Eksploitasi Perang dengan Hamas, Israel Caplok "Garis Hijau" di Jerusalem Timur
Saat konflik Israel-Hamas di Gaza, Israel diam-diam menyetujui perluasan pemukiman di wilayah Jerusalem Timur.
JERUSSALAM, RABU — Saat gempuran ke Gaza masih berlangsung, Israel akan memperluas pemukiman warga Israel di wilayah Jerusalem Timur. Israel berencana membangun 1.792 unit rumah baru di lahan seluas 45 hektar di wilayah pendudukan itu. Lokasi pemukiman baru itu terletak di antara kawasan Givat Hamatos dan Har Homa, wilayah tersebut sangat strategis. Separuh dari kawasan yang disebut Saluran Air Bawah ini terletak di Garis Hijau di Jerusalem Timur dan separuh lagi berada di dalam Garis Hijau.
Munculnya isu tersebut menjadi perhatian Israel Peace Now, sebuah organisasi non-pemerintah di Israel. Menurut mereka, Israel mengeksploitasi perang di Gaza untuk mengalihkan perhatian dunia sehingga rencana pembangunan pemukiman baru ini menjadi tidak terpantau.
Baca juga: Retorika Dunia Tak Akan Menyelamatkan Gaza
“Jika bukan karena perang antara Israel dan Hamas, pasti akan banyak yang ribut. Ini proyek yang sangat bermasalah bagi kelangsungan Negara Palestina antara Tepi Barat bagian selatan dan Jerusalem Timur,” kata Hagit Ofran dari Peace Now kepada kantor berita AFP.
Garis Hijau mengacu pada Garis Gencatan Senjata pada tahun 1949 yang ditetapkan pada akhir perang yang menyertai berdirinya Israel. Perjanjian ini membagi kota itu antara Jerusalem Barat yang dikuasai Israel dengan Jerusalem Timur yang dikelola Jordania hingga Perang Enam Hari pada 1967.
Israel menduduki Jerusalem Timur selama perang Arab-Israel pada 1967 dan mencaplok seluruh kota itu pada 1980. Tindakan ini tidak pernah diakui Perserikatan Bangsa-Bangsa. Kemungkinan sekitar 700.000 pemukim Israel tinggal di 164 pemukiman dan 116 pos terdepan di Tepi Barat, berdekatan dengan Jerusalem Timur. Berdasarkan hukum internasional, semua pemukiman Yahudi di wilayah pendudukan dianggap ilegal.
Baca juga: Dunia Mendesak Perlindungan Warga Gaza
Organisasi non-pemerintah anti-pemukiman, Ir Amin, menyebutkan sekitar 300.000 warga Palestina dan 200.000 warga Israel tinggal di wilayah Jerusalem Timur. Rencana Israel ini dinilai mencerminkan diskriminasi akut dalam perencanaan kota Israel. Rencana pemukiman bagi warga Israel setiap tahun akan bertambah, sementara pembangunan pemukiman Palestina diabaikan.
Kementerian Luar Negeri Palestina, Selasa, menyatakan Israel memanfaatkan kekhawatiran komunitas internasional atas perang di Gaza untuk menyetujui pembangunan pemukiman itu. Ini merupakan bagian dari rencana Israel membanjiri Jerusalem dengan pemukiman dan pemukim Israel serta memisahkannya dari wilayah Palestina.
Kantor berita Turki, Anadolu, menyebutkan Mesir mengecam keputusan Israel membangun pemukiman baru di Jerusalem Timur. Tindakan itu, menurut Mesir, melanggar resolusi internasional. Tindakan Israel itu hendak melemahkan status hukum, sejarah, dan demografi wilayah Palestina, termasuk Jerusalem Timur.
Kementerian Luar Negeri Mesir dalam pernyataan tertulisnya mendesak Israel segera menghentikan pembangunan pemukiman yang tidak sah itu. Israel juga diminta untuk berhenti mengeksploitasi fokus dunia pada perang di Gaza yang ternyata dilakukan untuk mengintensifkan praktik tidak sah di Tepi Barat, termasuk pembangunan pemukiman.
Resolusi PBB
Pada tahun 2016, Dewan Keamanan PBB mengadopsi resolusi yang mengecam pembangunan pemukiman Israel. Resolusi itu menyebutkan pembangunan pemukiman oleh Israel di wilayah Palestina yang diduduki sejak 1967, termasuk Yerusalem Timur, tidak memiliki validitas hukum dan melanggar hukum internasional. Hal ini juga menghambat pencapaian solusi dua negara, perdamaian yang adil, abadi, dan komprehensif.
Baca juga: Mahkamah Internasional Selidiki Kejahatan Perang dalam Konflik Hamas-Israel
Kanal berita daring Israel, The Times of Israel, Rabu, menyebutkan rencana pembangunan pemukiman itu sudah mendapat persetujuan akhir dari Komite Perencanaan Distrik Jerusalem. Pemukiman baru ini nanti akan disebut dengan Saluran Air Bawah dan menjadi kawasan pemukiman besar pertama di Jerusalem Timur yang disetujui sejak 2012.
Kawasan pemukimannya akan dibangun di kedua sisi Jalur Hijau, di selatan Kibbutz Ramat Rachel di Yerusalem selatan, di sebelah barat lingkungan Palestina di Sur Baher, dan antara lingkungan Har Homa di Yerusalem Timur dan kawasan yang direncanakan di Givat Hamatos.
Walikota Jerusalem Moshe Lion mengatakan proyek ini diperlukan untuk memperluas pasokan perumahan di ibu kota. Direktur Departemen Perencanaan dan Proyek di Otoritas Pertahanan Israel, Einav Ringler, menyambut baik persetujuan lingkungan itu karena kawasan itu akan menawarkan “daerah perkotaan yang dinamis dan mudah diakses di dekat Jalan Hebron dan poros jalur kereta ringan di masa depan”. Ringler menambahkan kawasan itu akan memiliki “campuran pemukiman yang beragam yang akan memenuhi semua kebutuhan penduduk”.
Terpojok
Sementara Israel sibuk memperluas pemukimannya, rakyat Gaza semakin terpojok dan tidak tahu hendak mengungsi ke mana lagi. Situs Al Jazeera, Selasa, menyebutkan militer Israel meminta warga Palestina di Gaza untuk mengungsi ke kota Al-Mawasi di wilayah Gaza selatan karena lokasi itu ditetapkan sebagai wilayah yang aman. Warga Palestina diminta mengungsi ke sana karena Israel akan menggelar operasi militer besar-besaran di sekitar kota Khan Younis yang diklaim Israel menjadi tempat berlindung para pemimpin Hamas.
Masalahnya, lokasi aman yang disebut Israel itu dikhawatirkan tidak akan bisa menampung sekitar 1,8 juta warga Palestina yang mengungsi. Kota Al-Mawasi merupakan kota pesisir Badui di selatan Jalur Gaza dan termasuk kota kecil. Wilayah itu sudah dikepung pemukiman Israel sampai Perdana Menteri Israel Ariel Sharon melepaskan pemukiman itu dari Gaza pada 2005. Israel mendeklarasikan wilayah berpasir dan terpencil seluas 6,5 km persegi di dalam kota itu sebagai wilayah kemanusiaan di mana para pengungsi bisa berlindung.
Baca juga: Gaza yang Kian Merana
Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus menilai usulan Israel menjadikan lokasi itu sebagai tempat berlindung para pengungsi jelas menimbulkan bencana. “Menjejalkan begitu banyak orang ke dalam wilayah kecil dengan infrastruktur atau akses layanan terbatas akan meningkatkan risiko terhadap kesehatan bagi mereka yang sudah di ambang bahaya,” ujarnya.
WHO tidak akan berpartisipasi dalam pembentukan lokasi aman itu kecuali semua kebutuhan para pengungsi terpenuhi dan keselamatan mereka terjamin, serta ada mekanisme pengawasan.
Dari hasil pantauan Sky News yang mengunjungi Al-Mawasi disebutkan di lokasi itu tidak ada tempat berlindung yang memadai seperti tenda yang kuat ataupun dapur umum. Fasilitas kesehatannya pun tidak memadai.
Di tengah kecaman dunia, Kantor Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu akhirnya menyetujui penambahan sedikit pasokan bahan bakar ke Gaza untuk mencegah bencana kemanusiaan dan munculnya epidemi di selatan Jalur Gaza. Jumlah pasokannya akan ditentukan dari waktu ke waktu oleh Kabinet Perang sesuai dengan situasi kemanusiaan di wilayah itu.
Sebelumnya, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengutarakan kekhawatirannya akan situasi di Gaza. “Di tengah pengeboman militer Israel dan tanpa tempat berlindung serta pemenuhan kebutuhan penting lain untuk bertahan hidup, situasi di Gaza akan sangat menyedihkan sampai nanti akhirnya bantuan kemanusiaan yang terbatas pun tidak mungkin dilakukan,” sebut Guterres dalam suratnya kepada Dewan Keamanan PBB.
Baca juga: Gaza dalam Bayang-bayang Pusara Genosida
Untuk pertama kalinya sejak menjadi Sekjen PBB pada tahun 2017, Guterres menggunakan Pasal 99 Piagam PBB, yang memungkinkan dia untuk “menyampaikan kepada Dewan Keamanan setiap masalah yang menurut pendapatnya dapat mengancam pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional”.
Menteri Luar Negeri Israel Eli Cohen membalas dengan mengatakan mandat Guterres itu “bahaya bagi perdamaian dunia”. Di sisi lain, para pemimpin negara anggota G7, termasuk mitra utama Israel, menyerukan tindakan segera untuk mengatasi krisis kemanusiaan di Gaza. (AFP)