Pertemuan Presiden Xi Jinping dengan PM Anthony Albanese menunjukkan bahwa kepentingan nasional menjadi panduan utama kebijakan luar negeri.
Oleh
REDAKSI
·2 menit baca
Dinamika hubungan Australia-China sungguh fluktuatif. Sebelum tahun 2016, kedua negara memiliki relasi positif. Pada 2015, misalnya, Canberra menandatangani naskah untuk menjadi salah satu pendiri (founding member) Asian Infrastructure Investment Bank, institusi keuangan untuk membiayai proyek Belt and Road Initiative yang digagas China.
Pada 2014, dalam pidato di Parlemen Australia, Xi Jinping menyatakan relasi kedua negara telah mencapai level Comprehensive Strategic Partnership. Pada 2007, China tampil sebagai mitra terbesar perdagangan luar negeri Australia. China juga menggantikan Amerika Serikat (AS) sebagai sumber impor terbesar Australia pada 2005.
Namun, mulai 2016, relasi mereka lebih negatif. Canberra mengecam Beijing yang menolak putusan arbitrase internasional dalam kasus perselisihan di Laut China Selatan antara Filipina dan China. Australia mengkritik China terkait Xinjiang dan Hong Kong. Hubungan memburuk pada 2020 saat Australia dan AS mendorong investigasi asal virus penyebab Covid-19.
China lalu menghentikan impor sejumlah komoditas Australia. Negara ini pun kehilangan potensi devisa lebih dari 300 miliar dollar AS, 2019-2021 (Kompas.id, 6 November 2023).
Sejak Albanese menjadi perdana menteri pada Mei 2022, Canberra bersikap positif. Ia mendorong dialog dan bertemu dengan Xi, November 2022, di Bali. Ia menjadi PM Australia pertama yang bertemu langsung dengan Xi Jinping, enam tahun terakhir. Pada Oktober 2022, Canberra memutuskan pula untuk tidak membatalkan sewa 99 tahun perusahaan China di Pelabuhan Darwin (Asia Nikkei, 7 November 2023).
Canberra memang menghadapi dilema. Di satu sisi, China penting bagi perekonomian Australia. Lewat pertemuan Albanese-Xi Jinping, tampak Canberra otonom dalam merumuskan kebijakan luar negerinya serta memperhitungkan kepentingan nasional Australia dalam bidang ekonomi.
Di sisi lain, Australia merupakan sekutu AS. Australia tergabung dalam AUKUS, kerja sama militer untuk membantu Canberra memiliki kapal selam bertenaga nuklir. Australia bersama AS, India, dan Jepang juga anggota Quad.
Maka, meski penting secara ekonomi, China tetap dipandang Australia bersama sekutu sebagai ancaman. Posisi Australia sebagai middle power yang mengutamakan kestabilan tatanan internasional membuat Canberra cemas dengan sikap Beijing di Laut China Selatan (Fangyin Zhou, ”China-Australia Relations and China’s Policy Choices toward Australia: A Chinese Perspective”, The China Review, 2023).
Saat ini, kompleksitas di era rivalitas AS-China dihadapi tak hanya oleh Australia, tetapi juga banyak negara lain, termasuk Indonesia. Mereka tak boleh terbawa arus sehingga politik luar negeri harus dirumuskan lebih otonom dan matang guna melayani kepentingan nasional.