Masyarakat Perlu Pahami Cara Menjadi Pekerja Migran Legal
Jutaan WNI tak tercatat di kedutaan besar RI. Mereka umumnya bekerja secara ilegal.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengalaman Indonesia mengirim pekerja migran ke luar negeri hingga kini belum dibarengi pengetahuan dan pemahaman mengenai peraturan serta prosedur yang benar. Masih terdapat kasus tenaga kerja Indonesia yang berhadapan dengan hukum di negeri orang akibat proses mendapatkan pekerjaannya tidak tercatat sehingga hak-hak mereka tidak dipenuhi.
Hal ini mengemuka dalam seminar daring ”Penguatan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia untuk Migrasi yang Aman, Tertib, dan Teratur” di Jakarta, Selasa (19/12/2023). Acara diadakan oleh Pusat Riset Kependudukan Badan Riset dan Inovasi Nasional dalam rangka memperingati Hari Migran Internasional.
Departemen Urusan Ekonomi dan Sosial Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDESA) pada 2020 memperkirakan ada 4,6 juta warga negara Indonesia (WNI) yang tinggal di luar negeri. Akan tetapi, data ini berbeda dengan yang dipegang oleh Kementerian Luar Negeri, yakni 2,27 juta orang.
”Data di Kemlu ini hanya WNI yang tercatat oleh kedutaan besar Indonesia atau perwakilan pemerintah kita di luar negeri. Artinya, ada banyak WNI di luar yang tidak tercatat oleh Kemlu,” kata Direktur Perlindungan WNI Kemlu Judha Nugraha.
Perwakilan Indonesia di luar negeri hanya bisa mencatat keberadaan WNI di negara tersebut apabila WNI lapor diri. Masih dikembangkan sistem kerja sama dengan pemerintah di berbagai negara agar WNI yang tiba di suatu negara otomatis tercatat oleh kedutaan besar Indonesia ketika melewati gerbang imigrasi.
Judha mengatakan, para WNI yang tidak tercatat ini umumnya bekerja secara ilegal. Salah satu contohnya ketika pemerintah mengevakuasi WNI dari Suriah tatkala perang saudara meletus. Awalnya, pemerintah menduga hanya ada mahasiswa yang berkuliah di sana. Akan tetapi, ketika proses pengungsian, ternyata ada 2.235 tenaga kerja Indonesia yang mencari nafkah di Suriah. Padahal, negara itu tidak termasuk di dalam daftar negara tujuan kerja WNI yang diakui oleh pemerintah.
”Pendidikan mengenai negara-negara tujuan yang diakui pemerintah ini perlu disebarluaskan oleh pemerintah daerah dan agen penyalur pekerja migran di kabupaten/kota. Jangan sampai WNI bekerja secara ilegal di negara yang belum membangun skema kerja sama dengan Indonesia karena terjebak iming-iming calo. Ini berujung kepada tindak pidana perdagangan orang,” papar Judha.
Hal itu juga dipermasalahkan oleh Mita Noveria, peneliti kependudukan BRIN. Secara umum, sekitar 1,8 persen penduduk Asia Tenggara bekerja sebagai pekerja migran. Khusus Indonesia, 90 persen WNI di luar negeri adalah pekerja migran dengan jumlah terbanyak berada di Malaysia, disusul oleh Hong Kong dan Taiwan. Sebagian besar bekerja di sektor informal.
Menjadi pekerja migran harus melalui proses persiapan, pelatihan, pemberangkatan, dan penempatan. Menurut Mita, pada semua proses itu, BRIN menemukan masalah. Hal ini berakibat ketidakpuasan pekerja migran di negara tujuan dan ketidakpuasan majikan yang berujung kaburnya pekerja dari tempat kerja. Yang terparah mereka dianiaya majikan.
”Mayoritas narasumber penelitian BRIN mengatakan, beban kerja mereka jauh lebih berat daripada yang dikatakan agen ketika merekrut calon pekerja. Saat pekerja mengeluhkan hal ini kepada agen di negara tujuan, mereka malah dimarahi dan disuruh menerima nasib. Makanya mereka memilih kabur,” tutur Mita.
Terdapat pula biaya pemotongan gaji oleh agen dengan dalih mengganti biaya tiket pesawat, visa, dan uang penempatan. Hal ini tidak diiringi kejelasan jumlah dan lama pemotongan sehingga rawan dikorupsi oleh agen.
Data di Kemlu ini hanya WNI yang tercatat oleh kedutaan besar Indonesia atau perwakilan pemerintah kita di luar negeri. Artinya, ada banyak WNI di luar yang tidak tercatat oleh Kemlu.
Sukarman, Direktur Sistem dan Strategi Penempatan dan Perlindungan di Kawasan Asia dan Afrika untuk Badan Penyalur Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), menjelaskan, kendala utama penyaluran pekerja ialah banyak yang memilih untuk diberangkatkan oleh calo. Sejatinya, apabila di peramban kita mengetik ”lowongan kerja BP2MI”, akan langsung diarahkan ke laman resmi lembaga tersebut yang berisi informasi kesempatan kerja di negara lain, lengkap dengan persyaratan dan data dari perusahaan penyalur.
Namun, jenis pekerjaan, negara tujuan, dan persyaratannya memang terbatas. Sukarman menerangkan, hal ini karena BP2MI memang menyaring agen dan perusahaan yang akan mempekerjakan WNI supaya terjamin keabsahan dan tanggung jawabnya. Selain itu, kebanyakan perusahaan yang memasang informasi lowongan kerja di BP2MI menginginkan calon pekerja migran memiliki sertifikat keterampilan atau minimal lulusan SMA sederajat.
”Sebagai gambaran, ada 218.000 lowongan pekerjaan formal di luar negeri yang potensial tetapi tidak pernah terpenuhi oleh Indonesia. Mayoritas masalahnya adalah calon pekerja tidak bisa berbahasa Inggris atau kurang di dalam persyaratan keterampilan. Padahal, Pemerintah Indonesia menggodok kerja sama dengan Jerman, Korea Selatan, Jepang, dan kini Arab Saudi agar mutu pekerja Indonesia terangkat,” ujarnya.
Menurut Sukarman, Indonesia juga tengah membicarakan dengan Arab Saudi dan negara-negara Timur Tengah agar melarang kedatangan pekerja migran baik dengan menggunakan visa wisata maupun visa ziarah. Indonesia hanya mengizinkan pekerja migran pergi apabila telah memperoleh visa kerja dari negara tujuan.
Persoalannya, negara-negara Timur Tengah mengizinkan kedatangan calon pekerja dengan visa wisata yang kemudian diubah menjadi visa kerja. Ini pula faktor penarik banyaknya pekerja migran Indonesia memilih jalur ilegal.
Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo mengemukakan pentingnya memikirkan tempat layanan satu atap untuk calon pekerja migran. Hal ini akan memotong pergerakan para calo maupun korupsi. Dari segi pendidikan masyarakat, Migrant Care bekerja sama dengan tujuh kabupaten mengembangkan desa peduli buruh migran. Aparat desa dan kabupaten memberi pengetahuan mengenai cara bermigrasi yang benar dan hak-hak para pekerja di luar negeri.
Aturan Organisasi Buruh Internasional (ILO) adalah uang pengganti biaya yang dikeluarkan oleh agen hanya boleh dibayar pekerja dari gaji satu bulan. ”Kita harus memikirkan aturan membebaskan pekerja migran dari uang biaya penempatan ini agar tidak ada lagi jebakan utang,” kata Wahyu.