Layanan Perubahan Iklim Copernicus Uni Eropa, Badan Atmosfer dan Kelautan Nasional Amerika Serikat menyebutkan, tahun 2020 menjadi yang terpanas kedua setelah tahun 2016.
Oleh
Ahmad Arif
·5 menit baca
Pandemi Covid-19 telah melambatkan mobilitas, tetapi timbunan emisi karbon telanjur meninggi sehingga tak mampu mencegah laju pemanasan iklim global. La Nina yang lazimnya mendinginkan atmosfer dan lautan di Bumi juga tak sanggup mencegah tahun 2020 sebagai tahun terpanas dalam sejarah.
Kita telah meninggalkan tahun 2020 dengan dua bayangan suram, yaitu pandemi yang menghebat dan Bumi yang memanas. Menurut laporan Organisasi Meteorologi Dunia (WMO), 10 bulan pertama tahun 2020 (hingga akhir Oktober) sebagai yang terpanas ke-2 setelah 2016. Pemanasan ternyata berlanjut selama November 2020 saat La Nina menguat.
Laporan bulanan dari Layanan Perubahan Iklim Copernicus Uni Eropa, Badan Atmosfer dan Kelautan Nasional Amerika Serikat (NOAA), Institut Studi Luar Angkasa Goddard NASA, dan Badan Meteorologi Jepang menetapkan suhu Bumi di bulan November 2020 sebagai yang terpanas dalam catatan sejarah.
Anomali suhu panas yang paling mencolok terjadi di Alaska barat dan utara, sebagian besar di wilayah AS, Eropa utara, Asia utara, Australia, dan lainnya dengan peningkatan suhu setidaknya 3 derajat celsius dibandingkan dengan rata-rata tahunannya. Secara keseluruhan, sekitar 6,74 persen daratan dan permukaan laut dunia memiliki rekor suhu hangat November, yang merupakan persentase tertinggi keempat di November sejak pencatatan dimulai pada 1951.
Dengan tren ini, tahun 2020 menjadi salah satu tahun terpanas yang pernah tercatat dalam sejarah. Sekalipun demikian, NOAA menyebutkan, tahun 2020 menjadi yang terpanas kedua setelah tahun 2016.
Bahkan, seandainya tahun 2020 menjadi yang terpanas kedua, hal itu tetap mengkhawatirkan mengingat bahwa 2020 terjadi La Nina dan 2016 terjadi super El Nino. Seperti lazimnya, La Nina seharusnya bisa mendinginkan Bumi, sedangkan El Nino merupakan periode pemanasan Bumi.
Namun, La Nina 2020 tak lagi mampu meredam memanasnya suhu global. Tahun 2020 bakal tercatat dalam sejarah sebagai La Nina terhangat.
Anomali pemanasan selama La Nina ini kemungkinan besar akan menyebabkan kondisi yang lebih kering daripada biasanya di Afrika Timur, yang kemudian dapat memengaruhi ketahanan pangan di wilayah tersebut. Sementara itu, di sebagian besar wilayah di Australia dan Asia Tenggara, termasuk Indonesia, berdampak terhadap peningkatan curah hujan dan bertambahnya jumlah badai tropis.
Secara jangka panjang, laporan WMO pada 2 Desember 2020 menyebutkan, suhu global rata-rata pada tahun 2020 mencapai 1,2 derajat celsius di atas tingkat pra-industri (1850-1900). Dengan laju pemanasan ini, penambahan suhu 1,5 derajat celsius bisa terjadi pada tahun 2024.
Padahal, penambahan suhu 1,5 derajat celsius merupakan ambang batas yang berusaha tidak dicapai dunia karena konsekuensinya yang sangat besar bagi kehidupan. Kesepakatan Perjanjian Paris 2015 tentang perubahan iklim, yang didukung oleh hampir setiap negara di dunia, menyerukan untuk menjaga suhu global hingga maksimal 1,5 derajat celsius di atas tingkat era pra-industri.
Pemanasan atmosfer ini juga terserap di lautan, yang pada tahun 2019 tercatat sebagai yang tertinggi dalam catatan sejak 1960. Fenomena ini diperkirakan terus berlanjut sepanjang 2020, dan ada sinyal yang jelas untuk penyerapan panas yang lebih cepat ke laut dalam beberapa dekade terakhir.
Pemanasan pada atmosfer, daratan, dan lautan ini telah menjadi pemicu menguatnya intensitas dan frekuensi bencana hidrometeorologi. Maka, seperti terjadi pada tahun-tahun terakhir, kita telah melihat badai yang semakin kuat, kebakaran hutan yang lebih hebat, lebih sedikit es, dan gelombang panas yang lebih lama.
Sepanjang tahun 2020, kita juga melihat rekor jumlah badai di Atlantik, termasuk badai kategori 4 berturut-turut yang belum pernah terjadi sebelumnya di Amerika Tengah pada bulan November. Demikian halnya, badai tropis juga meningkat frekuensinya di Pasifik. Selain itu, melelehnya es di kutub juga menaikkan permukaan laut global, yang secara rata-rata sejak awal 1993 mencapai 3,3 ± 0,3 milimeter per tahun.
Akar yang Sama
Terlepas dari penguncian atau karantina akibat Covid-19, konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer sepanjang tahun 2020 memang terus meningkat, menyebabkan planet ini melakukan pemanasan lebih lanjut. Dampaknya tentu akan terakumulasi di masa-masa mendatang karena masa hidup CO2 yang lama di atmosfer.
Laporan United in Science yang diluncurkan pada September 2020 menyebutkan, konsentrasi CO2 di atmosfer terus meningkat ke rekor baru. Stasiun iklim di jaringan WMO Global Atmosphere Watch (GAW) melaporkan, konsentrasi CO2 di atas 410 bagian per juta (ppm) selama paruh pertama tahun 2020 dengan stasiun Mauna Loa (Hawaii) dan Cape Grim (Tasmania) masing-masing pada 414,38 ppm dan 410,04 ppm pada Juli 2020, naik dari 411,74 ppm dan 407,83 ppm pada Juli 2019.
Dengan tren ini, total emisi karbon dioksida diperkirakan turun 4-7 persen di akhir 2020. Ini masih setara dengan tingkat pada tahun 2006. Jadi, berkurangnya mobilitas global selama pandemi tak cukup memadai jika dibandingkan dengan pertumbuhan tajam emisi karbon selama 15 tahun terakhir akibat pemakaian sumber energi fosil yang terus berlanjut.
Tak terelakkan lagi, tahun-tahun ke depan akan menjadi lebih panas meskipun manusia, melalui pilihan yang dibuat oleh pemerintah, perusahaan, dan individu, akan sangat menentukan seberapa panas. Untuk mencegah terlampauinya ambang batas itu, dunia membutuhkan tindakan radikal. Negara-negara harus menurunkan produksi bahan bakar fosil sebesar 6 persen per tahun antara tahun 2020 dan 2030.
Pandemi ini seharusnya menyadarkan pengambil kebijakan untuk lebih ramah lingkungan, termasuk untuk menekan laju penambahan emisi global. Penelitian Harvard Chan ”C-CHANGE” menunjukkan, motivasi memerangi perubahan iklim seharusnya sama dengan upaya mencegah beban besar pada kesehatan kita akibat obesitas, penyakit jantung, dan kanker. Ini adalah soal kesadaran terhadap mitigasi dan masa depan kehidupan umat manusia di Bumi.
Langkah untuk mengurangi bencana perubahan iklim juga saling terkait upaya mencegah pandemi berikutnya.
Kita perlu berbuat lebih banyak untuk berbicara tentang ”beban bencana” yang dapat dikurangi risikonya dan hal-hal yang dapat dilakukan sekarang untuk mencegahnya. Langkah untuk mengurangi bencana perubahan iklim juga saling terkait dengan upaya mencegah pandemi berikutnya.
Misalnya, dengan mencegah deforestasi dan perambahan hutan, yang menjadi penyebab perubahan iklim, kita juga dapat membantu membendung hilangnya keanekaragaman hayati. Ini juga bisa memperlambat migrasi hewan yang dapat meningkatkan risiko penyebaran penyakit menular seperti wabah Covid-19 yang dipicu migrasi virus kelelawar ke manusia akibat perambahan dan penangkapan satwa liar.
Tahun 2020 telah memberi pelajaran sangat berharga setidaknya dalam dua hal. Pertama, pentingnya menjaga keseimbangan ekologi dan keragaman hayati. Kedua, alam yang diusik oleh ulah manusia bisa memukul balik dengan sangat keras dan mematikan.
Kini, apakah pelajaran itu mampu membuat perubahan di tahun-tahun mendatang, semuanya bergantung pada keputusan ekonomi politik yang kita buat, baik dalam skala negara maupun individu. Seperti upaya melawan Covid-19, upaya melawan perubahan iklim adalah pertaruhan hidup dan mati.