Kompleksitas Ancaman yang Menguji Pertahanan Indonesia
Kompleksitas ancaman di Indonesia menuntut kesiapsiagaan kekuatan militer dan dukungan daya tangkal nirmiliter.
Potensi ancaman yang menguji pertahanan Indonesia semakin beragam. Kompleksitas ancaman itu tidak hanya menuntut kesiapsiagaan kekuatan militer, tetapi juga memerlukan daya tangkal nirmiliter yang berasal dari semua komponen bangsa.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara menyebutkan bahwa pertahanan negara adalah segala usaha untuk mempertahankan kedaulatan negara, keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan keselamatan segenap bangsa dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara.
Dalam menciptakan pertahanan negara tersebut, Indonesia mengacu pada sistem pertahanan bersifat semesta. Sistem ini melibatkan warga negara, wilayah, dan sumber daya nasional lain serta dipersiapkan secara dini oleh pemerintah dan diselenggarakan secara total, terpadu, terarah, dan berlanjut untuk menegakkan kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap bangsa dari segala ancaman. Karena itu, upaya menjaga kedaulatan dan keutuhan wilayah Indonesia itu merupakan tanggung jawab bersama warga negara Indonesia.
Pengelolaan sistem pertahanan tersebut melibatkan tiga komponen pertahanan yang terintegrasi dalam sebuah sistem strategi dan kebijakan. Ketiga komponen itu terdiri dari komponen utama, komponen cadangan, dan komponen pendukung.
Komponen utama itu adalah Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang siap digunakan untuk melaksanakan tugas-tugas pertahanan. Selanjutnya, komponen cadangan adalah sumber daya nasional yang telah disiapkan untuk dikerahkan melalui mobilisasi guna memperbesar dan memperkuat kekuatan dan kemampuan komponen utama. Di sejumlah negara, komponen cadangan ini dapat berupa kebijakan wajib militer bagi setiap warga negaranya pada rentang usia tertentu. Terakhir, komponen pendukung adalah sumber daya nasional yang dapat digunakan untuk meningkatkan kekuatan dan kemampuan komponen utama dan komponen cadangan.
Untuk menghadapi ancaman kekuatan militer bersenjata, TNI sebagai kekuatan komponen utama dengan didukung komponen cadangan dan juga komponen pendukung bertanggung jawab untuk menanggulanginya. Ancaman militer itu, antara lain, dapat berupa agresi kekuatan senjata oleh negara lain, pelanggaran batas wilayah oleh negara asing, spionase, sabotase, aksi terorisme oleh jaringan teroris internasional, pemberontakan bersenjata, dan perang saudara yang menggunakan persenjataan.
Baca juga : Citra Baik Institusi Pertahanan Perkokoh Demokrasi Indonesia
Dalam menghadapi ancaman nonmiliter, UU Pertahanan Negara menempatkan lembaga pemerintah di luar bidang pertahanan sebagai unsur utama yang disesuaikan dengan bentuk dan sifat ancaman dengan didukung oleh unsur-unsur lain dari kekuatan bangsa. Hal ini menandakan bahwa semua institusi pemerintah juga turut berperan dalam upaya mitigasi terhadap seluruh ancaman nonmiliter disesuaikan dengan bidang pekerjaan setiap institusi.
Khusus ancaman nonmiliter, saat ini kondisinya sangat masif berkembang dan membutuhkan kolaborasi lintas institusi untuk menanggulanginya. Di antaranya ialah ancaman degradasi moral bangsa akibat paparan budaya asing lewat internet, penipuan lintas negara secara daring, pencurian data penting lewat media digital, perjudian online yang dikendalikan dari luar negeri, serta penyelundupan orang dan perdagangan manusia.
Selain itu, ada pula ancaman bencana alam karena krisis iklim dan posisi ring of fire (cincin api), penyelundupan barang-barang dan narkotika, kejahatan di batas negara, kriminalitas, imigran gelap, kemiskinan, pengangguran, pencurian kekayaan alam, hingga konflik horizontal akibat perselisihan dan tensi politik. Ancaman nonmiliter ini tampaknya akan terus berkembang dengan aneka rupa bentuk pelanggaran dan kejahatan seiring dengan kian masifnya teknologi dan masih timpangnya kondisi sosial ekonomi masyarakat di Indonesia.
Melihat ragam ancaman tersebut, diperlukan peranan banyak pihak, mulai dari institusi kementerian/lembaga, dunia akademik, pihak swasta, hingga masyarakat untuk bersama-sama mengantisipasi setiap ancaman saat ini yang sangat kompleks dan tidak terbatas pada ancaman militer semata. Kemampuan mengantisipasi ancaman negara yang kian kompleks tersebut sekaligus juga menjaga tujuan kehidupan bernegara.
MEF dan pertahanan
Dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat, Republik Indonesia telah menetapkan tujuan bernegaranya. Pemerintah negara Republik Indonesia berkewajiban untuk melindungi bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Semua tujuan bernegara tersebut akan tercapai apabila kemerdekaan, keamanan, dan kedamaian tercipta di negeri ini. Oleh sebab itu, peran sektor pertahanan sangat vital untuk menjaga kondusivitas kemajuan nasional dengan mencegah hadirnya ancaman yang ditimbulkan oleh pihak asing ataupun dari dalam negeri.
Dalam konteks tersebut, memiliki kekuatan militer yang tangguh adalah harapan yang perlu diwujudkan. Dengan pertahanan militer yang kuat, kedaulatan nasional akan terjaga lebih baik. Kemampuan militer nasional memiliki daya gentar yang tinggi sehingga potensi konflik dan ancaman militer yang dipicu pihak asing akan mereda dengan sendirinya. Kepemilikan alat utama sistem persenjataan (alutsista) yang andal menjadi faktor krusial untuk meningkatkan daya gentar pertahanan militer itu.
Baca juga : Komitmen Capres Wujudkan Transparansi dalam Modernisasi Alutsista Dinanti
Hanya, alutsista yang menjaga pertahanan Indonesia saat ini belum optimal. Indikasinya terlihat dari kekuatan pokok minimum (minimum essential force/MEF) yang belum mencapai target yang direncanakan pemerintah. Kekuatan pokok minimum ini merupakan wujud dari kekuatan pertahanan negara yang ideal.
Program tersebut sudah dicanangkan sejak 2007 dan menargetkan tiga tahapan periode pencapaian MEF. Namun, dari tiga tahapan target itu, belum ada satu pun yang realisasinya mencapai 100 persen. Pada kurun 2010-2015, target MEF hanya tercapai 54,97 persen dari yang ditetapkan sebesar 57,24 persen.
Selanjutnya, pada kurun 2015-2019, target MEF kembali berada di bawah rencana yang ditetapkan, yakni 62 persen dari target 74,62 persen. Kini, untuk tahap ketiga kurun 2019-2024, ditetapkan target MEF sebesar 100 persen, tetapi capaiannya juga masih belum maksimal. Pada awal tahun ini, realisasi MEF baru 65 persen dari target.
Ada sejumlah kendala yang membuat target MEF itu belum tercapai secara optimal. Salah satunya karena keterbatasan anggaran Kementerian Pertahanan dalam pengadaan alutsista. Pada kurun 2021-2024, anggaran belanja Kemenhan secara akumulatif hanya Rp 139 triliun per tahun atau 0,75 persen dari produk domestik bruto (PDB) Indonesia. Anggaran yang kurang dari 1 persen PDB ini membuat alokasi belanja alutsista Kemenhan menjadi sangat terbatas.
Dalam satu tahun anggaran, alokasi belanja alutsista Indonesia berkisar Rp 31 triliun hingga Rp 58 triliun. Alokasi ini sudah termasuk belanja non-alutsista serta sarana dan prasarana pertahanan. Fluktuasi alokasi ini disesuaikan dengan kesanggupan pemerintah dalam menyediakan anggaran untuk membeli alutsista yang dibutuhkan institusi pertahanan.
Kompleksitas ancaman
Meskipun demikian, belum idealnya kekuatan pertahanan dalam MEF itu bukan penghalang untuk terus memperkuat unsur pertahanan lain, terutama dari segi daya dukung nirmiliter. Pasalnya, sebagian besarancaman yang mengintai kedaulatan Indonesia saat ini justru berasal dari kekuatan nonmiliter.
Dalam laporan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024, terlihat sejumlah indikator dalam menjaga keselamatan nasional. Dari 16 indikator keselamatan nasional, sebagian besar justru berkaitan dengan unsur ancaman nirmiliter. Misalnya saja terkait terorisme, keselamatan di ruang publik, konflik, pengungsian internal akibat konflik atau bencana, narkotika, kriminalitas, kejahatan siber, juga pelanggaran hukum di laut dan pelayanan pihak kepolisian.
Baca juga : Industri Pertahanan Indonesia, Sudah Mandiri atau Masih Bergantung Produk Luar Negeri?
Hal tersebut mengindikasikan bahwa untuk menciptakan keselamatan nasional yang prima, institusi pertahanan dan keamanan serta institusi lain yang serupa harus saling mendukung dan berkolaborasi. Dengan demikian, segala bentuk ancaman yang mengintai, baik itu ancaman militer maupun nonmiliter, dapat ditekan seminimal mungkin.
Pemerintah juga dapat terus meningkatkan produksi alutsista dalam negeri dengan terus mengoptimalkan kinerja BUMN sektor industri manufaktur pertahanan melalui kerja sama transfer teknologi dari asing. Misalnya saja PT Dirgantara Indonesia, PT PAL Indonesia, PT Pindad, PT LEN, dan PT Dahana.
Kemajuan teknologi kemiliteran itu tentu menjadi soft power bagi Indonesia untuk terus meningkatkan daya gentar negeri ini di kancah global. Hingga saat ini, menurut Global Firepower, dalam Military Strength Ranking 2023, Indonesia berada di urutan ke-13 dari segi kekuatan persenjataan dan personel militernya. Kekuatan ini dapat menjadi modal yang sangat baik bagi Indonesia untuk berdiplomasi dengan negara lain demi kepentingan kemajuan Indonesia dan dalam rangka turut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. (LITBANG KOMPAS)