Bumi Kian Tak Ramah
Bumi terus menunjukkan ketidakramahannya pada manusia. Bila tidak bergerak sekarang, kerusakan akan terus terjadi.
Balkisa Sawadogo meletakkan sekop di sisi tubuhnya. Dia menyeka jari-jemarinya yang berlumuran pasir dengan baju yang dikenakannya sembari beristirahat, mengambil napas sejenak, mengistirahatkan tubuhnya yang lelah setelah seharian menyusun pasir dan kerikil dalam sebuah susunan yang enak dipandang.
Sawadogo, orangtua tunggal yang baru berusia 25 tahun itu, menjalani hari-harinya bekerja di sebuah lokasi penggalian pasir. Sudah tiga tahun terakhir, saat hujan mengering, Sawadogo beralih profesi dari petani menjadi penggali pasir setelah lahan pertaniannya yang terletak di pinggiran Kota Ouagadougu, Ibu Kota Burkina Faso, tidak bisa digarap sama sekali.
Baca juga: Dampak Perubahan Iklim Terasa di Mana-mana dan Semakin Berbahaya
Lahan yang dulunya subur kini mengering, memaksa para petani yang dulunya bertahan hidup dengan mengolahnya beralih profesi. Bekerja sejak matahari terbit hingga menjelang matahari terbenam untuk menyambung hidup diri dan keluarganya, meski hasilnya tak seberapa.
”Dulu, hidup lebih mudah. Dulu banyak pohon, tetapi sekarang semua yang ada di sana sudah mengering,” kata Sawadogo sambil menunjuk pemandangan tandus di sekitarnya.
Kini, setelah pepohonan menghilang, masalah bermunculan. ”Ada banyak masalah. Kami tidak cukup makan, tidak cukup uang, terkadang orang sakit,” katanya.
Sepuluh tahun lalu, Sawadogo masih bisa menanam padi, jagung, dan kacang tanah di lahan yang dikelolanya bersama keluarga. Meski hasil tidak melimpah, bagi Sawadogo dan keluarga, hasil jerih payah mengelola lahan pertanian itu cukup untuk bertahan hidup.
Situasi memburuk sejak 2015. Kurangnya curah hujan membuat mereka mencari lahan yang lebih menjanjikan. Pindah lokasi, ke pinggiran Ouagadougou, diharapkan akan memberikan hasil yang sama seperti 10 tahun lalu. Tapi, tiga tahun kemudian, lahan juga mengering.
Baca juga: Inggris Ajak Negara-negara Atasi Dampak Perubahan Iklim
Kondisi makin buruk saat para petani yang putus asa mulai menebang pepohonan untuk dijual. Tanpa sadar, langkah tersebut, menurut para ahli lingkungan, semakin mempercepat proses degradasi lahan dan mengurangi curah hujan.
Dampaknya, tabungan para petani tergerus untuk membeli makanan. Pada saat yang sama, harga bahan pangan terus meningkat.
Satu kilo jagung yang harganya kurang dari satu dolar pada tahun 2013 kini sudah dua kali lipat. Sawadogo harus bekerja selama dua hari untuk bekerja di galian pasir untuk mendapatkan upah sekitar 3,60 dollar AS atau sekitar Rp 51.000 untuk bisa membeli satu kilogram jagung untuk dirinya dan keluarga menyambung hidup.
Penghasilannya yang tidak tetap sebagai buruh galian pasir tidak cukup untuk memberi makan dan menyekolahkan ketiga anaknya. Setidaknya Sawadogo membutuhkan sekitar 180 dollar AS atau sekitar Rp 2,5 juta setiap bulan untuk mencukupi kebutuhan keluarganya. Penghasilan sebagai buruh galian hanya seperlima dari kebutuhannya. Sawadogo merasa, setelah pepohonan menghilang, banyak masalah bermunculan. ”Kami tidak cukup makan, tidak cukup uang. Bahkan, tidak jarang, sakit,” katanya.
Ancaman cuaca
Secara global, Burkina Faso hanya menyumbang 0,01 persen dari emisi global yang memanaskan bumi ini. Tapi, menurut Richard Munang, Koordinator Iklim Afrika untuk Program Lingkungan Perserikatan Bangsa Bangsa (UNEP), negara ini berada di peringkat ke-20 negara yang paling rentan terdampak iklim.
Gelombang panas, banjir, angin kencang, dan badai debu telah menyebabkan lebih dari sepertiga tanah Burkina Faso menjadi terdegradasi. Para ahli lingkungan menilai situasinya memburuk dan perubahan pola cuaca membuat para petani semakin sulit merencanakan masa tanam ataupun masa panen.
Baca juga: NASA Sebut 2020 Tahun Terpanas
Mathieu Ouedraogo, Presidn MARP Network Burkina, sebuah kelompok peneliti lingkungan mengatakan, tahun lalu, hujan yang biasa turun mulai bulan Juni atau Juli malah datang pada bulan Mei. Kondisi ini membuat banyak petani tidak siap dan terlambat untuk memanfaatkan kelembabannya.
Situasi yang sudah buruk diperparah dengan makin maraknya penambangan pasir dan kerikil. ”Saat bumi digali dan pasir dihilangkan, tanah akan sulit menahan air saat hujan. Yang terjadi adalah erosi,” kata Ouedraogo.
Anomali cuaca tidak hanya dirasakan para petani, tetapi juga nelayan. Hal itu dirasakan oleh Ahmed Amir Samir (35), nelayan di Kota Mombasa, Kenya. ”Tidak jarang, ketika gelombang besar, kami pergi ke laut, mempertaruhkan nyawa, hanya dengan menggunakan kano kayu buatan lokal,” katanya.
Perubahan cuaca akibat efek perubahan iklim membuat laut memanas dengan cepat, permukaan air laut naik dan ancaman badai lebih kuat. Ekosistem di bawah laut juga terancam akibat perubahan iklim. Komunitas nelayan, yang bergantung pada sumber daya laut sebagai tulang punggung penghidupan mereka juga terdampak.
Baca juga: AS Kembali Bergabung dalam Kampanye Perubahan Iklim
Hasil penelitian sejumlah ahli di dalam Rencana Aksi Perubahan Iklim Nasional 2018-2022 Kenya menemukan bahwa populasi ikan telah berpindah dari pantai ke laut yang lebih dalam saat suhu laut naik. Perahu nelayan yang terbuat dari kayu mungkin tidak akan cukup kuat untuk menahan gempuran ombak yang semakin ganas di laut lepas.
Beruntung bagi Samir, yang merupakan anggota Unit Manajemen Pantai Kota Tua, bantuan kapal baru bertenanga mesin dari pemerintah membantu mereka untuk menjelajah lebih jauh, hingga 80 kilometer dari tepi pantai. Meski sejatinya, menurut pakar ekosistem laut UNEP Gabriel Grimditch, dampak perubahan iklim akibat pemanasan global terhadap ekosistem laut, lebih besar.
”Saat kita kehilangan karang, hal ini berdampak pada ekosistem terumbu karang dan berlanjut pada hilangnya keanekaragaman hayati dan ekosistem laut bagi masyarakat pesisir. Ujungnya, berakibat pada berkurangnya ketahanan pangan,” kata Grimditch.
Penyumbang gas rumah kaca
Soal pangan tidak melulu bercerita tentang bagaimana dampak perubahan iklim terhadap ketersediaan pangan semata. Berdasarkan penelitian terbaru Pusat Penelitian Bersama Komisi Eropa menemukan bahwa sepertiga dari keseluruhan emisi gas rumah kaca yang dilakukan oleh manusia terkait dengan proses berantai penyediaan makanan, yang dimulai di ladang atau lahan pertanian hingga berada di piring, saat siap disantap dan bahkan hingga berakhir di tempat pembuangan sampah, usai disantap 7,7 miliar warga bumi.
Dalam laporan hasil penelitian, yang diterbitkan dalam jurnal Nature Senin (15/3), para peneliti mencari tahu basis data global yang baru untuk memberikan perkiraan emisi gas rumah kaca sistem pangan dunia, dari tahun 1990 hingga 2015. Selama periode itu, laporan penelitian menemukan ada pemisahan antara pertumbuhan populasi dan emisi gas rumah kaca terkait makanan. Emisi, dinyatakan bergerak lebih lambat dari populasi.
Baca juga: Mengatasi Perubahan Iklim dari Meja Makan
Tapi, penelitian juga menemukan variasi data di banyak kawasan di dunia yang mengalami peningkatan besar dalam emisi, terdorong oleh permintaan pangan domestik dan ekspor.
Temuan para peneliti menyebutkan angka itu berkisar antara 25-42 persen lebih tinggi daripada angka panel antarpemerintah tentang perubahan iklim PBB (IPCC) yang hanya berkisar antara 21-37 persen. Perubahan itu bisa terjadi karena perluasan pemahaman tentang sistem pangan global yang memasukkan hal-hal baru seperti memasak hingga pembuangan limbah.
Secara keseluruhan, laporan tersebut menemukan bahwa emisi sistem pangan mewakili 34 persen dari total keluaran gas rumah kaca pada tahun 2015.
Sekitar separuh dari emisi ini adalah karbon dioksida, yang dihasilkan terutama karena proses pembukaan lahan. Penggundulan, penebangan hutan dan alih fungsi hutan menjadi lahan pertanian telah mengakibatkan degradasi unsur hara tanah. Selain itu, pembentukan karbon dioksida juga terjadi karena proses pengemasan hingga logistik.
Sepertiga emisi lainnya berasal dari gas metana, yang berasal dari kotoran ternak sapi, domba dan kambing serta produksi beras dan limbahnya. Sisa emisi bersumber dari dinitrogen oksida yang bersumber dari pupuk.
Enam negara penghasil pangan besar dunia pada 2015 menjadi penyumbang terbesar gas rumah kaca. China berada di puncak dengan 13,5 persen disusul Indonesia di posisi ke dua dengan 8,8 persen. Sementara Amerika Serikat, negara dengan ekonomi kuat berada di bawah Indonesia, dengan sumbangan sebesar 8,2 persen. Brasil, Uni Eropa dan India berurutan menyumbang 7,4 persen, 6,7 persen dan 6,3 persen.
Studi tentang pemanasan global yang pernah dimuat di jurnal Science bulan November lalu memperkirakan, jika kondisi ini terus dibiarkan, emisi yang berasal dari sektor pangan sendiri bisa mendorong suhu bumi naik melebihi 1,5 derajat celcius, ambang batas pemanasan untuk menghindari dampak iklim yang menghancurkan pada 2050.
Baca juga: Pelajaran dari Pandemi untuk Perubahan Iklim
Para peneliti mendesak agar ada transformasi sistem pangan, termasuk di dalamnya mulai meningkatkan efisiensi, mengurangi emisi dalam rantai pasokan untuk memungkinkan orang mengakses makanan yang lebih sehat.
Utusan Pemerintah AS untuk Perubahan Iklim, John Kerry, mengatakan, KTT Iklim PBB yang akan diselenggarakan di Glasgow, Skotlandia, harus memulai aksi nyata untuk mengatasi krisis lingkungan.
”Inilah saatnya. Glasgow adalah kesempatan terakhir dan terbaik yang kita miliki dan harapan terbaik bahwa dunia akan bersatu dan membangun di atas Paris,” kata Kerry.
Sebanyak 27 negara anggota Uni Eropa pada bulan Dsember lalu sepakat untuk mengurangi emisi gas rumah kaca mereka setidaknya hingga 55 persen pada tahun 2030, dari tingkatan pada 1990. AS diharapkan juga mengikuti jejak UE untuk mengurani emisi gas rumah kaca sebesar 50 persen selama dekade ini hingga di bawah tingkat 2005.
Tapi, tak semuanya berkomitmen. China dipertanyakan komitmennya untuk mengurangi gas rumah kaca setelah pertemuan Kongres Rakyat Nasional pekan lalu mengindikasikan yang sebaliknya. Hal yang sama juga dengan Rusia, Jepang, India, dan Brasil. Potensi peningkatan suhu bumi hingga di atas 2 derajat celsius pun terbuka lebar.
Pemanasan di atas 2 derajat celsius berpotensi menyebabkan penurunan 25 persen hasil tanaman tertentu di Burkina Faso. Bumi kian tak ramah bagi Sawadogo, Amir, dan semua makhluk yang berdiam di atasnya. (Thomson Reuters Foundation/Reuters/AFP)