Pertahanan Modern Butuh Peningkatan Kapabilitas Sipil
Saat Indonesia menuju usia 100 tahun pada 2045, persenjataan sudah makin dipengaruh teknologi siber, elektronika, kimia, dan biologi. Maka, diperlukan peningkatan kapabilitas sipil, terutama dalam penguasaan teknologi.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI dan EDNA C PATTISINA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Guna menghadapi ancaman perang modern sebagai konsekuensi dari lahirnya revolusi industri 4.0, bangsa Indonesia juga membutuhkan transformasi hubungan sipil-militer. Konsep pertahanan semesta perlu diimplementasikan dalam bentuk mobilisasi kapabilitas sipil, terutama dalam penguasaan teknologi.
Implementasi dari keterlibatan sipil jangan hanya bersifat fisik, seperti latihan dasar kemiliteran. Sebab, saat Indonesia menuju usia 100 tahun pada 2045, tren persenjataan sudah akan semakin banyak menggunakan teknologi siber, elektronika, kimia, serta biologi.
Dalam diskusi terbatas ”Perubahan Geopolitik, Pertahanan, dan Ancaman Menuju Indonesia 2045” di Redaksi Kompas, Rabu (12/2/2020), peneliti Center for Strategic Risk Assesment, Kusnanto Anggoro, mengatakan, TNI sebagai komponen utama dalam sistem pertahanan nasional dapat memanfaatkan kapabilitas masyarakat sipil. Masyarakat sipil, sebagai komponen cadangan, bisa memperkuat kemampuan TNI.
Selain Kusnanto, hadir pula dalam diskusi Panglima Komando Gabungan Wilayah Pertahanan II Marsekal Madya Fadjar Prasetyo; pengajar pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Inaya Rakhmani; serta Head of Department of International Relations Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Jakarta Shafiah Muhibat, dan penasihat senior Kantor Staf Presiden Manuel Kaisiepo.
Menurut Kusnanto, peningkatan kapabilitas sipil itu dapat dilakukan dengan cara TNI melatih warga sipil sesuai dengan keahlian masing-masing. Terutama di sektor yang terkait dengan keahlian yang dibutuhkan untuk menghadapi tren ancaman pertahanan.
”Misalnya, ada industri sipil yang berbasis teknologi atau pabrik obat dengan kemampuan rekayasa bisa dimanfaatkan untuk pertahanan,” katanya.
Kusnanto menuturkan, hal itu sudah diatur Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara. Dalam UU itu disebutkan bahwa TNI merupakan komponen utama sistem pertahanan negara yang didukung oleh komponen cadangan dan komponen pendukung.
Namun, implementasi mobilisasi keterlibatan warga sipil saat ini terlihat masih menekankan peran sipil dalam fungsi kemiliteran yang bersifat fisik. Padahal, program seperti itu mungkin sudah tak lagi relevan dengan ancaman yang dihadapi Indonesia pada masa depan.
”Sarannya, Indonesia harus melakukan percepatan terkait siber, biologi, kimia, dan lain-lain. Aturan yang ada saat ini baru sebatas membahas latihan dasar kemiliteran, ini tidak cukup untuk melawan tantangan di 2045,” terang Kusnanto.
Shafiah Muhibat mengingatkan, ada beberapa kondisi global yang juga akan memengaruhi Indonesia menuju 2045, di antaranya dunia yang saling terkait satu sama lain membuat virus cepat menyebar dan mengancam kesehatan masyarakat dunia. Di sisi geopolitik, rivalitas dua kekuatan ekonomi dunia, yakni Amerika Serikat dan China, juga jadi tantangan.
Dari berbagai analisis geopolitik yang dilakukan TNI, terlihat penguasaan teknologi pada masa depan sangat penting dalam pertahanan. Di tengah tantangan yang semakin kompleks ini, TNI memiliki visi meningkatkan kapasitas minimum essential force (MEF). Saat ini, pembangunan MEF itu sudah sampai pada tahap akhir sehingga diharapkan Indonesia sudah mampu lepas landas menjadi memiliki kemampuan ideal pada 2045.
TNI juga berharap pemerintah dapat memenuhi kebutuhan anggaran. Pertahanan dan keamanan harus modern serta mampu beradaptasi dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh karena itu, idealnya anggaran untuk TNI mencapai 3-4 persen dari PDB nasional yang mencapai 1 triliun dollar AS saat ini. ”Selama ini, anggaran TNI belum ideal,” ujar Marsekal Madya Fadjar Prasetyo.
Fadjar mengatakan, bentuk ancaman ke depan tidak lagi hanya bersifat perang konvensional, tetapi juga perang yang membutuhkan kemampuan yang lintas sipil-militer, seperti untuk mengatasi ancaman siber.
Fadjar mencontohkan, dalam menghadapi masalah virus korona, memang TNI terlihat intens hadir di Natuna, tempat dilakukannya observasi WNI yang datang dari Wuhan. Akan tetapi, ada banyak keterlibatan Kementerian Kesehatan dan kementerian lain. ”Seperti disampaikan Menteri Pertahanan, pertahanan semesta itu TNI dan sipil selaras sehingga kita hadapi sama-sama, seperti soal korona saat ini,” ucapnya.
Kusnanto mengatakan, banyak negara maju yang saat ini melakukan penelitian dan pengembangan di bidang teknologi tersebut. ”Senjata melalui teknologi internet itu tidak mematikan, tidak menimbulkan konsekuensi fisik, tetapi dia bisa memfasilitasi, membuat sesuatu menjadi mungkin, hingga melipatgandakan efek yang ditimbulkan,” ujarnya.
Ia mencontohkan kejahatan siber yang terjadi pada masa kini, seperti perang siber, teroris siber, spionase siber, kejahatan kriminal siber, dan peretasan. Ancaman siber tersebut dikuasai oleh negara-negara seperti Amerika Serikat, China, Russia, Israel, Inggris, Iran, dan Korea Utara. Ancaman siber itu dikenal dengan sebutan the ladder of cyber threats.
Politik identitas dan radikalisme
Dari sisi internal, Indonesia juga menghadapi tantangan lain, yaitu politik identitas dan radikalisme. Menurut Inaya Rakhmani, ketimpangan ekonomi dan sosial memicu persoalan yang mengancam pertahanan bangsa. Identitas politik dan ekstremisme muncul sebagai dampak dari konsentrasi kekayaan pada segelintir orang dan atau elite. Rasa marah terhadap ketidakadilan itu diekspresikan dalam bentuk kerekatan sosial yang nontransaksional, seperti seagama, sedarah, sepersaudaraan, dan sebangsa.
Sentimen berbasis identitas ini juga diprediksi akan semakin muncul ke permukaan dalam iklim perekonomian neo-liberal, di mana kompetisi individu untuk memperoleh pendidikan, pekerjaan, dan layanan dasar menjadi lebih sengit. Perasaan simpati terhadap siapa yang dianggap saudara membantu individu menghadapi perekonomian yang rentan. Dampaknya, individu menjadi semakin mengekslusifkan diri secara relatif terhadap mereka yang bukan saudara.
”Politik identitas adalah gejala dari populisme sebagai respons terhadap dampak buruk globalisasi, ekonomi neo liberal, dan minimnya kehadiran pemerintah dalam memberikan layanan dasar karena telah diambil alih swasta,” kata Inaya.
Dalam kegamangan ekonomi dan sosial ini, Inaya berpendapat, pada masa mendatang Indonesia juga masih akan mengalami tantangan aliansi politik berbasis SARA, kelas ekonomi, dan generasi.