Masyarakat Adat Global Kritik Praktik Industri EBT
Kriminalisasi dan serangan terhadap para pemimpin serta komunitas masyarakat adat semakin meningkat.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD
·3 menit baca
NEW YORK, JUMAT — Perwakilan masyarakat adat dari 35 negara, Kamis (18/4/2024), menelurkan deklarasi yang mengkritik praktik buruk industri energi baru terbarukan atau EBT. Masyarakat adat menilai industri EBT mengabaikan hak-hak mereka dalam upaya mengembangkan EBT yang dibutuhkan dalam perjuangan bersama mengatasi krisis iklim.
”Kami menyadari dan mendukung kebutuhan untuk mengakhiri ketergantungan terhadap bahan bakar fosil dan beralih ke energi terbarukan sebagai hal penting dalam mengatasi krisis iklim. Namun, transisi energi saat ini gagal memenuhi kriteria keadilan, kesetaraan sosial, dan kelestarian lingkungan, khususnya dari perspektif hak dan kesejahteraan masyarakat adat,” demikian pernyataan masyarakat adat.
Dokumen bersama itu dihasilkan setelah puluhan perwakilan masyarakat adat global melaksanakan Konferensi Masyarakat Adat dan Transisi Energi yang Berkeadilan. Kegiatan itu dihadiri perwakilan masyarakat adat dari Amerika Serikat, Kanada, Brasil, Kenya, Australia, dan Norwegia.
Litium, nikel, dan kobalt adalah beberapa mineral penting yang saat ini menjadi primadona industri EBT global, khususnya dalam pengembangan kendaraan listrik berbasis baterai. Negara-negara pemilik industri otomotif besar mengincar mineral-mineral ini untuk digunakan pada industri baterai kendaraan listrik mereka.
Berbagai mineral lain, termasuk mineral tanah jarang, juga digunakan untuk pembangkit listrik tenaga surya dan angin. Permintaan tembaga dan aluminium semakin tinggi seiring perluasan jaringan listrik di sejumlah negara.
Kritik utama masyarakat adat global adalah ketika bahan-bahan itu ditemukan di sekitar lokasi tempat tinggal masyarakat asli, industri dan pemerintah meminggirkan mereka. Sekitar setengah dari proyek mineral dan logam transisi energi berlokasi di atau dekat tanah masyarakat adat dan petani subsisten lainnya, menurut penelitian yang diterbitkan pada 2022 oleh jurnal Nature Sustainability.
Pernyataan masyarakat adat juga mengecam Dewan Internasional Pertambangan dan Logam, kelompok perdagangan yang mengklaim mewakili sepertiga pelaku industri pertambangan global, serta Otoritas Dasar Laut Internasional karena dinilai gagal menghormati hak-hak masyarakat adat. Kedua lembaga itu dan para pelaku industri EBT melakukan praktik yang dinilai sama dengan para pelaku industri pertambangan lainnya meski kini memakai jargon EBT.
Pertambangan telah meninggalkan warisan kerusakan lingkungan di banyak tempat selama lebih dari satu abad dan kini semakin meluas. Kriminalisasi dan serangan terhadap para pemimpin serta komunitas masyarakat adat juga semakin meningkat.
Mengutip data The Business & Human Rights Resource Center (BHRRC), organisasi nonprofit internasional yang memeriksa dampak industri global terhadap hak asasi manusia, setidaknya terdapat 49 tudingan pelanggaran hak-hak masyarakat adat terkait ekstraksi enam mineral yang dibutuhkan untuk industri EBT pada 2010-2022.
Data BHRRC dan IPRI (Hak-hak Masyarakat Adat Internasional) juga mencatat, pada periode Januari 2015 hingga Agustus 2022, setidaknya terjadi 883 serangan terhadap pembela HAM masyarakat adat yang berupaya melindungi hak, tanah, wilayah, dan sumber daya mereka dari bisnis yang merugikan. Serangan itu termasuk pembunuhan, ancaman, penahanan sewenang-wenang, dan tuntutan hukum strategis terhadap partisipasi publik.
Selain itu, menurut BHRRC, hanya dua dari 28 perusahaan yang dinilai memenuhi Tolok Ukur Energi Terbarukan Tahun 2023 dan memiliki komitmen kebijakan yang jelas untuk menghormati hak-hak masyarakat adat. Hak-hak itu mencakup hak atas keputusan bebas, didahulukan, dan diinformasikan.
Ruth Alipaz Cuqui, pemimpin masyarakat adat di Amazon, Bolivia mengatakan, masyarakat adat mungkin merupakan kelompok warga yang memberikan dampak kecil pada bumi. Namun, mereka juga ingin berkontribusi dalam perjuangan bersama menghadapi krisis iklim.
”Kami memahami bahwa kami harus menjadi bagian dari keseluruhan proses ini. Partisipasi tersebut harus komprehensif, jika tidak, transisi energi tidak akan adil,” katanya.
Dia mencontohkan situasi di Uyuni, Bolivia, di sekitar danau garam Salar de Uyuni. Masyarakat yang tinggal di wilayah tersebut menentang penggunaan air secara berlebihan untuk mengekstrak litium. Proyek yang masih dalam tahap awal ini merupakan usaha patungan antara Bolivia dan China. Kementerian Energi Bolivia tidak menanggapi permintaan komentar.
Hal serupa terjadi di Chile. Empat komunitas masyarakat adat di sekitar danau garam Atacama menghentikan dialog dengan raksasa tembaga Codelco dan perusahaan penambang litium SQM, Senin (15/4/2024). Dialog telah berlangsung sejak Desember 2023.
Perwakilan masyarakat adat Camar, Toconao, Socaire, dan Peine, dalam pernyataan bersama menyebut, dialog terpaksa dihentikan karena mereka menilai lawan tidak bersedia berdialog.
”Terlepas dari upaya komunitas kami, faktanya di antara para aktor yang terlibat tidak ada kemauan nyata untuk mempertahankan dialog,” sebut pernyataan mereka.
Penghentian dialog ini hampir setahun setelah Presiden Chile Gabriel Boric menugaskan Codelco, produsen tembaga terbesar di dunia, memimpin upaya meningkatkan kendali negara atas proyek litium strategis tersebut. Sejauh ini belum ada komentar dari dewan adat, SQM, dan Codelco mengenai terhentinya dialog tersebut.
Konferensi juga menghasilkan sejumlah rekomendasi bagi pemerintah. Negara dan institusinya didesak mengakui, menghormati, dan melindungi hak masyarakat adat, seperti yang tercantum dalam Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang hak-hak masyarakat adat.
Pemerintah di setiap negara juga diminta mereformasi sejumlah aturan perundangan guna mengakhiri kriminalisasi masyarakat adat. Mereka juga diminta menghentikan serangan, pembunuhan, kekerasan, dan penindasan pembela hak masyarakat adat.
Selain itu, pemerintah juga didesak untuk memastikan inisiatif transisi energi berlangsung adil, dengan memprioritaskan HAM, hak-hak masyarakat adat, keadilan sosial, integritas budaya, dan perlindungan lingkungan. (AP/Reuters)