Belum Ada Perbaikan dalam Perlindungan Pembela HAM Lingkungan
Upaya penegakan dan perlindungan HAM, khususnya bagi pembela HAM lingkungan, dinilai belum optimal. Pembela HAM masih menghadapi sejumlah ancaman, baik di lapangan maupun media digital.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Upaya menegakkan dan melindungi para pembela hak asasi manusia di bidang lingkungan dinilai belum menunjukkan kemajuan signifikan. Mereka masih menghadapi sejumlah ancaman, baik kekerasan fisik, kriminalisasi, maupun ancaman di platform digital.
Laporan oleh Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) pada periode Januari-April 2021 mencatat 10 peristiwa pelanggaran HAM terhadap pembela HAM lingkungan. Pelanggaran paling banyak berupa penangkapan (5 peristiwa), disusul serangan fisik (3), penahanan (3), peradilan yang tidak adil (3), pemerkaraan hukum (2), perusakan (1), dan perampasan tanah (1).
”Tidak ada perbaikan situasi yang substansial di periode ini. Jumlahnya (pelanggaran terhadap pembela HAM lingkungan) pada periode ini masih sama dengan caturwulan sebelumnya di 2020, yakni 10 kasus. Modus operandi masih relatif sama, begitu pula faktor yang memengaruhi munculnya kasus,” ucap peneliti Elsam, Villarian Burhan, Selasa (31/8/2021).
Artinya, negara tidak belajar atau mengevaluasi entah kebijakan, perlindungan, dan aspek tata kelola yang berkaitan dengan kerja-kerja pembela HAM di sektor lingkungan.
Adapun pelanggar HAM ialah aktor non-negara dan negara. Aktor negara yang tercatat banyak melanggar HAM di periode Januari-April 2021 adalah polisi, kemudian jaksa dan hakim. Sementara aktor non-negara terbanyak yaitu perusahaan.
Laporan Elsam menunjukkan identitas korban individu terbanyak di periode ini ialah masyarakat adat (22), kemudian aktivis (12), petani (2), dan lainnya (34). Adapun identitas korban kelompok, yaitu masyarakat adat (1) dan kelompok warga (1).
Pelanggaran HAM terhadap pembela HAM lingkungan paling banyak berkaitan dengan sektor agraria, diikuti sektor lingkungan dan infrastruktur. Kasus pelanggaran HAM menyebar ke sejumlah wilayah, yakni Sumatera Utara, Bangka Belitung, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Utara.
Menurut Villarian, pelanggaran HAM terhadap pembela HAM lingkungan umumnya berhubungan dengan proyek strategis nasional dan perampasan lahan. Adapun separuh kasus yang terjadi di periode ini berkaitan dengan klaim kepemilikan lahan dan perampasan lahan.
Ia mengatakan, kasus-kasus yang tercatat merupakan kisah lama yang terulang lagi. Ini indikasi bahwa upaya penegakan dan perlindungan HAM belum menunjukkan kemajuan berarti.
”Artinya, negara tidak belajar atau mengevaluasi entah kebijakan, perlindungan, dan aspek tata kelola yang berkaitan dengan kerja-kerja pembela HAM di sektor lingkungan,” ucapnya.
Adapun Elsam mencatat ada 30 peristiwa pelanggaran HAM pada 2019. Jumlah itu meningkat menjadi 60 peristiwa dengan 65 tindakan pada 2020. Jumlah korban pun turut meningkat. Pada 2019 Elsam mencatat ada 128 korban, kemudian naik menjadi 178 orang pada 2020.
Ancaman lain
Komisioner Komnas HAM, Hairansyah, mengatakan, pembela HAM lingkungan juga menghadapi ancaman di platform digital. Mereka rentan dikriminalisasi karena mengemukakan pendapat di media sosial. Beberapa kasus yang pernah terjadi, seperti peretasan situs berita daring, doxing, hingga pembatalan diskusi daring dengan intimidasi dan ancaman.
Data Komnas HAM terkait pembela HAM pada periode 2012-2015 ada 12 kasus pelanggaran, sedangkan 2016-2017 sebanyak 18 kasus. Komnas HAM juga mencatat 2.841 pengaduan pada 2020. Kendati tidak spesifik berkaitan dengan pembela HAM, Hairansyah menyebut bahwa sebagian besar kasus berpotensi berupa serangan ke para pembela HAM.
”Problem penegakan dan perlindungan HAM di Indonesia masih kompleks dan jauh panggang dari api. Ini bukan hanya masalah buat pembela HAM, tapi juga masyarakat. Ini masalah serius dalam konteks bernegara di mana kewajiban konstitusional tidak dijalankan negara,” katanya.
Di sisi lain, perlindungan pembela HAM lingkungan dapat menggunakan aturan anti-Strategic Lawsuit Against Public Participation (SLAPP). Pasal 66 UU No 32/2019 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menyebut bahwa individu atau kelompok masyarakat tidak dapat dituntut secara pidana atau digugat secara perdata.
Peneliti Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Marsya Handayani, mengatakan, mekanisme anti-SLAPP di Pasal 66 UU No 32/2019 belum beroperasi optimal karena ada celah hukum. Menurut dia, perlindungan anti-SLAPP bisa dilakukan dengan memutus perkara sedini mungkin dan menyiapkan rehabilitasi buat korban. Ini dapat dilakukan polisi saat penyelidikan hingga jaksa untuk menghentikan tuntutan.
”Ini agar masyarakat tidak kapok atau takut berpartisipasi (memperjuangkan HAM),” kata Marsya.