Gula Menjadi Candu bagi Orang Indonesia
Hampir semua orang Indonesia menyukai konsumsi gula dalam berbagai makanan dan minuman. Dari data Badan Pusat Statistik, hampir seluruh lapisan masyarakat Indonesia tak bisa lepas dari konsumsi gula setiap harinya.
JAKARTA, KOMPAS - Gula menjadi candu di semua lapisan masyarakat Indonesia. Padahal konsumsi gula berlebih dapat memicu berbagai penyakit dengan biaya perawatan yang tidak murah. Beban berganda muncul jika hal itu terjadi pada masyarakat miskin dan tidak memiliki jaminan kesehatan.
Harian Kompas menemukan ada 47,9 juta penduduk Indonesia mengonsumsi gula berlebih. Angka ini diperoleh dari pengolahan data konsumsi masyarakat di Survei Sosial Ekonomi Nasional Badan Pusat Statistik (Susenas BPS) tahun 2021. Dengan memilih 37 jenis makanan dan minuman berpemanis dari total 188 jenis bahan makanan dan makanan minuman jadi yang tersedia di Susenas, dapat dihitung konsumsi gula harian orang Indonesia.
Gula yang dikonsumsi masyarakat tidak hanya murni berasal dari gula pasir dan gula merah saja. Kandungan gula juga ditemukan di sejumlah makanan dan minuman jadi, bahan minuman, bumbu-bumbuan, hingga olahan susu. Contohnya satu saset kopi instan mengandung 13 gram gula. Begitu juga satu saset saus tomat juga mengandung 3 gram gula.
Bagi 47,9 juta penduduk dengan konsumsi gula berlebih, gula pasir menjadi makanan yang paling banyak dikonsumsi. Dalam sehari rata-rata mereka mengkonsumsi 34,9 gram gula pasir. Setelah itu disusul susu kental manis sebanyak 4,4 gram per hari. Kemudian gula merah 4,1 gram per hari, kecap 3,3 gram per hari, dan berbagai macam jenis es 2,9 gram per hari.
Status Ekonomi
Dari hasil olahan data Susenas BPS 2021, terlihat semakin kaya orang Indonesia, semakin banyak mereka mengkonsumsi gula. Data ini terlihat dari kelompok pengeluaran bulanan per orang. Diketahui dari total 4,1 juta penduduk dengan pengeluaran bulanan lebih dari Rp 5 juta, 27,6 persen di antaranya terindikasi mengkonsumsi gula lebih dari 10 persen kebutuhan energinya. Padahal berdasarkan anjuran Badan Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO), konsumsi ideal gula harian sebesar 10 persen dari total kebutuhan kalori.
Dari hasil olahan data Susenas BPS 2021, terlihat semakin kaya orang Indonesia, semakin banyak mereka mengkonsumsi gula. Data ini terlihat dari kelompok pengeluaran bulanan per orang
Sementara dari total penduduk dengan pengeluaran bulanan Rp 2,5-5 juta terdapat 27,1 persen yang mengkonsumsi gula berlebih. Kemudian berangsur turun menjadi 22,9 persen di penduduk kelompok pengeluaran Rp 1-2,5 juta. Begitu juga 14,2 persen di kelompok penduduk pengeluaran bulanan Rp 500 ribu – Rp 1 juta.
Warga membeli minuman di salah satu gerai minuman di Jalan Kyai H Syahdan, Jakarta Barat, Senin (14/11/2022). Konsumsi makanan dan minuman manis dengan kandungan gula yang tinggi dikenal sebagai salah satu pemicu diabetes.
Di sisi lain, penduduk dengan pengeluaran bulanan besar identik dengan penduduk yang tinggal di daerah perkotaan. Hal ini pun tergambar dari rata-rata pengeluaran penduduk di daerah perkotaan menurut hasil survei BPS sebesar Rp 1,49 juta per bulan. Sementara rata-rata pengeluaran penduduk tinggal di daerah pedesaan sebesar Rp 971 ribu per bulan.
Hal ini yang membuat penduduk dengan pengeluaran tinggi di perkotaan, semakin mudah mengkonsumsi gula dalam porsi yang banyak.
Baca juga : Indonesia dalam Ancaman Obesitas dan Diabetes
Pengajar Departemen Ahli Gizi Universitas Indonesia dr. Erfi Prafiantini berpendapat bahwa kemudahan akses untuk menjangkau makanan di kota memang lebih bervariasi.
“Kalau pendapatan di desa sama dengan pendapatan di kota. Misal pengusaha atau petani sukses. Tapi akses dia tidak banyak, misal hanya pasar atau minimarket. Jika bosan kembali makan singkong atau talas lagi. Tapi kalau di kota, misal bulan ini sedang ‘ngetren’ minuman satu, bulan depannya ada baru lagi. Anak-anak suka begitu juga orang tuanya,” kata Erfi.
Penggemar gula juga ternyata tidak terbatas usia. Data survei BPS menunjukkan tren semakin tua seseorang, semakin banyak persentase merekamengonsumsi gula berlebih. Pada kelompok usia kurang dari 15 tahun hanya 15 persen penduduk kelebihan gula. Kemudian usia 15-24 tahun ada 16 persen dan usia 25-34 tahun ada 17,5 persen. Angka ini terus naik hingga di usia 55-64 tahun terdapat 21,6 persen penduduk candu gula.
Meningkat
Analisis Tim Jurnalisme Data Harian Kompas menunjukkan bahwa ada peningkatan konsumsi makanan dan minuman berpemanis dalam 16 tahun terakhir. Hasil ini membandingkan pola konsumsi masyarakat Indonesia tahun 2005 dengan 2021.
Konsumsi makanan manis seperti roti tawar naik tiga kali lipat. Minuman berpemanis meningkat 35,2 persen dari 2005 ke 2021. Konsumsi minuman berbahan dasar kopi bahkan meningkat 100 persen dalam periode yang sama.
Erfi Prafiantini mengaku sependapat dengan analisis ini. Dia menilai, promosi yang agresif serta peningkatan daya beli masyarakat menjadi salah satu faktor yang berkontribusi kuat pada peningkatan konsumsi makanan dan minuman berpemanis di kalangan masyarakat Indonesia.
"Itu fenomena di masyarakat saat ini. Terkait daya beli masyarakat juga. Ada berbagai macam promo yang menarik, terlihat enak, ada antrean. Hal yang masih jadi perhatian bagi praktisi kesehatan adalah nilai gizinya. Itu mungkin jadi perhatian nomor kesekian bagi banyak orang," kata Erfi
Biaya tinggi
Konsumsi gula berlebih menjadi cerminan gaya hidup tidak sehat dan dapat meningkatkan potensi munculnya penyakit. Executive Directior International Pediatric Association (IPA) Prof. Aman Bhakti Pulungan menyebutkan kesadaran masyarakat akan gaya hidup sehat masih kurang.
“Orang menganggap diabetes pada usia dewasa. Jadi dibiarin pas masih muda, nanti kalau sudah tua baru mikir hidup sehat. Itu yang salah kalau saya bilang. Kandungan gula kita berlebihan kalau dibilang. Semuanya itu harus pakai manis pakai gula,” ungkap Aman.
Di sisi lain saat seseorang dinyatakan mengidap diabetes, walau dapat dikontrol namun tidak dapat disembuhkan. Setiap pengidap diabetes harus menerapkan serangkaian perawatan dan hidup sehat agar dapat tetap beraktivitas tanpa gangguan dan terhindar dari komplikasi. Proses ini membutuhkan dana besar.
Untuk mengatasi resistensi insulin di dalam tubuh penyandang diabetes, perawatan dapat dilakukan melalui terapi oral dan insulin. Terdapat berbagai macam kombinasi obat sesuai dengan karakteristik dan keparahan kondisi penyandang diabetes.
Biayanya berkisar Rp 275.300 hingga Rp 1.066.520 per bulan. Komponen biaya ini terdiri dari biaya obat baik oral maupun insulin, biaya lab, dan biaya dokter. Rentang biaya terapi tersebut merupakan hasil kajian “Analisis Efektivitas Biaya Terapi Kombinasi Insulin dengan Obat Antidiabetes Oral pada Pasien Rawat Jalan Penderita Diabetes Melitus Tipe 2 di RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen (Daffa, 2022).”
Baca juga : Manis di Awal Derita di Akhir
Biaya itu belum termasuk jika penyandang diabetes rawat inap. Menurut Statistik Jaminan Kesehatan Nasional, biaya rawat inap pasien diabetes berkisar antara Rp 7,68 - Rp 13,87 juta per tahun.
Besarannya tergantung tingkat gangguan nutrisi dari ringan hingga berat. Angka ini diperoleh dari rata-rata jumlah biaya klaim dan jumlah admisi peserta BPJS penyandang diabetes sepanjang tahun 2021.
Jaminan kesehatan
Biaya perawatan penyandang diabetes yang tinggi sangat terbantu oleh jaminan kesehatan. Menurut data BPJS Kesehatan hingga Desember tahun 2022 jumlah peserta Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sudah mencapai 91,92 persen dari total penduduk Indonesia.
Bahkan tidak hanya JKN, sebagian penduduk juga memiliki jaminan kesehatan lainnya. Data Susenas BPS tahun 2021 menggambarkan dari total penduduk Indonesia, ada 8,4 persen penduduk memiliki jaminan kesehatan daerah (Jamkesda) serta 3,7 persen penduduk lainnya memiliki asuransi swasta dan jaminan dari kantor/perusahaan.
Meski demikian, tidak sedikit ditemukan penduduk yang terindikasi mengonsumsi gula berlebih, namun tidak memiliki jaminan kesehatan. Data BPS yang sama menunjukkan masih ada 31,7 persen dari total 47,9 juta orang dengan konsumsi gula berlebih tidak punya jaminan kesehatan sama sekali.
Beban ganda muncul ketika kondisi tersebut terjadi pada 1,4 juta penduduk miskin, yang terindikasi mengonsumsi gula berlebih, dan tidak memiliki jaminan kesehatan. Mereka yang termasuk penduduk miskin ini memiliki pengeluaran bulanan kurang dari Rp 535.547 per orang, sesuai dengan batas garis kemiskinan per September 2022.
Jika gaya hidup tidak sehat ini merenggut kesehatan kelompok masyarakat miskin, beban ditanggung akan semakin besar. Dengan biaya paling murah saja yaitu Rp 275.300 per bulan, sudah menguras lebih dari separuh pengeluaran bulanan masyarakat miskin ini.
Baca juga : Bulan Puasas Bukan Saat untuk Menambah Asupan Gula
Mengetahui hal tersebut, Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Gufron Mukti menyayangkan jika masih ada penduduk Indonesia yang belum memiliki JKN. “Jangan sampai ada orang tidak tercakup BPJS. Kalau dia tidak mampu bayar, gampang. Urus di dinas sosial atau masuk ke Kemensos masuk ke DTKS (Data Terpadu Kesejahteraan Sosial),” jawab Gufron saat ditemui di Jakarta, Kamis, 6 April 2023.
Prioritas masyarakat untuk menjaga kesehatan juga dinilai masih kurang. Gufron mengibaratkan perokok di Indonesia yang menghabiskan rokok minimal Rp 150 ribu per bulan. Padahal iuran BPJS yang paling murah hanya Rp 35.000 sebulan. “Artinya mindset dia, mana yang prioritas. Merusak dirinya seperti gula tadi, atau untuk rokok, atau untuk kesehatan,” lanjut Gufron.