Suhu permukaan rata-rata global bumi pada tahun 2020 setara dengan tahun 2016 sebagai tahun terpanas yang pernah tercatat, menurut analisis oleh NASA.
Oleh
ICHWAN SUSANTO
·5 menit baca
KOMPAS/FRANSISKUS PATI HERIN
Musim kemarau melanda Nusa Tenggara Timur menyebabkan kekeringan terjadi di sejumlah wilayah termasuk Pulau Timor. Cuaca panas, debit air menyusut, dan tanaman meranggas. Pohon merangas di Camplong, Kabupaten Kupang Sabtu (26/9/2020).
Bumi masih terus melanjutkan tren pemanasan jangka panjangnya dengan mencapai suhu rata-rata global tahun 2020 yaitu 1,02 derajat celcius lebih hangat dari rata-rata dasar 1951-1980. Sekalipun mayoritas bulan-bulan di tahun 2020 berisi karantina wilayah maupun perlambatan ekonomi akibat pandemi Covid-19, hal itu tak mampu mengerem kenaikan suhu akibat kumulatif emisi gas rumah kaca.
"Tujuh tahun terakhir telah menjadi tujuh tahun terpanas dalam catatan, melambangkan tren pemanasan yang sedang berlangsung dan dramatis," kata Direktur Institut Goddard NASA untuk Studi Luar Angkasa (GISS), Gavin Schmidt, dalam laman Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat (NASA), 14 Januari 2021.
GISS adalah laboratorium NASA yang dikelola oleh Divisi Ilmu Bumi dari Pusat Penerbangan Luar Angkasa Goddard di Greenbelt, Maryland. Laboratorium ini berafiliasi dengan Institut Bumi Universitas Columbia dan Sekolah Teknik dan Sains Terapan di New York.
"Apakah satu tahun merupakan rekor atau tidak, itu tidak terlalu penting, yang penting adalah tren jangka panjang. Dengan tren ini, dan seiring dengan meningkatnya dampak manusia terhadap iklim, kita harus berharap bahwa rekor akan terus dipecahkan," lanjutnya.
Penghentian atau pelambatan kegiatan manusia (selama pandemi Covid-19) ini juga tampaknya telah mengurangi jumlah emisi karbon dioksida (CO2) tahun lalu, tetapi konsentrasi CO2 secara keseluruhan terus meningkat.
Melacak tren suhu global memberikan indikator penting tentang dampak aktivitas manusia - khususnya emisi gas rumah kaca - terhadap Bumi, satu-satunya planet yang hingga kini diketahui bisa dihidupi manusia. Suhu rata-rata bumi telah meningkat lebih dari 1,2 derajat celcius sejak akhir abad ke-19.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Sejumlah pejalan kaki menggunakan payung saat berjalan di Jakarta Pusat, Senin (21/10/2019).
Kenaikan suhu menyebabkan fenomena seperti hilangnya massa lapisan es dan es laut, kenaikan permukaan laut, gelombang panas yang lebih lama dan lebih intens, serta pergeseran habitat tumbuhan dan hewan. Memahami tren iklim jangka panjang seperti itu sangat penting untuk keselamatan dan kualitas hidup manusia, memungkinkan manusia untuk beradaptasi dengan perubahan lingkungan dengan cara seperti menanam tanaman yang berbeda, mengelola sumber daya air kita dan mempersiapkan diri untuk kejadian cuaca ekstrem.
Analisa terpisah
Analisis terpisah dan independen oleh Administrasi Kelautan dan Atmosfer Nasional Amerika Serikat (NOAA) pun hampir serupa. Mereka menyimpulkan 2020 adalah tahun terpanas kedua setelah 2016. Ilmuwan NOAA menggunakan banyak data suhu mentah yang sama dalam analisis mereka, tetapi memiliki dasar yang berbeda. Tidak seperti NASA, NOAA juga tidak menyimpulkan suhu di daerah kutub yang kurang observasi, yang menyebabkan banyak perbedaan antara catatan NASA dan NOAA.
Seperti semua data ilmiah, temuan suhu ini memiliki sedikit ketidakpastian - dalam hal ini, terutama karena perubahan lokasi stasiun cuaca dan metode pengukuran suhu dari waktu ke waktu. Analisis suhu GISS (GISTEMP) akurat hingga 0,1 derajat Fahrenheit (-17,72 celcius) dengan tingkat kepercayaan 95 persen untuk periode terbaru.
Sementara tren pemanasan jangka panjang terus berlanjut, berbagai peristiwa dan faktor berkontribusi terhadap suhu rata-rata tahun tertentu. Dua peristiwa terpisah mengubah jumlah sinar matahari yang mencapai permukaan bumi. Kebakaran hutan di Australia selama paruh pertama tahun ini membakar 46 juta hektar lahan, melepaskan asap dan partikel lainnya setinggi 28,97 kilometer di atmosfer, menghalangi sinar matahari dan kemungkinan sedikit mendinginkan atmosfer.
AUSTRALIAN BROADCASTING CORPORATION VIA AP
Foto ini berasal dari video yang memperlihatkan banyak kangguru dan domba yang tewas akibat kebakaran hutan yang melanda Kangoroo Island, Australia Selatan, Minggu (5/1/2020). Suhu udara yang lebih rendah pada hari Minggu itu membawa harapan akan ada jeda kebakaran hutan yang telah menghancurkan tiga negara bagian Australia, menghancurkan hampir 2.000 rumah.
Sebaliknya, penghentian global terkait pandemi Covid-19 yang sedang berlangsung mengurangi polusi udara partikulat di banyak area, memungkinkan lebih banyak sinar matahari mencapai permukaan dan menghasilkan efek pemanasan yang kecil namun berpotensi signifikan. Penghentian atau pelambatan kegiatan manusia ini juga tampaknya telah mengurangi jumlah emisi karbon dioksida (CO2) tahun lalu, tetapi konsentrasi CO2 secara keseluruhan terus meningkat. Namun, pemanasan Bumi berkaitan dengan emisi kumulatif sehingga jumlah keseluruhan dari pemanasan yang dapat dihindari akan minimal.
Sumber terbesar variabilitas tahun-ke-tahun dalam suhu global biasanya berasal dari El Nino-Southern Oscillation (ENSO), siklus pertukaran panas yang terjadi secara alami antara laut dan atmosfer. Meskipun tahun telah berakhir dengan fase ENSO negatif (dingin), itu dimulai dengan fase yang sedikit positif (hangat), yang sedikit meningkatkan suhu rata-rata keseluruhan. Pengaruh pendinginan dari fase negatif diperkirakan akan memberikan pengaruh yang lebih besar pada tahun 2021 dibandingkan tahun 2020.
"Rekor tahun hangat sebelumnya, 2016, mendapat dorongan signifikan dari El Nino yang kuat. Kurangnya bantuan serupa dari El Nino tahun ini adalah bukti bahwa latar belakang iklim terus menghangat akibat gas rumah kaca," kata Schmidt.
Nilai GISS 2020 mewakili suhu permukaan rata-rata di seluruh dunia dan sepanjang tahun. Cuaca lokal berperan dalam variasi suhu regional, jadi tidak setiap kawasan di Bumi mengalami jumlah pemanasan yang sama bahkan dalam satu tahun rekor. Menurut NOAA, sebagian benua Amerika Serikat mengalami rekor suhu tinggi pada tahun 2020, sementara yang lain tidak.
Dalam jangka panjang, bagian dunia juga memanas lebih cepat dari yang lain. Tren pemanasan bumi paling menonjol di Kutub Utara, yang menurut analisis GISTEMP menunjukkan pemanasan lebih dari tiga kali lebih cepat dari bagian dunia lainnya selama 30 tahun terakhir.
Hilangnya es laut Arktika - yang luas minimum tahunannya menurun sekitar 13 persen per dekade - membuat wilayah tersebut kurang reflektif, yang berarti lebih banyak sinar matahari diserap oleh lautan dan suhu lebih tinggi lagi. Fenomena yang dikenal sebagai amplifikasi Arktika, mendorong hilangnya es laut lebih lanjut, pencairan lapisan es dan kenaikan permukaan laut, musim kebakaran Arktika yang lebih intens, dan pencairan permafrost.
Analisis NASA menggabungkan pengukuran suhu permukaan dari lebih dari 26.000 stasiun cuaca dan ribuan pengamatan suhu permukaan laut berbasis kapal dan pelampung. Pengukuran mentah ini dianalisis menggunakan algoritma yang mempertimbangkan jarak yang bervariasi dari stasiun suhu di seluruh dunia dan efek pemanasan perkotaan. Hasil dari perhitungan ini adalah perkiraan perbedaan suhu rata-rata global dari periode dasar tahun 1951 hingga 1980.