalnya, N, salah satu ABK migran asal Jabar, tertera menyetorkan uang jaminan Rp 70 juta kepada PT GNM Shipping Marindo. Uang jaminan ditahan perusahaan agar ABK migran tidak pindah tempat kerja.
Dokumen ditahan
Tidak hanya itu, dalam surat penerimaan dokumen N kepada perusahaan, juga tertera bahwa N menyerahkan sertifikat tanah milik saudaranya, yang dijaminkan ke perusahaan. N juga menyertakan akte kelahiran dan ijazah sekolah.
Jika masa kerja ABK tidak sampai 3 tahun sesuai masa kerja di kontrak, maka uang jaminan yang diberikan ABK kepada perusahaan akan hangus dan ABK harus menebus sertifikat rumah atau tanah dengan membayar Rp 100 juta.
Perjanjian persetujuan adanya jaminan uang dan sertifikat tanah juga ditemukan dalam dokumen-dokumen almarhum Warnoko (34) yang kini dipegang istrinya, Sri Rahayu (28). Warnoko merupakan ABK migran yang bekerja di kapal Korea Selatan pada 2018 silam yang juga direkrut PT GNM Shipping Marindo. Ia meninggal di Korsel karena sakit pada Februari 2023.
Warnoko menyerahkan uang jaminan total Rp 60 juta ke PT GNM Shipping Marindo untuk bisa bekerja di kapal No 609 Pyeong Jin Ho sebagai kelasi (deckhand). ”Pertama 30 (Rp 30 juta), terus waktu almarhum pulang cuti tambah 30 lagi,” ucap Rahayu.
Kontrak itu, kan, proses perdata semua. Tapi, ada indikasi ke arah pidana karena menguasai (dokumen berharga milik korban). (Siti Hajati Hoesin)
Adapun jaminan berupa sertifikat tanah terbukti pada tanda terima dokumen dari Warnoko ke PT GNM, yang di sana tertulis sertifikat hak milik (SHM) Nomor 39596/PRONA/2017 dan 19535/PRONA/2017, atas nama Wiri. ”Wiri itu ibu kandung almarhum. Yang dijaminkan memang surat tanah ibu,” ujar Rahayu.
Ketika ditemui, Direktur PT GNM Shipping Marindo Warno mengakui perusahaannya menerapkan jaminan sertifikat rumah/tanah sebelum tahun 2018 kepada calon ABK yang akan berangkat. Dia mengklaim perusahaan tidak lagi meminta jaminan kepada ABK setelah tahun 2018. Apa yang disampaikan Warno tersebut bertolak belakang dengan dokumen permintaan jaminan PT GNM Shipping Marindo kepada calon ABK yang diterbitkan pada 2020 silam.
Menurut Warno, penerapan jaminan tersebut agar ABK migran tidak kabur dari kapal ikan tempatnya bekerja untuk kemudian pindah bekerja ke pabrik manufaktur di daratan Korsel. Sebab, jika ABK migran itu kabur dari kapal ikan, perusahaan penyalur seperti PT GNM dikenai sanksi pengurangan kuota dan denda oleh pengusaha pemilik kapal.
”(Untuk) satu orang yang kabur kita dapat pengurangan 10 orang. Itu di kuota. Terus belum lagi penalti dari majikan mereka,” kata Warno.
Ahli hukum perburuhan dari Universitas Indonesia, Siti Hajati Hoesin, menilai, perjanjian kerja yang menyertakan jaminan berupa uang dan dokumen berharga seperti sertifikat tanah dapat menjadi alat kontrol perusahaan penyalur untuk melemahkan posisi ABK.
”Kontrak itu, kan, proses perdata semua. Tapi, ada indikasi ke arah pidana karena menguasai (dokumen berharga milik korban),” ujar Siti Hajati.
Perjanjian kerja
Dalam kasus berbeda, ABK migran di perusahaan penyalur lain juga tak berdaya ketika ditawari kontrak kerja berupa perjanjian kerja laut (PKL) yang mepet menjelang keberangkatan ke negara penempatan.
Hal itu seperti dialami Mashuri (25), ABK asal Lumajang, Jawa Timur, yang menandatangani PKL beberapa jam sebelum penerbangan dari Indonesia. Penandatanganan PKL yang mepet membuat Mashuri tidak memiliki waktu untuk memahami isi perjanjian kerja.
Saat itu Mashuri dan ABK lainnya kaget karena baru mengetahui akan dipekerjakan di kapal ikan berbendera China. Padahal, sebelumnya, perusahaan penyalur Mashuri menyebut akan menempatkannya pada kapal berbendera Korsel. ”(Saya) sempat protes sama anak-anak. Memang ada permainan,” ungkap Mashuri.
Mashuri terpaksa menurut bekerja ke Kapal Fu Yuan Yu 1218 melalui pelabuhan di Singapura. Jika dia menolak berangkat, perusahaan mengancamnya untuk membayar denda karena perusahaan sudah mengeluarkan biaya tiket pesawat, pengurusan dokumen, dan biaya hidup di penampungan.
Mashuri mendaftar menjadi ABK ke kapal ikan China melalui perusahaan penyalur PT Mandiri Tunggal Bahari (MTB) yang berada di Tegal, Jawa Tengah. Pimpinan PT MTB ditangkap polisi pada Mei 2020 terkait kasus pelarungan ABK.
Ketua Umum Serikat Buruh Migran Indonesia Hariyanto Suwarno menilai, pihak perusahaan penyalur memanfaatkan kerentanan calon ABK migran yang membutuhkan pekerjaan dengan meminta jaminan uang (deposit) dan jaminan sertifikat rumah. Jaminan itu menjadi semacam alat kontrol perusahaan penyalur terhadap ABK agar tetap menjalankan pekerjaan meskipun tidak sesuai dengan perjanjian.
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia dalam penjelasan Pasal 2 huruf H tercantum bahwa perekrutan pekerja migran semestinya berlandaskan asas anti-perdagangan manusia, yakni tidak adanya penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan uang, atau memberikan bayaran atau manfaat sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut.
Masuk ranah TPPO
Menurut Hariyanto, jika ditilik dari cara-cara pemanfaatan kerentanan ABK sebagai bentuk eksploitasi dengan menerapkan jaminan dan menyodorkan perjanjian kerja yang mepet, hal itu semestinya sudah masuk ranah tindak pidana perdagangan orang.
Posisi rentan ABK migran, kata Hariyanto, juga membuat mereka minim perlindungan saat bekerja di atas kapal ikan berbendera asing. Sebagian dari mereka mengalami kekerasan fisik dan kerja paksa oleh kapten kapal, mandor, maupun ABK lain selama bekerja di atas kapal ikan, tetapi dibiarkan oleh perusahaan penyalur.
Perusahaan penyalur yang mengantongi surat izin usaha perekrutan dan penempatan awak kapal berada dalam pengawasan Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan.
Kepala Subdirektorat Kepelautan Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kemenhub Maltus Jackline Kapistrano menyebutkan, jika terjadi penahanan dokumen, sertifikat tanah, dan uang jaminan oleh perusahaan penyalur, hal itu menyalahi aturan. Kemenhub akan mengevaluasi jika ada perusahaan yang menjalankan praktik itu.
”Intinya, jangan sampai ada ABK yang dirugikan. Setiap ABK yang berangkat harus berdasarkan kompetensinya, bukan karena besaran uang yang jadi jaminannya,” katanya.
Maltus mengungkapkan, perusahaan juga tidak boleh memberikan PKL yang mepet dengan waktu keberangkatan.
Secara terpisah, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigadir Jenderal (Pol) Ahmad Ramadhan menuturkan, jerat utang termasuk jaminan merupakan salah satu modus dalam perekrutan pekerja migran untuk memastikan korban tindak pidana perdagangan orang tidak bisa lepas dari eksploitasi sewaktu berada di luar negeri.
”Yang jelas, ketika bicara UU TPPO, ada cara merekrut. Jadi, salah satu cara yang menyebabkan korban tereksploitasi, itu bisa dinamakan tindak pidana perdagangan orang,” ujarnya.