Menyambut 2024 dengan Ketegangan Geopolitik
Pada 2024, kondisi global lebih menantang dibandingkan perkiraan. Dunia bergantung kemampuan pemimpin mencegah kiamat.
Israel, Rusia, dan Ukraina membuka 2024 dengan serangan jarak jauh. Sementara itu, warga di puluhan negara bersiap menyambut pemilu. Perang dan pemilu itu akan memengaruhi perjalanan 2024.
Kepala Analis Geoekonomi Bloomberg Jennifer Welch dan pakar politik Stanford University, Amy Zegard, terutama menyoroti ketidakpastian yang akan dihasilkan di 2024. ”Akan ada banyak ketidakpastian soal suku bunga inti, arah pasar, regulasi pemerintah, hingga aturan main. Semua itu sulit dari sudut pandang bisnis,” kata Zegart kepada Bloomberg.
Adapun Welch menyebut 2024 akan menjadi tahun politik dan geopolitik yang riuh. Pemerintah dan perusahaan terlibat dalam persaingan rantai pasok mineral penting seperti yang ada di Indonesia. ”Peluang pemilu menghasilkan pengambil kebijakan menyebabkan ada perasaan ketidakpastian di antara pelaku usaha,” ujarnya.
Baca juga: Situasi Gaza Tidak Terkendali, Anak Muda AS Berpaling dari Biden
Pendiri Elliott Investment Management Paul Singer menyebut, kondisi global lebih menantang dibandingkan yang diperkirakan para pelaku pasar. ”Dunia bergantung pada kemampuan pemimpin mencegah kiamat,” ujarnya.
Rangkaian pemilu
Sayangnya, sebagian pemimpin itu sedang mengobarkan perang. Sebagian lagi sedang sibuk mencari kursi lewat pemilu di puluhan negara sepanjang 2024. Separuh populasi dan produk domestik bruto global berada atau dihasilkan negara-negara tempat pemilu diselenggarakan.
Rangkaian pemilu dipantau karena potensi perubahan kebijakan jika ada pergantian pengambil keputusan. Dunia belum lupa perubahan kebijakan Amerika Serikat setelah Donald Trump menjadi presiden. Trump tetap menjadi salah satu kandidat terkuat di pemilu AS 2024. Dunia juga masih menerka dampak kebijakan Presiden Argentina Javier Milei.
Dalam catatan kepada investor menjelang akhir 2023, lembaga investasi Morgan Stanley menyinggung dampak pemilu dan perekonomian. Kebijakan yang tidak tepat oleh para pemimpin hasil pemilu bisa menurunkan kinerja perekonomian.
Salah satu dari puluhan pemilu 2024 akan berlangsung di Indonesia. Perhatian internasional pada pemilu Indonesia antara lain berupa artikel di Nikkei Asia 25 Desember 2023.
Dalam artikel itu, Presiden International Republican Institute (IRI) Daniel Twining menulis, ada kekhawatiran pada demokrasi Indonesia. Kemunduran terlihat pada manuver elite politik serta terpampang di pengadilan dan lembaga politik.
Baca juga: Demokrasi Terberangus di Rumah Magna Charta
Sementara itu, dalam laporan 18 Desember 2023, Thomson Reuters menyebut pemilu Indonesia akan menjadi ujian ketahanan demokrasi Asia Tenggara. Menurut Economist Intelligence Unit, demokrasi Indonesia tergolong rentan.
Peluang pemilu menghasilkan pengambil kebijakan menyebabkan ada perasaan ketidakpastian di antara pelaku usaha.
Sebab, secara prosedur, demokrasi memang berjalan di Indonesia. Akan tetapi, secara esensial dan tata kelola pemerintahan, sulit bagi EIU dan berbagai pemantau demokrasi lain menyebut demokrasi berjalan di Indonesia.
Jika demokrasi sulit berjalan di Indonesia, ada kecemasan demokrasi akan semakin sulit diterapkan di Asia Tenggara. Hal itu tidak lepas dari status Indonesia sebagai pemimpin tradisional kawasan.
Pemilu Indonesia 2024 juga diperhatikan karena alasan kekayaan sumber daya alam dan faktor geopolitik. Berdasarkan materi kampanyenya, para calon presiden Indonesia telah menunjukkan kecenderungan bagaimana kebijakan pengelolaan SDA dan geopolitik. Kebijakan ekonomi penting antara lain karena Indonesia, berdasarkan kriteria Departemen Energi Amerika Serikat memiliki empat dari 54 mineral penting bagi industri masa depan.
Dampak perang
Masalah geopolitik global tidak hanya rangkaian pemilu. Perang, khususnya di Gaza dan Ukraina, tetap menjadi sumber ketidakpastian global. Rantai pasok global terganggu perang Ukraina dan Perang Gaza. Perang itu tidak menunjukkan tanda akan berhenti.
Perang di Afrika memang punya dampak, antara lain, gangguan produksi kawasan dan limpahan imigran global. Walakin, dampak pada ekonomi global dari perang-perang di Afrika tidak setinggi Perang Gaza dan Perang Ukraina.
Baca juga: Baku Tembak Sengit AS-Houthi di Laut Merah, Houthi Kehilangan 10 Anggotanya
Minggu (31/12/2023), Ukraina, Rusia, Israel, dan Hamas saling melancarkan serangan jarak jauh. Bahkan, perang Gaza terus menunjukkan tanda perluasan di kawasan. Bentuk perluasan, antara lain, ancaman Houthi pada kapal-kapal Israel dan pendukungnya.
Perang Ukraina dan Perang Gaza berdampak global karena mengganggu rantai pasok. Ancaman Houthi pada kapal-kapal Israel dan pendukungnya membuat salah satu jalur utama pelayaran global tertutup. Houthi akan terus menyerang kapal Israel dan pendukungnya selama Israel menyerbu Gaza.
Dunia bergantung pada kemampuan pemimpin mencegah kiamat.
Upaya membuka jalur itu tidak mudah. Setelah beberapa hari sejak AS mengumumkan Operasi Pengawal Kemakmuran untuk membuka jalur itu, sejumlah negara menolak bergabung. Di kawasan, Arab Saudi dan Uni Emirat Arab tidak mau ikut. Padahal, sudah bertahun-tahun Abu Dhabi dan Riyadh berperang dengan Houthi.
Baca juga: Mengungkap Rahasia Houthi Menjatuhkan Pesawat Canggih Amerika Serikat
Pada Rabu (27/12/2023), di Madrid, Spanyol, Perdana Menteri Spanyol Pedro Sanchez menolak operasi gabungan UE untuk pemberantasan pembajakan, Atalanta, dipakai menghadapi Houthi. Penolakan Sanchez melemahkan Operasi Pengawal Kemakmuran.
Adapun Perancis dan Italia pada prinsipnya setuju mengirimkan kapal perang ke Laut Merah. Walakin, Paris dan Roma menolak jika kapal mereka di bawah komando Washington.
Bahkan, Roma menegaskan hanya akan mengawal kapal-kapal niaga Italia. Roma tidak akan membantu mengawal kapal-kapal niaga selain milik Italia.
Ancaman Houthi membuat maskapai yang mengendalikan hampir 70 persen pelayaran global menjauhi Laut Merah. Dampaknya, ongkos angkut meningkat.
Dalam taksiran paling moderat, kenaikan ongkos angkut paling sedikit tiga kali lipat. Kenaikan itu tentu akan dibebankan ke konsumen. Hal itu berarti akan ada kenaikan harga aneka kebutuhan pokok.
Lebih buruk dari itu, rantai pasok bisa terdampak karena pengiriman aneka bahan baku terlambat. Padahal, dunia belum pulih sepenuhnya dari dampak gangguan rantai pasok akibat perang Ukraina. Boikot dan sanksi AS dan sekutu serta mitranya pada Rusia menyebabkan pasokan berbagai kebutuhan terhambat.
Kontribusi Rusia pada PDB global memang hanya 2,7 persen. Walakin, Rusia pemasok penting energi dan pangan global. Hambatan ekspor pada aneka produk Rusia berarti gangguan pada rantai pasok global.
Baca juga Harapan Diplomasi Ukraina di Indonesia di Pengujung Tahun 2023
Uni Eropa, yang paling getol mendorong sanksi pada Rusia, sudah merasakan itu. Harga aneka kebutuhan di Eropa naik sejak perang meletus. Pertumbuhan ekonomi EU, kontribusinya pada PDB global setara 14,87 persen, melambat sejak 2022 dan berlanjut di 2024.
Pelambatan terutama dipicu dampak perang. Organisasi Kerja Ekonomi dan Pembangunan (OECD), Bank Dunia, Dana Moneter Internasional (IMF), beragam lembaga investasi, dan berbagai lembaga konsultasi bisnis menyimpulkan itu.
Perlu kerja sama dan koordinasi global untuk mengendalikan dampak buruk aneka ketegangan itu. Sayangnya, kalau tidak perang, para pemimpin lebih sibuk mengatur siasat mempertahankan kursinya. (REUTERS/AFP)