Melompat ke Selat Malaka karena Tak Tahan Kerja Paksa
Akibat tak tahan dengan kerja paksa, sejumlah anak buah kapal Indonesia di kapal ikan Fu Yuan Yu 1218 nekat melompat ke Selat Malaka. Selama 12 jam terombang-ambing di lautan, mereka hanya bisa pasrah.
Di bawah rintik hujan dan sambaran petir, Mashuri Ferdiansyah (25) dan ketiga rekannya pasrah terombang-ambing oleh gelombang lautan di Selat Malaka. Tubuh keempat ABK yang kabur dari kapal ikan Fu Yuan Yu 1218 itu hanya berjarak sejengkal dengan kematian selama berjam-jam.
Selepas tengah malam pada 12 April 2020, Mashuri berjalan mengendap-endap menuju buritan kapal Fu Yuan Yu 1218. Terlihat dua ABK berkewarganegaraan China sedang berjaga di anjungan kapal. Berbekal parasut dan setumpuk styrofoam ukuran 2 meter x 2 meter yang sudah diikat, Mashuri lalu menceburkan diri ke laut.
Mashuri tak sendiri. Kelima rekannya menyusul aksi nekatnya. Tiga di antaranya berhasil menjangkau ”sekoci darurat” itu. Namun, tidak bagi dua ABK lainnya. Mereka lenyap tergulung ombak. Tubuh ABK asal Sukabumi, Jawa Barat, dan Padang, Sumatera Barat, itu tak pernah ditemukan.
”Sempat (dicari). Akhirnya ya sudah. Karena kami sendiri saja enggak tahu bisa selamat atau tidak. Atau bahkan mereka yang selamat, kami yang enggak selamat. Karena itu lautan lepas,” ungkap Mashuri saat ditemui di rumahnya, di Lumajang, Jawa Timur, Selasa (25/7/2023).
Selama terombang-ambing di lautan, keempat ABK ini hanya merebahkan diri di atas styrofoam karena tak kuasa menahan mual. Mashuri bahkan terus-menerus muntah meski memaksa menelan bakpao yang dibawa. Dalam kondisi lemah dan perut kosong, mereka hanya berharap dapat ditemukan oleh kapal.
Selama 12 jam terombang-ambing, Mashuri hanya terkulai lemas. Dia bahkan sempat menyadari bahwa dirinya kian dekat dengan kematian. Sambil termenung, dia sempat mengucapkan permintaan maaf kepada sang ibu. Dia khawatir tak pernah lagi bertemu dengan ibunya.
”Maaf bu, saya ke sini agak dilarang. Mungkin ini akibat karena enggak direstui kerja di laut. Jadinya kayak gini,” kata Mashuri saat menirukan ucapannya ketika sedang terombang-ambing.
Satu-satunya peluang selamat yang bisa diharapkan Mashuri adalah ditemukan oleh kapal. Sebab, posisi mereka kala itu memang semakin menjauhi daratan.
Setelah sempat dua kali diabaikan oleh kapal yang melintas, harapan mereka kembali hidup. Sebuah kapal pengangkut batubara melintas tepat di hadapan mereka. Tak ingin menyia-nyiakan kesempatan, Mashuri melambai-lambaikan karung warna merah dan putih sambil berteriak minta tolong.
Baca juga: Anak-Anak Perempuan Dijual dan Dilacurkan
Kru kapal bergegas melemparkan tali. Namun, jaraknya masih terlalu jauh dari jangkauan mereka. Tanpa pikir panjang, Mashuri langsung berenang sejauh 100 meter untuk menggapai tali tersebut dan membawanya ke styrofoam. Tali ditarik, keempat ABK tersebut akhirnya dinaikkan ke atas kapal.
Dari situ, mereka kemudian dijemput oleh polisi laut Malaysia dan dibawa ke Batu Pahat, Malaysia. Polisi lalu menghubungi pihak KBRI Indonesia di Kuala Lumpur untuk menjemput mereka. Tak lama kemudian, mereka dipulangkan ke Tanah Air.
Tak tahan
Para ABK asal Indonesia tersebut memilih kabur dari kapal Fu Yuan Yu 1218 karena sudah tak tahan dengan sistem kerja di sana. Mashuri dan teman-temannya harus bekerja setidaknya 20 jam sehari dan hanya diberi waktu tidur 3-4 jam sehari. ”Itu pun saya tidak bisa tidur. Jadi kadang baru 3 hari sekali tidur. Paling cuma 3 jam,” kata Mashuri.
Mereka diberi waktu libur hanya ketika cuaca buruk atau saat badai sehingga tidak memungkinkan untuk menangkap ikan. Selain karena sistem kerja, Mashuri juga tidak bisa menyantap makanan yang ada di kapal. ”Adanya cuma bakpao keras,” ucapnya.
Sampai kepikiran, wah habis ini giliran saya mati. Semuanya diam kayak orang gila. Waktu itu cuma takut psikis terganggu terus lompat (ke laut) atau bunuh diri. (Mashuri)
Selain karena pekerjaan dan makanan, terdapat suatu kejadian yang membuat Mashuri dan ABK lain asal Indonesia semakin tidak betah di kapal, yakni saat menyaksikan TF, rekan ABK dari Semarang, Jawa Tengah, meninggal di atas kapal karena sakit.
Awalnya, TF mengalami mabuk laut dan tidak dapat menerima asupan makanan sehingga tubuhnya melemah. Namun, TF terus diminta bekerja. Pada suatu hari, TF ditemukan meninggal karena terjatuh.
Alih-alih dipulangkan kepada keluarga, jenazah TF malah dilarung ke laut. Mashuri dan teman-teman lain sempat memohon sambil bersujud dan menangis agar jenazah dipulangkan ke Tanah Air. Namun, kapten bergeming. Dia malah memaksa Mashuri dan ABK Indonesia melarung jenazah TF. Rasa bersalah yang tak berkesudahan dialami para ABK Indonesia seusai pelarungan itu.
”Sampai kepikiran, wah habis ini giliran saya mati. Semuanya diam kayak orang gila. Waktu itu cuma takut psikis terganggu terus lompat (ke laut) atau bunuh diri,” kata Mashuri.
Baca juga: Anak Mucikari Itu Ingin seperti Ibunya
Tak ingin bernasib sama dengan TF, para ABK Indonesia tersebut kemudian mendesak kapten untuk memulangkan mereka. Kapten kemudian berjanji akan memulangkan saat tiba di pelabuhan Singapura, tempat di mana mereka pertama kali menaiki kapal ikan itu.
Seusai mencari ikan di perairan Oman, kapal Fu Yuan Yu 1218 berlayar menuju Singapura melalui Sri Lanka dan Selat Malaka. Namun, tiba-tiba kapal berbalik arah. Kapten sempat beralasan kapal dilarang bersandar karena pandemi Covid-19. Dari situ, para ABK mulai frustrasi dan punya niatan untuk kabur.
Mashuri dan teman-temannya bekerja di kapal ikan China tersebut melalui PT Mandiri Tunggal Bahari (MTB) selaku perusahaan penyalur. Pada Mei 2020, dua unsur pimpinan PT MTB ditangkap kepolisian terkait kasus pelarungan ABK.
Kekerasan fisik
Kekerasan dan eksploitasi juga membuat Adi Saputra (24) enggan menuntaskan kontrak kerjanya sebagai anak buah kapal ikan berbendera China, April 2019 .
Ia dan sejumlah kawan asal Indonesia kala itu mendesak PT Puncak Jaya Samudra (PJS)—perusahaan perekrut—memulangkan mereka dengan menolak naik kapal lagi saat bersandar di Samoa, negara kepulauan di Samudra Pasifik, setelah 11 bulan berlayar. Mereka juga setuju menanggung biaya pulang yang dibebankan PT meski tak pernah ada transparansi berapa sebenarnya biaya tersebut.
Padahal, gaji Adi di kapal bernama Tian Xiang 16 itu 300 dollar (sekitar Rp 4,2 juta berdasarkan kurs 2018) per bulan. Uang yang diterima keluarganya baru sekitar Rp 6 juta karena ada pula potongan gaji 100 dollar kali sembilan bulan untuk utang pembuatan dokumen-dokumen dan biaya proses. ”Jadi kami pulang kosong sama sekali, enggak bawa uang,” kenangnya.
Perkara bermula dari kerja paksa yang dijalani Adi di kapal sejak melaut pada Mei 2018. Dalam sehari, ia menangkap ikan dengan mengoperasikan jaring rata-rata pukul 11.00-05.00. ”Hampir 20 jam enggak boleh duduk sama sekali,” ujarnya.
Istirahat yang hanya empat jam sehari juga tidak diganjar dengan gizi yang sepadan. Menu bagi Adi dan kawan-kawannya ialah bubur—sebenarnya nasi diberi air—pada pagi hari, nasi dan lauk di sore hari, serta mantau (semacam bakpau) dan satu saset kopi untuk malam.
Alhasil, Adi mudah lapar, lelah, dan mengantuk ketika bekerja. Itu lantas memicu kekerasan dari awak kapal berkewarganegaraan China. Sebuah lingkaran setan. ”Kita ngantuk, enggak boleh. Kita makan waktu kerja, enggak boleh. Ngebantah juga enggak boleh,” ucapnya.
Pernah suatu pagi, Adi dan sesama WNI berkumpul untuk minum kopi dan merokok sebelum mulai bekerja. Tiba-tiba ABK China menendangi mereka semua. Bagian perut dekat dada Adi turut jadi sasaran, berdampak pada lambung dan tulang rusuk.
Efek jangka panjangnya, ia hingga kini sulit tidur miring karena nyeri di tulang. Ia juga untuk pertama kalinya menderita sakit lambung. Makanan yang bisa masuk ke perutnya jadi lebih sedikit, tetapi ia mesti lebih sering makan.
Karena itu, sewaktu di kapal, Adi sering sembunyi-sembunyi makan sambil bekerja. Ia pernah tepergok dan dikurung di ruang pendingin ikan hingga dua jam. Ia tak peduli karena ia lebih tahan dingin daripada nyeri lambung.
Adi mengaku sudah menceritakan segala eksploitasi dan kekerasan itu pada PT PJS via telepon saat bersandar di Samoa pada April 2019. Namun, hanya imbauan untuk sabar yang diterimanya. Ia pun lebih memilih pulang dengan begitu banyak potongan gaji akibat tidak menyelesaikan kontrak daripada terancam kehilangan nyawa atau nekat bunuh diri di atas Tian Xiang 16.
Direktur PT PJS Herman Suprayogi mengungkapkan, selama ini tidak banyak aduan yang masuk ke perusahaan terkait dengan permasalahan yang dialami oleh ABK. ”Saya katakan (pengaduan) di bawah 1-2 persen lah. Dan, pengaduan itu sebenarnya menurut saya yang itu-itu saja. Ketika anak tidak selesai kontrak, lalu mereka minta kembali jaminan. Padahal sudah jelas di PKL bahwa jaminan itu tidak akan didapat ketika dia tidak selesai,” katanya.
Herman menyangkal adanya perbudakan yang dialami oleh ABK di atas kapal dengan lama kerja di atas kapal hingga 20 jam dalam sehari. Menurut dia, keluhan mengenai lamanya jam kerja tersebut dikarenakan ABK tidak siap secara mental.
”Memang kadang ketika bekerja itu ada yang bilang 20 jam dan sebagainya. Itu sebenarnya situasi saat operasi. Karena saat perjalanan kan mereka juga tidak bekerja,” katanya. (FRD/JOG/DVD/ILO)