Setelah condong dengan berbagai pakta keamanan, Australia menjajaki diplomasi sebagai ujung tombak politik luar negeri.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
Australia, tetangga terdekat Indonesia di selatan, mengubah pendekatan mereka yang semula condong ke isu pertahanan dan keamanan menjadi diplomasi yang lebih mendalam dan bernuansa. Australia seolah ingin para tetangganya tahu bahwa, meskipun sekutu terdekat Amerika Serikat, Benua Kanguru memiliki kemandirian dan cara tersendiri dalam mengelola hubungan internasional.
”Banyak yang tidak tahu bahwa konsep Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka itu sejatinya berasal dari pikiran Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe yang disampaikan kepada Presiden AS Donald Trump. Akan tetapi, dalam pemaknaan dan penerapannya, ada perbedaan,” kata Direktur Institut Asia Universitas Griffith, Australia, Caitlin Byrne ketika dihubungi di Brisbane, Negara Bagian Queensland, Sabtu (9/12/2023).
Pemaknaan Indo-Pasifik Jepang menekankan kepada inklusivitas kerja sama. Sebaliknya, pendekatan yang diambil oleh AS sarat persaingan geopolitik dengan China. Berbagai ungkapan, seperti ”pengamanan rantai pasok” dan ”de-coupling” atau pemutusan ketergantungan, mewarnai narasi Washington.
Pesan tersirat adalah Australia tidak berminat mengucilkan, apalagi memutuskan hubungan, negara mana pun.
Australia, papar Byrne, memilih langkah yang lebih kompleks. Ia menjelaskan, sejak 2001 politik luar negeri Australia didominasi isu keamanan. Nilai-nilai diplomasi bukan sesuatu yang diminati publik. Bisa dibilang banyak keputusan yang diambil bahkan berlandaskan ketakutan menurunnya pengaruh Australia di kawasan. Ini yang melatarbelakangi Australia bergabung dalam dialog keamanan Quadrilateral (Quad) dan pakta pertahanan Australia-Inggris-AS (AUKUS).
Perdana Menteri Anthony Albanese ketika berkampanye pada 2021 mengatakan ingin fokus pada diplomasi. Akan tetapi, pada hari ketika memenangi pemilihan umum, ia langsung terbang ke Jepang menghadiri rapat Quad. Meskipun begitu, perubahan terlihat pada manuver politik di bawah Menteri Luar Negeri Penny Wong yang giat mendekati kembali negara-negara di Asia Tenggara dan Pasifik Selatan. Wong sebagai perempuan keturunan migran dari Malaysia menjadi wajah diplomasi baru Australia, yaitu negara yang berpenduduk majemuk dan modern.
”Pesan tersirat adalah Australia tidak berminat mengucilkan, apalagi memutuskan hubungan, negara mana pun. Walaupun ada perbedaan-perbedaan fundamental dengan negara tertentu, semua bisa dikelola dengan hati-hati dan berbagai kerja sama yang strategis tetap bisa terlaksana,” kata Byrne.
Oleh sebab itu, Australia, meskipun tergabung di dalam AUKUS dan Quad, tidak mengucilkan China pada aspek lain, misalnya perdagangan, budaya, dan hubungan antarmasyarakat. Meskipun begitu, Australia tetap cemas dengan pengaruh China di berbagai sektor strategis di Pasifik Selatan dengan alasan transparansi.
Menurut Byrne, ini membuat Australia menyeimbangkan diplomasi, selain di sisi keamanan juga di bidang pendidikan, olahraga, seni, mitigasi krisis iklim, dan pembukaan lowongan kerja. Diplomasi lunak ini merupakan kelebihan Australia dibandingkan dengan penanaman modal besar-besaran.
”Jumlah diplomasi Australia saat ini lebih banyak ke ASEAN (Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara) dan PIF (Forum Kepulauan Pasifik),” tuturnya.
Skema New Colombo Plan menjadi penting bagi Australia karena ini pintu pertukaran pelajar Australia dengan negara-negara Asia Tenggara dan Pasifik. Menurut Byrne, pemerintah berusaha menggenjot program tersebut. Secara umum, minat warga Australia mempelajari budaya asing relatif rendah karena, sebagai benua yang letaknya terkucil, bangsa Australia menganggap hal itu tidak perlu.
Dunia industri dulu juga tidak berpendapat penguasaan bahasa asing sebagai nilai tambah dalam mencari pegawai. Pandangan ini kian berubah mengingat penduduk Australia semakin beragam, bahkan satu dari tiga orang Australia lahir di luar negeri dan memiliki bahasa ibu selain bahasa Inggris.
Komitmen
Duta Besar Indonesia untuk Australia dan Vanuatu Siswo Pramono ketika ditemui di Canberra, Jumat (1/12/2023), menerangkan, keberatan Indonesia atas AUKUS ataupun Quad sejatinya bukan karena keduanya minilateralisme semata. Indonesia mengkhawatirkan terjadinya perlombaan senjata di kawasan yang berdampak kepada ancaman keamanan dan kesejahteraan masyarakat sipil.
”Soal pengadaan kapal selam bertenaga nuklir ini tidak hanya pada Australia, tetapi kepada semua negara yang berniat sama. Indonesia menekankan pentingnya komitmen transparansi dalam pengadaan, perakitan, perawatan, dan penjaminan sesuai standar keamanan internasional,” ujarnya.
Siswo adalah salah satu peracik Pandangan Indo-Pasifik ASEAN (AOIP) yang merupakan sumbangsih Indonesia selama memegang keketuaan perhimpunan itu sepanjang tahun 2023. Menurut dia, AOIP memang dirancang lebih banyak ke sektor perekonomian dan pembangunan karena bidang ini mudah dikelola transparansinya. Persaingan geopolitik umumnya bisa diredam ketika wadah kerja sama untuk pembangunan dibuat.
Negara-negara ASEAN pada dasarnya masih berkembang sehingga sektor yang bisa merajut semua ialah peningkatan kesejahteraan. Siswo mengatakan, selama ada kemauan politik, kerja sama bisa dikembangkan. Apalagi, kini ruang universalnya kian banyak, misalnya di bidang kesehatan, peralihan energi, dan mineral kritis, asal pembagian kerja jelas, dipertanggungjawabkan, dan menghormati kedaulatan masing-masing.
Alex Bristow, Wakil Direktur Institut Kebijakan Strategis Australia (ASPI), menjelaskan, sifat Australia pada dasarnya tidak pernah secara gamblang mengatakan suatu pihak dianggap mengancam. Akan tetapi, manuver politik luar negerinya mendeskripsikan pihak-pihak yang menurut mereka bisa membawa risiko ke kawasan.
Menurut Bristow, China memang berbeda secara prinsip, tetapi Australia terus berusaha bekerja sama. Di sisi lain, Australia juga tidak mau sepenuhnya bergantung pada AS karena punya reputasi kurang bisa diandalkan pada taraf kegentingan tertentu.
”Minilateralisme dan multilateralisme ini menjadi jalan Australia. Keinginan Australia ialah agar Indonesia ataupun ASEAN bisa lebih percaya diri di berbagai forum global dalam mengambil keputusan dan mewadahi banyak dialog,” ucapnya.