Membendung Militer China, Langkah yang Mustahil (Bagian 1)
Banyak hal tidak jelas dari upaya pembendungan AS dan sekutunya pada China. Jika salah cara, langkah itu jadi bumerang.
Membendung China. Ya, upaya ini terus diusung Amerika Serikat dan sekutunya. Akan tetapi, upaya membendung China tidak memiliki cara dan sasaran yang jelas. Apa yang harus dibendung dan bagaimana membendung sehingga China tidak menguat?
Hal itu tidak terjawab. Akan tetapi, meski banyak hal yang tidak jelas, dasar alamiah untuk membendung China tetap kuat.
Pembendungan didasarkan pada unsur persaingan yang secara alamiah muncul di antara kekuatan-kekuatan geopolitik besar dunia. ”Di balik persaingan ini ada unsur hukum rimba geopolitik yang sudah berusia sekitar 2.000 tahun. Setiap kali sebuah negara berpotensi menggantikan kekuatan lama dan nomor satu dunia, dalam hal ini China, maka kekuatan lama, dalam hal ini AS, akan menekan pesaing potensialnya,” kata Kishore Mahbubani, pakar relasi internasional dari Singapura dan penulis sejumlah buku, antara lain The Asian 21st Century.
Kekuatan lama secara naluriah tidak menginginkan kehadiran pesaing baru. Demikian Mahbubani dalam wawancara dengan media China, Global Times, 22 Juli 2023.
Pertanyaan selanjutnya, apa yang harus dilakukan AS untuk menekan pesaing, dengan cara apa, dan sasarannya apa?
Pilihan pertama yang tampak mengkristal adalah pembendungan militer China. Maka, sejak Perang Dunia II, AS lewat Jenderal Douglas MacArthur menginginkan penguasaan atas Taiwan, yang ia sebut sebagai armada tak tertenggelamkan.
Baca juga: Taiwan, Kapal Induk yang Tak Tertenggelamkan (Bagian 1)
MacArthur meramalkan kala itu bahwa China kelak akan menjadi ancaman bagi posisi AS. Taiwan tidak pernah dikuasai, dan Presiden Harry Truman ”memecat” MacArthur. Akan tetapi, hakikatnya sama, Taiwan konstan menjadi jalan bagi AS untuk membendung China.
Pemikiran Laksamana Liu
Akan tetapi, secara historis tidak ada kekuatan nomor satu dunia yang bertahan abadi. Jika AS memiliki jenderal visioner, China juga demikian. Diwakili Laksamana Liu Huaqing, dijuluki arsitek kekuatan Angkatan Laut China sekarang, pernah dipikirkan agar kekuatan militer China mampu menjangkau beberapa samudra. Hal itu disadari Laksamana Liu ketika ia belajar di Uni Soviet pada dekade 1950-an.
Pada era Deng Xiaoping, Laksamana Liu menemukan pijakan. Ia semakin kuat menyerukan agar China menjadi kekuatan blue water navy. ”Tanpa kapal induk, aku akan mati dengan kelopak mata terbuka; Angkatan Laut China perlu membangun kapal induk,” kata Jenderal Liu pada tahun 1987.
Liu menggunakan pepatah yang mengacu pada kematian dengan keinginan yang tidak terpenuhi, sebagaimana dikutip harian The New York Times, 16 Januari 2011. Liu wafat pada usia 94 tahun pada 2011. Sosoknya dikenang Presiden Xi Jinping.
Invasi AS ke Irak pada 1991 dan 2003 turut mendorong China untuk menghindari nasib seperti Irak. Hanya kekuatan laut sebagai salah satu pencegah kasus Irak terjadi pada China. Namun, jauh sebelum invasi Irak, para teknokrat China pada 1988 juga sudah mulai memperkenalkan konsep pertahanan berbasis superioritas udara.
China menyadari pentingnya teknologi siluman (stealth technology). Perang Teluk, yang mana AS menyerang Irak, semakin mendorong periset China mewujudkan kekuatan udara. Perhatian mereka segera terarah pada pendalaman sistem persenjataan koalisi AS saat menginvasi Irak dan cara kerjanya dari udara.
Invasi AS ke Irak pada 1991 dan 2003 turut mendorong China untuk menghindari nasib seperti Irak. Hanya kekuatan laut sebagai salah satu pencegah kasus Irak terjadi pada China.
China lalu beranjak pada pendalaman sistem komando dan dukungan logistik. Hal ini dituliskan Sherman Xiaogiang Lai dalam artikelnya pada Journal of Military and Strategic Studies edisi 4, 2016, berjudul ”Tantangan China Pasca-Perang Dingin dan Kelahiran Strategi Militernya Saat Ini”. Sherman adalah pensiunan tentara China yang bermigrasi ke Kanada dan menjadi pakar militer.
Alasan lain, China perlu memiliki kemampuan perang di laut biru, di mana wilayah musuh menjadi lokasi pertempuran. Hasilnya, kini China memiliki kekuatan laut yang amat disegani.
Tidak bisa disimpulkan apakah China atau AS yang menang jika perang fisik terjadi. Akan tetapi, seperti kata Henry Kissinger, persaingan dua kekuatan ini sangat riskan jika tidak ditangani dengan saksama.
Berbagai peringatan muncul
Oleh karena itu, jika membendung China secara militer adalah misi AS, langkah ini harus dijalankan dengan sangat hati-hati. Jenderal AS David Petraeus, yang terlibat dalam invasi Irak pada 2003, kepada harian Nikkei, 23 Maret 2023, menyatakan agar cara invasi ke Irak jangan diulangi terhadap China. Kalkulasi militer yang salah bisa mengacaukan situasi dan ini amat riskan.
Kepada media yang sama, mantan Wakil Penasihat Keamanan Nasional AS Meghan O’Sullivan menyatakan, aksi militer AS ke China malah bisa mengacaukan koalisi AS dengan Asia, termasuk Korea Selatan dan Jepang. O’Sullivan juga berkisah, invasi AS malah berefek pada kekacauan fabrikasi sosial di Irak.
Baca juga: Colin Powell, Memori Kelam Perang Irak, dan Peninggalan Doktrin Militernya
Peringatan juga muncul dari Patrick Mendis dan Antonina Luszczykiewicz. Keduanya mengingatkan, strategi blue dragon yang dimiliki China tidak saja membuat keder sekutu AS di Asia Pasifik, tetapi juga India. Alasannya, jangkauan militer China tidak lagi sebatas wilayah Taiwan dan Laut China Selatan, tetapi sudah melampaui jauh dari teritori China.
China tidak saja menguasai Taiwan, tetapi juga menguasai Pelabuhan Hambantota di Sri Lanka, yang juga disebut armada tak tertenggelamkan. Inilah yang disebut dua pakar itu sebagai strategi blue dragon dari China, merujuk pada teori island chain yang membuat negara mana pun berpikir dua kali karena China bisa mewujudkan anti-access area denial (A2AD).
Mendis dan Luszczykiewicz menyebutkan, strategi AUKUS (pakta pertahanan Australia, Inggris, dan AS) dan Quad juga bukan panasea untuk membendung China. Quad merujuk pada wadah diskusi pertahanan militer beranggotakan Australia, India, Jepang, dan AS.
Baca juga: AS Terus Perluas Aliansi Anti-China
John Mueller, profesor emeritus ilmu politik Ohio State University dan peneliti senior di Cato Institute, memberi peringatan serupa lewat tulisannya berjudul ”The Case against Containment: The Strategy Didn’t Win the Cold War—and It Won’t Defeat China” dalam jurnal Foreign Affairs, 21 September 2023. Sejarah memperlihatkan bahwa kejatuhan Uni Soviet, yang dicoba dibendung AS, bukan karena efek bendungan AS. Kejatuhan Uni Soviet adalah efek buruk dari sistemnya sendiri.
Mueller mengutip sejarawan Odd Arne Westad yang sepakat bahwa kejatuhan Uni Soviet terutama karena kelemahan dan hal-hal kontradiktif yang terkandung dalam sistem Soviet. Oleh karena itu, menurut dia, saran untuk membendung China, seperti AS dulu membendung Uni Soviet, tak berguna dan tak akan sukses.
Menggonggongi
Tambahan lagi, dengan diplomasi ala wolf warrior, China spontan menggonggongi setiap gelagat negara mana pun yang berniat bersekutu dengan AS untuk membendung China. Jepang termasuk jadi sasaran keras. Saat jumpa pers pada 7 Maret 2023 di Beijing, Menteri Luar Negeri China Qin Gang, yang kemudian menghilang tanpa kejelasan, memberi peringatan keras pada Jepang.
Qin mengingatkan, perilaku buruk Jepang masa lalu masih kuat dalam memori China. Qin menambahkan, ”Kisah pahit masa lalu itu kini sedang dicoba dipulihkan, tetapi Jepang jangan membuka luka baru di atas luka lama.”
Media-media di China meminta Jepang agar jangan mau jadi boneka AS dalam konteks persaingan AS versus China. Jika Jepang melakukannya, ini mirip dengan Jepang menembak kakinya sendiri.
Kepada Asia, China berulang kali mengatakan bahwa berelasi dengan AS adalah pilihan bebas, sepanjang Asia tidak menjadikan dirinya sebagai sarana peluncuran senjata untuk menyerang China. Strategi win-win solution adalah basis relasi yang didambakan China.
Peringatan juga disampaikan China kepada pihak Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Penjajakan basis NATO di Asia langsung mendapatkan serangan dari China.
Baca juga: Perwakilan NATO di Asia
Pandangan Macron
Terkait persaingan AS-China, sebagaimana diberitakan kantor berita AFP, Presiden Perancis Emmanuel Macron mengatakan bahwa Eropa tidak seharusnya menjadi pengikut AS atau China. Macron beralasan, berpihak pada blok AS atau blok China mengandung risiko bagi Eropa terjebak pada krisis yang bukan urusannya.
Menurut Macron, ada risiko terjebak antara ritme AS dan kemarahan China. Eropa harus memiliki strategi sendiri agar tidak tumpang tindih antara kepentingan AS atau China.
Pengalaman Australia menunjukkan konflik dengan China karena perannya membendung China atas nama AS telah menyebabkan hubungan yang terganggu sejak 2017. Ada gangguan dalam relasi dagang bilateral hingga seruan pengurangan pengiriman mahasiswa China ke Australia.
Ada saja negara seperti Australia yang berani melawan China, tetapi sebaliknya China juga terlihat tidak berhenti menekan Australia, sebuah hubungan yang kemudian dicoba untuk diperbaiki di bawah Perdana Menteri Anthony Albanese. (AFP/AP/REUTERS) -- BERSAMBUNG