Mengapa Super Konglomerat Dunia Ramai-ramai Jual Saham
Memegang uang tunai dalam jangka yang lebih lama justru berpotensi kehilangan kesempatan jika saham-saham naik.
Sebagian orang dengan kekayaan sedikitnya Rp 100 triliun terus melepaskan saham. Mereka memilih menimbun uang. Mereka merasa tidak aman menjaga aset di pasar saham. Hanya para konglomerat Asia lebih berani mengambil risiko dalam berinvestasi.
Sepanjang Februari 2024, Jeff Bezos mendapatkan 8,5 miliar dollar AS dari penjualan sebagian sahamnya di Amazon. Padahal, saham Amazon naik 76 persen sepanjang 2023. Ia bukan satu-satunya orang superkaya yang melepas saham dan memilih menumpuk uang tunai.
Baca juga: Pengadilan Batalkan Bonus Rp 873 Triliun untuk Elon Musk
Pada pertengahan 2023, marak berita tentang warga superkaya dunia yang mengurangi kepemilikan atas saham-saham perusahaan publik. Alasannya adalah demi keamanan nilai kekayaan di tengah kenaikan suku bunga dan ketidakpastian ekonomi. Isu serupa masih berlangsung sampai sekarang.
Para investor kaya ini berpindah dari asas pertumbuhan aset ke arah kestabilan nilai kekayaan agar aset terlindungi.
Pengurangan porsi saham oleh warga superkaya dunia, khususnya di AS dan Eropa, terungkap dari berbagai survei. Situs media CNBC, 7 Juni 2023, lewat CNBC Millionaire Survey menemukan sebanyak 34 persen dari keluarga kaya dengan total kekayaan bersih 1 juta dollar AS atau lebih menyimpan 24 persen kekayaannya dalam bentuk kas. Porsi kas ini naik dari 14 persen pada 2022.
Porsi kas yang dimaksudkan adalah nilai kas dibandingkan dengan total aset yang masuk kategori investasi. Sebab, ada juga kekayaan yang tidak masuk kategori investasi. Kategori kas itu di antaranya termasuk simpanan di bank, sertifikat deposito, dan produk-produk di pasar uang (money market).
Di antara kelompok yang memilih kas tersebut, sebanyak 28 persen membeli produk investasi dengan pendapatan tetap (fixed income) kategori kas. Pilihan ini didasarkan pada perkiraan bahwa suku bunga masih akan bertahan tinggi.
Baca juga: Seusai Perkenalan Sora, Valuasi OpenAI Meroket Tiga Kali Lipat
Hal serupa juga ditemukan perusahaan konsultan Capgemini Research Institute for Financial Services lewat survei terhadap investor para miliuner. Sebanyak 34 persen dari total dana investasi kaum kaya ini berada dalam bentuk kas, lebih tinggi dari temuan CNBC Millionaire Survey.
”Para investor kaya ini berpindah dari asas pertumbuhan aset ke arah kestabilan nilai kekayaan agar aset terlindungi,” kata Elias Ghanem, Kepala Global Capgemini. ”Sekarang, lebih baik cari aman ketimbang menyesal.”
Para investor kaya tidak pada posisi pesimistis. Hanya saja, secara umum mereka lebih melihat perekonomian melemah pada 2023. Karena itu, mereka beralih ke kas.
Berlanjut pada 2024
Hingga 2024 para warga kaya tetap terlihat menjual saham. Seperti diberitakan situs Axios, 25 Februari 2024, CEO JP Morgan Jamie Dimon dan pendiri Meta Mark Zuckerberg juga telah menjual sebagian saham mereka. Mereka mendiversifikasi portofolio investasi. Hal serupa dilakukan keluarga kaya AS lainnya, seperti pemilik Walmart.
Baca juga: Pajaki Konglomerat untuk Atasi Perubahan Iklim
Alasan penjualan itu memiliki keunikan masing-masing. Akan tetapi, secara umum masih sama, yakni inflasi. Walau di AS menurun, inflasi akan relatif bertahan tinggi. Akibatnya, suku bunga inti di AS juga akan bertahan tinggi.
Sebagian investor kaya ini mengatakan suku bunga tinggi akan bertahan setidaknya hingga 5 tahun mendatang. Pandangan para investor kaya yang berusia lebih muda agak berbeda. Kelompok muda ini meyakini inflasi akan turun lebih cepat.
Jika Anda mengira Bank Sentral AS selesai dengan urusan inflasi dan suku bunga tinggi segera menurun, saatnya investor akan mengerahkan kas untuk investasi.
Investor biasa juga lebih mengarah pada pilihan untuk memegang kas. Survei pada 2023 oleh Allianz Life menemukan, investor biasa akan menarik sebagian kepemilikan saham. Sementara 62 persen responden mengatakan akan memilih kas.
Baca juga: Ketika Orang Terkaya di India Mantu
James Daniel, ahli perencanaan keuangan dari The Advisory Firm, mengatakan, hal itu didorong naiknya suku bunga dan menyimpan uang di bank tetap menguntungkan. Sebaliknya, David Maurice, pakar perencanaan keuangan dari Worthwhile Wealth, menyatakan, memegang uang tunai dalam jangka yang lebih lama justru berpotensi kehilangan kesempatan jika saham-saham naik.
Alan Johnson, Presiden Johnson Associates, seperti dikutip Fortune, 24 Februari, mengatakan, kecenderungan memegang kas diduga tidak lepas dari faktor politik. Menunggu kepastian setelah pemilu presiden AS 2024 adalah hal baik bagi keluarga kaya untuk jeda sejenak.
Unsur geopolitik
Johnson juga mengatakan, dengan kondisi politik di AS dan setiap hal yang kini sedang berimplikasi geopolitik, investasi lintas geografi tidak bagus dalam satu atau dua tahun dari sekarang. Unsur geopolitik ini lebih pada relasi tegang AS-China.
Baca juga: Diplomasi ”Dan Dan, Tan Tan” di Pertemuan Xi-Biden
Pernyataan Johnson punya dasar kuat. Media AS dan para pakarnya, misalnya, gemar menyudutkan potensi keuntungan dari investasi di China. Sharmin Mossavar-Rahmani, Kepala Global Investasi Goldman Sachs, seperti dikutip The South China Morning Post, 5 Maret 2024, memberi peringatan tentang investasi di China.
Kepada Bloomberg News ia mengatakan agar warga kaya tidak membeli saham-saham China. Alasannya, China sedang mengalami pertumbuhan rendah, kekacauan dalam kebijakan ekonomi, serta data-data ekonomi yang tidak bisa dipercaya.
Baca juga: China Pasang Target Pertumbuhan Ekonomi 5 Persen untuk 2024
Bank Pembangunan Asia (ADB), Bank Dunia, hingga Dana Moneter Internasional masih tetap menyimpulkan perekonomian China memiliki potensi pertumbuhan beberapa tahun ke depan. Akan tetapi, unsur geopolitik membuat sejumlah pihak di Barat tetap mencoba memojokkan perekonomian China.
Business Insider, 14 November 2023, memberitakan bahwa Warren Buffett dari Berkshire Hathaway telah menjual 60 persen saham di BYD, perusahaan China yang terkenal dengan produk mobil Listrik. Alasan penjualan tidak disebutkan.
Akan tetapi, persaingan geopolitik AS-China diduga menjadi latar belakangnya. Penjualan dilakukan setelah 14 tahun dan perusahaan Buffett meraih untung besar.
Prospek Asia
Lepas dari itu, kekecualian terjadi dalam pola investasi warga kaya Asia. Seperti diberitakan CNBC, 17 Desember 2023, survei global oleh Citi Private Bank menunjukkan keluarga kaya Asia lebih berani memasuki investasi lebih berisiko. ”Keluarga Asia mengalokasikan dana investasi ke sektor yang lebih berisiko,” kata Hannes Hofmann dari Citi Private Bank.
Baca juga: China Bangun Kepercayaan di Tengah Perlambatan Ekonomi
Sebesar 44 persen aset keluarga kaya Asia berada dalam bentuk saham privat dan publik, lebih tinggi dari porsi kas dan investasi berpendapatan tetap yang sebesar 30-33 persen. Eksposur investasi keluarga kaya Asia ini sangat beda dengan keluarga kaya AS, Eropa, dan Amerika Latin.
Kami menerima perintah untuk menarik investasi menjadi bentuk kas.
Beberapa alasan di balik keluarga Asia yang lebih memilih risiko adalah suku bunga relatif rendah dan pemulihan ekonomi di Asia. RBC Wealth Management, afiliasi dari Royal Bank of Canada (lembaga keuangan multinasional asal Kanada), dalam laporan 2024 menuliskan, ekonomi Asia kini memiliki potensi tumbuh lebih tinggi dari kawasan mana pun di dunia. Asia juga memiliki warga kaya dengan jumlah yang terus bertumbuh.
Potensi keuntungan besar dan jumlah kekayaan yang terus meningkat membuat Asia akan mengalahkan AS dalam berbagai indikator ekonomi tentang kemakmuran di masa depan. Pertumbuhan tinggi menjadi ajang untuk terus meningkatkan nilai kekayaan warga Asia.
Dalam berita ekonomi internasional, nuansa kelesuan hanya menjadi warna perekomian Eropa dan AS. Belahan dunia lainnya, seperti China, Asia, dan Amerika Latin, memiliki warna yang berbeda dan sarat prospek pertumbuhan.
Tidak signifikan
Meski demikian, secara umum warga kaya global memang sedang beralih ke kas. Kini, ada total 6 triliun dollar AS dana investasi yang berada dalam bentuk kas, menurut Investment Company Institute (Reuters, 15 Desember 2023).
Baca juga: Pengembangan AI Kobarkan Sentimen Positif Perusahaan Telekomukasi
Hal ini lebih banyak terjadi di AS, sebagai negara yang paling tinggi dalam pangsa kapitalisasi pasar di bursa, julukan bagi perputaran uang di bursa saham. Sebaliknya, kapitalisasi pasar di seluruh bursa global tampak menurun. Aksi memilih kas di AS turut menurunkan nilai kapitalisasi pasar di bursa saham.
Penyimpanan dalam bentuk kas ini tetap memiliki bunga minimal 4,5 persen per tahun. ”Kami menerima perintah untuk menarik investasi menjadi bentuk kas,” kata Charles Lemonides, manajer portfolio dari perusahaan hedge fund ValueWorks LLC.
Ia juga menyebutkan, hal itu tidak lepas dari suku bunga tinggi di AS yang membuat tindakan menyimpan uang di bank sangat masuk akal. ”Jika Anda mengira Bank Sentral AS selesai dengan urusan inflasi dan suku bunga tinggi segera menurun, saatnya investor akan mengerahkan kas untuk investasi,” kata Flavio Carpenzano, Direktur Fixed-income Investment Capital Group.
Sejarah menunjukkan porsi dana investasi berbentuk kas memang relatif tinggi di tengah suku bunga tinggi, kata Peter Crane, Presiden Crane Data, perusahaan pelacak dana-dana di pasar uang. Akan tetapi, meski porsi kas mencapai rekor akhir-akhir ini, porsinya tetap lebih rendah dari porsi dana untuk investasi pada saham-saham.
Baca juga: Investasi Waran Terstruktur Terus Bertumbuh
Total kas relatif sekitar 15 persen dari kapitalisasi pasar (total perputaran uang di bursa saham). Porsi tersebut masih sesuai dengan kecenderungan dalam jangka panjang. Porsi kas sekarang ini berada jauh di bawah 64 persen saat krisis ekonomi global terjadi pada 2019. Dengan demikian, penumpukan kas ini bukan sesuatu yang mengkhawatirkan sejauh ini. (REUTERS/AP/AFP)