Litium, Tumpuan Evolusi Berkendara
Era kendaraan bermotor berbahan bakar fosil segera digantikan listrik. Usaha menahan laju pemanasan global ini membutuhkan eksploitasi litium yang ironisnya sudah menimbulkan persoalan lingkungan dan sosial tersendiri.
Pemanasan global adalah kenyataan. Kendaraan bermotor menjadi salah satu penyumbangnya. Dalam kesadaran itu, peradaban kendaraan bermotor dipaksa berubah, dari bahan bakar fosil ke listrik. Litium sebagai bahan baku baterai menjadi tumpuan arus perubahan itu dengan sejumlah catatan kritis.
Sebuah hasil studi yang dilakukan sekelompok ilmuwan akhir April memperlihatkan bahwa bumi telah kehilangan rata-rata 267 gigaton es per tahun akibat pemanasan global. Satu gigaton setara dengan 1 miliar ton yang bisa menyelimuti seluruh Central Park di New York City, Amerika Serikat, dengan ketebalan es mencapai 341 meter.
Dampak pemanasan global yang nyata tersebut membuat sejumlah negara mendorong warganya untuk mengalihkan kendaraan konvensional mereka, dari berbahan bakar fosil ke listrik. Sektor transportasi sebagai salah satu penyumbang terbesar gas rumah kaca dan berkontribusi terhadap memanasnya suhu bumi mulai berbenah dengan sejumlah cara, di antaranya dengan menghentikan penjualan solar dan bensin secara bertahap mulai 2030.
Baca juga: Bumi Kian Tak Ramah
Adapun insentifnya berupa subsidi pengembangan dan pembelian kendaraan listrik. Model ini banyak digunakan di negara Skandinavia dan China. Tak heran, angka penjualan kendaraan listrik di kedua kawasan ini melebihi kawasan lainnya.
Berdasarkan data Kendaraan Listrik Global 2020 yang dirilis Badan Energi Internasional (IEA), kendaraan listrik di dunia pada 2010 berjumlah 17.000 unit. Hanya dalam waktu sembilan tahun, jumlahnya membengkak menjadi 7,2 juta unit. Sekitar 50 persen di antaranya berada di China yang memimpin angka penjualan kendaraan listrik, baik roda dua, roda tiga, mobil pribadi, hingga bus.
IEA memperkirakan, masifnya kampanye kepemilikan kendaraan listrik, ditambah dengan kebijakan penghentian penjualan bahan bakar fosil, membuat jumlah kendaraan listrik membengkak lebih dari enam kali lipat.
Skenario moderat menunjukkan, jumlah kendaraan listrik di jalanan dunia pada 2030 bisa mencapai 140 juta unit. Dalam skenario ambisius, angkanya bisa melonjak menjadi 245 juta unit. Ini di luar kendaraan listrik roda dua yang juga marak ditawarkan sebagai alternatif model kendaraan listrik.
Lamborghini, salah satu perusahaan otomotif yang dikenal dengan mobil sports dan bahkan hypercar asal Italia, pun sadar bahwa perusahaan otomotif dunia berada di persimpangan jalan. Kini, menurut Presiden Direktur dan CEO Lamborghini Stephan Winkelmann, konsumen lebih sadar dengan kondisi iklim dunia dan produk yang digunakannya lebih ramah atau sebaliknya.
”Tantangan utama industri otomotif dunia adalah peraturan yang sangat ketat dan mengacu pada target pengurangan emisi karbon dioksida. Bagi perusahaan sportscar, ini adalah tantangan untuk menyeimbangkan antara performa kendaraan dan mencoba mengurangi emisi karbon yang dihasilkan oleh mobil,” kata Winkelmann, Selasa (18/5/2021).
Baca juga: Transisi Mercedes Menuju Elektrifikasi
Dalam arus perubahan tersebut, litium menjadi unsur integralnya. Kendaraan listrik, terutama yang berbasis baterai, membutuhkan litium sebagai bahan bakunya. Hal ini membuat spektrum pemanfaatan litium menjadi kian lebar.
Sejak beberapa dekade terakhir, litium sebenarnya telah menjadi bahan baku baterai. Namun, penggunaan baterainya masih terbatas untuk peranti elektronik kecil, seperti komputer jinjing, laptop, dan telepon genggam.
Faktor yang membuat litium banyak dipakai sebagai bahan baku baterai adalah kemampuan penyimpanan energi yang besar. Bobotnya juga tergolong ringan dibandingkan bahan dasar lainnya, seperti nikel.
Untuk membuat calon konsumen beralih dari kendaraan dengan bahan bakar fosil ke kendaraan listrik berbasis baterai adalah daya jelajah atau jarak tempuh kendaraan dalam sekali pengisian. Hal ini sering kali menjadi pertimbangan pengguna kendaraan konvensional yang ingin beralih ke kendaraan listrik berbasis baterai. Termasuk di dalam pertimbangan itu adalah ketersediaan fasilitas stasiun pengisian listrik umum (SPLU).
Beberapa pabrikan otomotif sering kali bekerja sama dengan pihak ketiga untuk mengembangkan teknologi baterai bagi calon kendaraan yang tengah mereka garap. Selain masalah jarak tempuh, bentuk atau desain baterai juga harus menyesuaikan dengan desain mobil secara keseluruhan, terutama mempertimbangkan masalah gravitasi serta keselamatan berkendara.
Perusahaan-perusahaan yang bergelut dengan pengembangan teknologi baterai, seperti Samsung dan LG asal Korea, BYD asal China, hingga Tesla di Amerika Serikat bersaing untuk menciptakan baterai kendaraan dengan desain sesuai produk turunan dan memiliki jarak tempuh yang terjauh untuk sekali pengisian. Hal ini tak mudah karena jarak tempuh yang jauh membutuhkan lihium yang lebih banyak.
Dikutip dari laman Forbes, jika jumlah kendaraan listrik berbasis baterai mencapai 145 juta unit pada 2030, kebutuhan baterainya mencapai 2.700 gigawatt hour (GWh) baterai lithium-ion. Ini setara dengan 225 miliar baterai iPhone11.
Baca juga: Sengatan Mobil Listrik di IIMS Hybrid 2021
Meningkatnya kebutuhan litium untuk bahan baku baterai membuat industri ramai-ramai mencari sumber litium di seluruh penjuru bumi. Ini berlangsung sejak 2010 ketika penggunaan litium sebagai bahan baku baterai meningkat. Puluhan perusahaan tambang melakukan studi kelayakan penambangan litium di berbagai belahan dunia.
China, sebagai produsen dan konsumen mobil listrik terbesar saat ini, membutuhkan sedikitnya 800.000 ton litium setiap tahun untuk menopang produksi kendaraan listriknya. Jumlah ini masif.
Hasil survei Badan Survei Geologi AS (USGS) yang dirilis pada Januari 2020 menyebutkan, cadangan litium di seluruh dunia mencapai 80 juta ton. Cadangan terbesar berada di tiga negara Amerika Latin, yaitu Bolivia, Argentina, dan Chile. Total cadangannya mencapai 47 juta ton litium atau sekitar 59 persen. Negara-negara lain yang memiliki cadangan litium besar antara lain Australia, Jerman, Kongo, dan China.
Namun, tidak mudah untuk mengekstraksi litium yang ada di bawah permukaan bumi. Sama dengan industri ekstraksi lainnya, penambangan litium membutuhkan peralatan yang masif dan sumber daya yang besar, termasuk air.
Bolivia adalah negara dengan cadangan litium terbesar di dunia, yaitu sebanyak 21 juta ton. Sebagian besar tersimpan di Salar de Uyuni, danau garam terbesar di dunia yang berada di ketinggian lebih dari 3.500 meter di atas permukaan laut. Menurut sejumlah ahli, sulit untuk mengekstraksi litium di kawasan itu.
Dikutip dari New York Times, proses pemurnian litium dari material lainnya membutuhkan ribuan liter air. Sementara mengutip laman Harvard International Review, untuk mendapatkan 1 ton litium murni, perusahaan tambang litium membutuhkan sekitar 500.000 galon air atau sekitar 1,89 juta liter air. Di Salar de Acatama, lokasi penambangan litium di Chile, kegiatan ekstraksi litium memakan sekitar 65 persen suplai air yang seharusnya untuk kebutuhan warga lokal.
Baca juga: Gletser Meleleh Semakin Cepat, Permukaan Air Laut Naik Terus
Penambangan litium, seperti halnya usaha pertambangan lainnya yang tidak ramah lingkungan, bisa mengontaminasi cadangan air dalam tanah yang dibutuhkan banyak orang. Persoalan ini misalnya sudah terjadi di Nevada Utara, AS.
”Permintaan energi hijau kita yang terus meningkat bisa menimbulkan efek negatif yang lebih luas walau tujuannya sebenarnya baik,” kata Aimee Boulanger, Direktur Eksekutif lembaga Initiative for Responsible Mining Assurance, dikutip dari The New York Times.
Tidak hanya masalah lingkungan, ketimpangan pembagian kue dari hasil industri ekstraksi ini juga menjadi salah satu hal yang mendapat sorotan banyak orang. Warga Potosi, lokasi danau garam Salar de Uyuni di Provinsi Daniel Campos, Bolivia, melakukan demonstrasi atas kebijakan mantan Presiden Evo Morales soal eksploitasi litium di wilayah mereka. Gugatannya adalah bahwa pertambangan lebih menguntungkan perusahaan multinasional asing, yaitu satu perusahaan asal China dan perusahaan asal Jerman.
Sebelum terdepak dari kekuasaan pada akhir 2019, Morales memutuskan untuk mencabut kerja samanya dengan perusahaan Jerman tersebut. Sementara terhadap perusahaan asal China, Presiden Bolivia Luis Arce masih meninjau ulang perjanjian kerja sama dengan perusahaan Grup TBEA asal Xinjiang.
Baca juga: Dua, Tiga Dekade dari Sekarang
Sejumlah negara anggota Uni Eropa juga mulai bersikap kritis terhadap praktik penambangan litium yang dinilai masih ”sangat kotor”. Pada saat yang sama, mereka juga membutuhkan jaminan pasokan litium melalui proses ekstraksi yang ”bersahabat” dengan lingkungan dan warga atau penduduk di sekitar lokasi pertambangan.
Menteri Lingkungan Hidup Portugal Joao matos Fernandes, dalam sebuah konferensi pertambangan hijau di Lisabon, awal Mei 2021, mengatakan, dibutuhkan upaya lebih banyak untuk menyelaraskan kepentingan ekonomi negara dan kepentingan ekonomi warga lokal dalam hal pertambangan litium yang dianggap masih berbahaya.
Baca juga: Mobil Bertenaga Listrik, Disrupsi Besar di Industri Otomotif
Sekretaris Jenderal Biro Lingkungan Eropa (EEB) Jeremy Wates mengatakan, penambangan akan diterima oleh publik jika teknologi terbaik digunakan untuk mengurangi dampak lingkungan, serta jika perusahaan mematuhi hukum dan menghormati komunitas lokal. ”Orang-orang lokal berada di garis depan,” kata Wates.
Peter Handley, yang membawahi unit bahan mentah di Komisi Eropa, mengatakan, sangatlah penting bagi orang-orang untuk mendapatkan informasi bahwa penambangan litium menggunakan metode yang berbeda dengan penambangan konvensional lama yang kotor. (REUTERS)