Semakin tinggi pendapatan suatu negara, semakin besar nilai anggaran pertahanannya.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
DEPOK, KOMPAS — Kemampuan pertahanan suatu negara berbanding lurus dengan kesejahteraan ekonomi serta kemajuan pembangunan dan inovasi. Ini merupakan tantangan bagi negara-negara berkembang yang berambisi memperkuat pertahanan dan keamanan, tetapi belum konsisten menerapkan aspek pembangunan sumber daya manusia ataupun teknologinya.
Hal itu dikemukakan oleh Ron Matthews, Guru Besar Ekonomi Pertahanan dari Universitas Cranfield, Inggris, di Depok, Jawa Barat, pada Senin (12/2/2024). Ia memberi kuliah umum di Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) yang berjudul ”Kemajuan Teknologi Militer Sekarang: Di Mana Tempat Negara Berkembang?”
Intinya, Matthews menjelaskan bahwa negara tidak semestinya lagi harus memilih antara kemampuan militer dan kesejahteraan warganya. Pasalnya, pertahanan yang kuat harus bersifat komprehensif, mulai dari persenjataan, pangan, energi, hingga masyarakat yang mumpuni.
”Kekuatan militer sangat dipengaruhi oleh kekuatan perekonomian. Makanya, Amerika Serikat sebagai negara berpendapatan terbesar di dunia memiliki militer nomor satu, demikian pula dengan China yang menempati peringkat kedua,” katanya.
Ia menyitir sejarah Uni Soviet yang sangat fokus mengembangkan industri persenjataan demi memiliki milter yang kuat. Sayangnya, Uni Soviet tidak fokus mengembangkan perekonomian. Akibatnya, walaupun memproduksi senjata, rakyat hidup di dalam kesusahan dan menjadi persoalan keberlangsungan bangsa.
Sebaliknya, Jepang memilih menerapkan strategi pengembangan ekonomi dan militer. Pada 1976, Jepang menyatakan komitmen anggaran militer mereka hanya memakan 1 persen dari produk domestik bruto (PDB) per tahun.
Mereka bekerja keras membangun ekonomi. Dampaknya perekonomian Jepang bisa bertumbuh 10 persen per tahun. Walhasil, nilai 1 persen untuk anggaran militer itu sejatinya memiliki jumlah yang besar.
Teknonasionalisme
Di dalam peningkatan pertahanan, Matthews menerangkan mengenai pentingnya teknonasionalisme. Istilah itu mengacu kemampuan negara mengembangkan sendiri teknologi melalui penelitian dan pengembangan. Jepang, misalnya, memastikan setiap kali membeli alat utama sistem senjata (alutsista) dari negara lain selalu ada alih teknologi.
Teknologi ini tidak hanya digunakan untuk sektor militer, tetapi juga komersial. Konglomerasi Mitsubishi memiliki unit militer dan komersial yang pemakaian teknologi serta inovasinya berkesinambungan.
Hal ini karena banyak teknologi militer yang dikembangkan setelah adanya penemuan di sektor komersial. Contohnya ialah teknologi percetakan tiga dimensi, teknologi siber, dan pesawat nirawak.
”Amerika Serikat sudah memasukkannya di dalam buku putih pertahanan yang terbit pada Januari 2024 bahwa pertumbuhan perekonomian dan inovasi adalah kunci dari peningkatan pertahanan dan keamanan,” ujar Matthews.
Adapun Perancis memilih membangun gugus teknologi. Di kota Toulouse ada kantor pusat perusahaan dirgantara Airbus. Di sekeliling kota itu tumbuh berbagai usaha mikro, kecil, dan menengah serta perusahaan rintisan yang mengembangkan berbagai komponen, peranti lunak dan keras yang mendukung industri kedirgantaraan.
Di kota Marseille, ada perusahaan pembuat helikopter terbesar sedunia, Eurocopter. Adapun di Paris terdapat pusat perancangan untuk kebutuhan komersial ataupun militer terjadi beserta segala aspek terkait. Aspek ini mulai dari kebutuhan manufaktur hingga pembangunan aspek jasa yang berkesinambungan dengan kluster teknologi itu.
Pendekatan Perancis ini diikuti oleh China yang berusaha mematahkan duopoli penerbangan dari Airbus dan Boeing. Kluster-kluster ini pula yang menjadi bagian pembangunan rantai pasok untuk sektor industri komersial sekaligus militer.
”Khusus di Inggris, sudah mulai meninggalkan aspek manufaktur dan fokus kepada pengembangan digital. Perusahaan BAE Systems, misalnya, melibatkan 19 konglomerasi dan 9.000 perusahaan lebih kecil sebagai bagian dari rantai pasik mereka,” kata Matthews. BAE Systems telah memiliki 1.600 hak paten.
Ia menjelaskan, langkah itu diambil oleh Inggris karena telah memetakan kemampuan sendiri. Walhasil, Inggris memilih teknologi yang akan mereka kembangkan sendiri dan peralatan yang harus mereka impor. Pembagiannya juga seimbang sehingga pertahanan Inggris tidak tergantung pembelian dari luar negeri.
Pengamat pertahanan UIII Rifqi Muna menjelaskan, perencanaan komprehensif belum dimiliki Indonesia. Pemetaan potensi ancaman keamanan tradisional beserta pendekatan yang harus dipakai belum mumpuni.
Padahal, pengadaan alutsista harus sesuai dengan ancaman sekarang dan potensi ke depan. Pengadaan juga perlu mempertimbangkan kemampuan pengelolaan dan pengembangan serta penyingkiran setelah alutsista itu kedaluwarsa.
”Kadang-kadang, pembelian alutsista Indonesia terjadi karena penawaran dari penjual. Bukan karena kita sudah cermat menghitung bahwa memang alat itu yang paling cocok untuk situasi keamanan sekarang,” ujar Rifqi.
Oleh sebab itu, idealnya, kontrak pembelian lebih baik bersifat antarpemerintah, bukan langsung dengan industri sehingga ada perjanjian keterbukaan dan akuntabilitas mengingat uang yang digunaka untuk membeli berasal dari pajak.
Dalam jangka panjang, Indonesia harus berinvestasi kepada sumber daya manusia untuk memiliki penguasaan teknologi masa depan. Sama seperti pemaparan Matthews, pengembangan teknologi sipil dan militer berjalan berdampingan. Penyiapan sumber daya manusia ini juga harus diperhitungkan dengan matang.
”Indonesia bisa mencari celah perkembangan teknologi ataupun ilmu untuk masa depan dibandingkan dengan mencoba mengembangkan teknologi yang sudah dikuasai oleh negara lain,” ucap Rifqi.
Dari sisi pendanaan, anggaran alutsista Indonesia termasuk rendah di kawasan. Jumlahnya adalah 0,6 persen dari PDB. Pada tahun 2023, PDB Indonesia adalah Rp 20.892,4 triliun.