Layanan Terpadu demi Pekerja Migran Sejahtera
Program Migrant Worker Resources Center (MRC) di Cirebon memberikan layanan terpadu kepada pekerja migran.
Setelah dua tahun, program Migrant Worker Resources Center di Cirebon, Jawa Barat, membuahkan hasil. Layanan terpadu ini menjadi ruang konsultasi prakerja hingga mendorong peraturan desa soal perlindungan pekerja migran. Banyak pihak berharap program itu berlanjut.
Sekitar empat jam Susilawati (30) memperhatikan diskusi terkait evaluasi program Migrant Worker Resources Center (MRC) di aula Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa Kabupaten Cirebon, Selasa (8/11/2023). Penyejuk ruangan yang kerap mati tidak mengganggu fokusnya.
Baginya, pengetahuan tentang MRC sangat penting. MRC adalah layanan yang mendukung perluasan fungsi layanan terpadu satu atap (LTSA) dalam penyediaan informasi, konsultasi, bantuan hukum, hingga pelatihan calon pekerja migran. Program ini diresmikan pada pertengahan 2021.
Baca juga : Puluhan Pekerja Migran Asal Cirebon Bermasalah, Perekrutan Ilegal Mendominasi
Layanan ini adalah perdana di Indonesia. MRC terealisasi atas kolaborasi Uni Eropa, Organisasi Buruh Internasional (ILO), United Nations Women, Kementerian Tenaga Kerja, Pemkab Cirebon, Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), dan Women Crisis Center Mawar Balqis.
”Sebelum saya mengenal pelatihan seperti ini, saya pernah berangkat unprosedural,” ucap warga Desa Tangkil, Kecamatan Susukan, Cirebon ini.
Pengalaman buruk itu terjadi pada 2016, saat ia menjadi pekerja migran di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab. Padahal, Timur Tengah terlarang bagi pekerja migran Indonesia.
Kala itu, Susi, sapaannya, ingin mengadu nasib ke luar negeri karena dorongan lingkungannya. Selain banyak tetangganya yang menjadi pekerja migran, ia juga membutuhkan uang agar dapurnya tetap ngebul.
Apalagi, suaminya hanya buruh serabutan. Pendapatannya tidak menentu.
Perempuan lulusan SMP ini tergoda saat sponsor atau calo mengiming-imingi gaji Rp 4 juta per bulan sebagai pekerja rumah tangga di Timur Tengah. Susi kemudian terbang ke negeri orang, meninggalkan anaknya yang masih berusia satu tahun.
”Pas di bandara, saya baru tahu kalau saya (berangkat secara) ilegal. Saya di-umpetin seperti teroris. Waktu boarding disuruh sembunyi di antrean. Saya dilarang pakai jilbab supaya tidak seperti pekerja migran,” tutur Susi saat itu memegang visa turis yang berlaku hanya 90 hari.
”Pas di sana, majikan saya bilang kalau saya enggak baik, dia enggak tahu nasib saya karena berangkat unprosedural,” kata Susi menceritakan ancaman majikannya.
Ternyata, setelah bekerja, dia baru tahu dampaknya. Gaji yang ia terima hanya Rp 1,6 juta per bulan atau jauh dari janji sponsor.
Beruntung, Susi tidak mengalami kekerasan. Setelah masa kontraknya habis dua tahun, ia akhirnya pulang.
Namun, tahun 2019, ia kembali mengadu nasib ke luar negeri. Kali ini, ia memilih Taiwan, negara yang tidak terlarang. Sayangnya, gajinya juga sempat dipotong agen.
Baru setahun bekerja, Susi kembali ke Tanah Air karena majikannya meninggal. Ia tidak tahu apakah hak-haknya sebagai pekerja migran telah terpenuhi atau tidak.
”Yang pasti, tabungan dari luar negeri itu baru satu minggu sudah habis. Saya belum tahu pengelolaan keuangan,” ucapnya.
Pada 2021, ia mengikuti pelatihan terkait perlindungan pekerja migran yang digelar MRC. Saat itulah, Susi tahu perusahaan penyalur pekerja migran yang legal, hak-hak pekerja migran, hingga cara mengelola keuangan. Ia pun mengenal sejumlah lembaga yang fokus mendampingi pekerja migran.
Kalau tidak bisa baca tulis, bagaimana mereka tahu hak-haknya dan tanda tangan perjanjian kerja?
Kini, Susi kembali mendaftar sebagai calon pekerja migran di Hong Kong sesuai prosedur. Jika dulu alasannya bekerja ke luar negeri untuk membangun rumah seperti tetangganya, kini tujuannya beda.
”Saya mau investasi untuk masa tua nanti,” kata Susi yang sudah menikah sebelum 17 tahun.
Susi juga menyebarkan pengetahuannya tentang perlindungan pekerja migran ke sejumlah warga desa. ”Masih banyak sponsor yang nawarin (ke luar negeri). Apalagi ada fee (uang) Rp 10 juta supaya mau ikut. Padahal, risikonya besar. Kalau ada masalah, tidak ada yang bantu,” ucapnya.
Buta huruf
Koordinator MRC Cirebon dan Lampung Timur Dina Nuriyati mengatakan, sejak 2021, sosialisasi dan pelatihan terkait perlindungan pekerja migran menyasar langsung ke masyarakat Cirebon.
”Penerima manfaat ini mencapai 3.005 orang, 68 persen adalah perempuan,” ucapnya.
MRC juga telah memberikan layanan kepada 1.974 pekerja migran asal Cirebon dan keluarganya. Pihaknya turut menginisiasi lembaga forum tripartit antara pekerja migran, perusahaan penyalur, dan pemerintah. Bahkan, MRC membuka jaringan dengan pekerja migran di luar negeri.
Di LTSA Cirebon, MRC menyediakan layanan konsultasi yang responsif jender bagi calon PMI. ”Misalnya, kami bisa menemukan warga yang mendaftar pekerja migran karena dipaksa suaminya. Ada juga calon pekerja migran yang buta huruf,” ucap Maman Normandika, Koordinator MRC Cirebon.
Pihaknya merekomendasikan agar pemerintah memastikan calon pekerja migran berangkat tanpa paksaan dan warga yang buta huruf menerima pelatihan membaca terlebih dahulu.
”Kalau tidak bisa baca tulis, bagaimana mereka tahu hak-haknya dan tanda tangan perjanjian kerja,” lanjutnya.
Tidak hanya di LTSA, program MRC juga mendampingi sembilan desa untuk membuat draf peraturan desa soal perlindungan pekerja migran. Desa itu adalah Gebang Ilir, Gebang Kulon, Melakasari, Gembongan, Gembongan Mekar, Serang Wetan, Tangkil, Kedongdong, dan Wiyong.
Kepala Urusan Perencanaan Desa Gembongan Mekar Wakyo mengatakan, perdes itu, antara lain, mengatur agar calon pekerja migran berangkat melalui perusahaan yang legal, menyiapkan dokumen, hingga melaporkan kontak yang bisa dihubungi. Semua itu untuk melindungi pekerja migran sedari desa.
Pihaknya juga membentuk satuan tugas berisi enam warga yang akan mengurus PMI jika bermasalah di luar negeri. Meski demikian, ia mengakui, dana desa belum membiayai sepenuhnya pendataan dan perlindungan pekerja migran. Sebab, pos-pos anggaran desa sudah ditetapkan.
”Kami butuh dukungan dana dari Pemkab. Selama ini, kalau ada pekerja migran bermasalah, pakai uang pribadi pak kuwu (kepala desa). Satu orang itu bisa Rp 2 juta. Ibaratnya percuma ada mobil kalau enggak ada bensin. Percuma ada aturan (program) kalau enggak ada anggaran,” ujarnya.
Baca juga : Gunakan Jalur Ilegal, Sebagian Pekerja Migran Jabar Rawan Menjadi Korban Perdagangan Manusia
Sa’adah, Koordinator MRC Kabupaten Cirebon, juga berharap pemkab dapat mendukung anggaran perlindungan pekerja migran. ”Program MRC sebenarnya telah usai Juli lalu. Tapi, teman-teman masih bersemangat kerja sampai akhir tahun. Semoga program ini masih berlanjut,” ujarnya.
Terlebih lagi, Cirebon termasuk kantong pekerja migran. Tahun lalu, terdaftar 9.809 calon pekerja migran dan sebanyak 7.639 telah ditempatkan di sejumlah negara. Jumlah calon pekerja migran yang terdaftar hingga akhir 2023 tercatat 5.818 orang. Lebih dari 75 persen pekerja migran merupakan perempuan.
Tahun lalu, 52 pekerja migran asal Cirebon bermasalah. Sebagian besar akibat berangkat tanpa sesuai prosedur. Kasus lainnya adalah permasalahan habis kontrak, gaji tidak dibayar, sakit, klaim asuransi tidak dicairkan, hilang kontak, dan kecelakaan kerja.
Desa gerbang utama
Asisten Daerah Bidang Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat Setda Kabupaten Cirebon M Syafrudin mengakui, warga menjadi pekerja migran karena pilihan pekerjaan terbatas. ”Memang ada kawasan industri di sini, tetapi belum maksimal (menyerap tenaga kerja),” ujarnya.
Tahun lalu, tingkat pengangguran terbuka di Cirebon tercatat 8,1 persen atau 90.118 orang dari 1 juta angkatan kerja. Di sisi lainnya, 249.180 orang atau sekitar 11,2 persen penduduk Cirebon tergolong miskin. Angka ini di atas rata-rata kemiskinan di Jabar, yakni 7,62 persen.
Di tengah kondisi itu, lanjutnya, pekerja migran menjadi salah satu penyumbang devisa dan penggerak ekonomi di daerah. Itu sebabnya, pihaknya berkomitmen mendukung perlindungan pekerja migran. Namun, pihaknya belum memastikan adanya anggaran khusus untuk program MRC.
”Teman-teman dari perangkat daerah juga sudah melakukan (program seperti MRC). Jadi, tinggal kita sambungkan saja. Tentu kapasitasnya lebih ditingkatkan,” kata Syafrudin.
Sinthia Harkrisnowo, Koordinator Program Safe and Fair ILO, mengatakan, terlepas dari persoalan anggaran, pelaksanaan MRC di Cirebon telah menjadi contoh penerapan tata kelola pemerintahan yang baik. Sebab, program itu melibatkan banyak pihak, termasuk desa.
”Tidak semua pemda mau berkolaborasi menangani pekerja migran. Padahal, desa itu pintu dan gerbang utama untuk proses migrasi. Jadi, pekerja migran harus terlindungi sedari desa,” ucap Sinthia.
Kisah pekerja migran yang bekerja tanpa pilihan dan keahlian tidak boleh terjadi lagi. Literasi, pertumbuhan ekonomi, hingga aksi pemangku kebijakan dibutuhkan melindungi mereka sejak dini.
Baca juga : Gerakan Perlindungan Pekerja Migran dari Desa