Batu Sandungan Kerja Sama Pengembangan Jet Tempur Indonesia-Korsel
Kerja sama pengembangan jet tempur antara Indonesia dan Korea Selatan diterpa masalah.
Kerja sama pengembangan pesawat jet tempur antara Indonesia dan Korea Selatan kembali diterpa kabar miring. Seorang insinyur Indonesia dalam proyek tersebut diperiksa aparat Korsel karena dituding mencuri teknologi.
Seperti dilaporkan kantor berita Yonhap, Badan Pengelola Pengadaan Pertahanan (DAPA) Korsel mengungkap dugaan pencurian itu. Pemeriksaan dilakukan bersama badan intelijen Korsel. ”Saat ini sedang diperiksa untuk menyelidiki dugaan pencurian teknologi yang dilakukan oleh warga negara Indonesia (WNI),” ujar salah satu pejabat DAPA. Kementerian Luar Negeri Indonesia tengah mencari informasi terkait hal itu (Kompas.id, 2/2/2024).
Terlepas dari probematika itu, seperti apa sebenarnya komitmen dalam kerja sama tersebut?
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Lalu Muhammad Iqbal menegaskan, proyek pengembangan jet tempur KF-21 Boramae atau Korea Fighter X (KFX) dan Indonesia Fighter X (IFX) adalah proyek strategis bagi Indonesia dan Korsel. Proyek pengembangan alutsista itu bernilai 8,8 triliun won atau sekitar Rp 100 triliun.
Adapun skema pembiayaannya, 60 persen oleh Pemerintah Korsel, 20 persen oleh Pemerintah Indonesia, dan 20 persen oleh Korea Aerospace Industries (KAI). Skema pembagian pembiayaan (cost share) itu ditargetkan berlangsung hingga tahun 2026.
Direktur Teknologi dan Pertahanan Kementerian Pertahanan Marsekal Pertama Dedy Laksmono dalam lokakarya ”Advancing Indonesia and South Korea’s Defense Industry Collaboration” yang diselenggarakan Korea Foundation dan Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) akhir Oktober 2023 menegaskan bahwa kerja sama dengan Korsel untuk pembuatan jet tempur itu adalah program prioritas nasional sehingga tidak akan diputus.
Namun, ia mengakui memang ada keterbatasan ruang fiskal untuk melunasi tunggakan pembangunan yang telah disepakati. Menurut Dedy, Kementerian Keuangan hanya menyiapkan alokasi Rp 1,5 triliun setiap tahun untuk pengembangan KF-21 sehingga anggaran dari Kemenhan tidak cukup untuk melunasi tunggakan ke Korsel itu.
”Kami masih memiliki komitmen untuk melanjutkan kerja sama ini dengan Korsel,” ujar Dedy saat dikonfirmasi, Sabtu (3/2/2024).
Baca juga: Tudingan Pencurian Teknologi Guncang Proyek Jet Tempur Indonesia-Korsel
Pada tahun 2024, menurut Dedy, Kemenhan sudah mempersiapkan Rp 1,25 triliun dari kekurangan sekitar Rp 14 triliun yang harus dibayarkan. Hal itu terkait dengan skala prioritas dan program penyesuaian kembali anggaran yang dilakukan oleh pemerintah melalui Kemenkeu.
Kami berharap nanti ke depan bisa memenuhi kewajiban-kewajiban ini, karena kami malu juga. Ibaratnya sudah sepakat, tapi dalam perjalanannya, kok, jadi tidak sepakat.
Ia menegaskan, karena sudah menjadi prioritas nasional, siapa pun pemerintahnya harus tetap melanjutkan program kerja sama itu. Namun, terkait dengan pembagian biaya yang ditagihkan, pemerintah memang belum bisa segera memenuhinya.
”Kami berharap nanti ke depan bisa memenuhi kewajiban-kewajiban ini, karena kami malu juga. Ibaratnya sudah sepakat, tapi dalam perjalanannya, kok, jadi tidak sepakat,” jelas Dedy.
Investasi industri pertahanan
Menurut Dedy, sesuai kesepakatan awal, durasi proyek itu sekitar 12 tahun untuk periode 2014-2026. Indonesia berkomitmen membayar ke Korsel sekitar Rp 2 triliun per tahun. Namun, proyek dan pembayaran tertunda karena dinamika politik di Korsel.
”Negosiasi antara Indonesia-Korsel selesai pada 2012. Kemudian, pada 2013 tertunda karena mereka ada kondisi politik. Padahal, anggaran sudah siap. Akhirnya, uang itu sebagian dikembalikan ke Kementerian Keuangan, sebagian untuk pusat desain PT Dirgantara Indonesia,” ungkap Dedy.
Akhirnya, skema pembayaran pun berubah seiring dengan pergantian pemerintahan yang kemudian berdampak pada alokasi cost share dalam APBN. Hal itu pun masih disesuaikan dengan kebijakan prioritas yang dianggap lebih penting daripada pengembangan alutsista.
”Kami sudah mengajukan porsi penambahan di APBN, tapi keputusannya ada di Kemenkeu. Karena salah satu fokus pemerintah saat ini IKN (Ibu Kota Nusantara). Pada 2024 kami disiapkan Rp 1,25 triliun,” katanya.
Selain itu, pemerintah juga sudah pernah menawarkan alternatif tukar guling proyek sebagai itikad baik membayar tunggakan itu. Opsi tukar guling itu mulai dari pengembangan kota pintar (smart city) di IKN hingga mobil Listrik. Namun, Korsel tetap meminta Pemerintah Indonesia untuk melunasi utang terlebih dahulu.
Pemerintah juga berkomitmen untuk tetap memenuhi kewajiban melunasi tunggakan utang terhadap Korsel itu. Sebab, program itu juga untuk investasi industri alutsista dalam negeri. Kerja sama dengan Korsel tidak hanya untuk pembelian pesawat jet tempur semata. Di luar itu, juga ada kerja sama produksi komponen untuk pemesanan KFX/IFX dari sejumlah negara sehingga akan ada insentif ekonomi yang didapatkan Indonesia.
Di forum yang sama, Chief Representative Officer Korea Aerospace Industries Indonesia Office Woo Bong-lee mengatakan, pihaknya dalam posisi menunggu alias wait and see. Namun, ia berharap Pemerintah Indonesia dan Korsel bisa menemukan solusi untuk menyelesaikan permasalahan itu. Apalagi, Korsel sudah berinvestasi besar untuk pengembangan KF-21, termasuk berutang pada bank.
”Kami berharap Pemerintah Korsel tidak membuat keputusan buruk soal masalah ini. Pemerintah Indonesia dan Korsel harus sama-sama berdialog untuk menegosiasikan isu ini,” katanya.
Negosiasi yang bermartabat
Terkait dengan isu dugaan pencurian teknologi oleh insinyur dari Indonesia, pengamat pertahanan Connie Rahakundini Bakrie berpandangan, hal itu mengingatkannya pada kejadian tahun 2011. Saat itu ada tiga orang yang mengambil laptop delegasi Indonesia dan diduga anggota National Intelligence Services (NIS).
Sementara terkait kasus insinyur dari Indonesia, laporan terakhir media Korsel menyebut insinyur tersebut dipergoki sedang menyalin data dari laptop dengan USB memory stick dan segera kabur dari hotel. Pemerintah Indonesia pun telah meminta Pemerintah Korsel mengklarifikasi fakta sebenarnya terkait insiden tersebut.
”Jika benar tim KFX/IFX Indonesia yang dituduh terbukti mencuri teknologi, maka kira-kira skornya menjadi 1-1,” kata Connie.
Menurut Connie, dalam dunia intelijen, saling mengintip rahasia kawan sudah menjadi hal biasa. Kemudian, yang harus ditelaah lebih dalam adalah apakah kedua negara memiliki kesamaan kepentingan nasional dan kegiatan intip-mengintip tersebut juga membahayakan keamanan nasional kedua negara.
”Jika kepentingan nasional kita sama dan tidak terlalu membahayakan kepentingan nasional, kedua negara bisa secara diplomatik akan mengeluarkan istilah ’kesalahpahaman yang tidak perlu diulangi’,” lanjut Connie.
Dengan demikian, insinyur dari Indonesia itu tidak perlu ditahan dan bisa dipulangkan ke Tanah Air. Dengan catatan, yang bersangkutan tidak boleh lagi kembali ke Korsel. Hal itu bisa dicapai tergantung dari negosiasi tim diplomat Indonesia dengan Pemerintah Korsel. Cara-cara yang paling bermartabat diperlukan untuk menyelesaikan masalah dugaan pencurian data tersebut.