Gaza dalam Bayang-bayang Pusara Genosida
Ambisi untuk membinasakan lawan dalam konflik Hamas-Israel perlu segera diredakan dan didamaikan agar tidak berkembang pada upaya genosida terhadap jutaan orang tak bersalah dan tak berdaya.
Perang antara Israel dan Hamas telah menjelma menjadi bencana tragedi kemanusiaan. Ribuan korban jiwa terus berguguran, tetapi tak juga menghentikan gempuran serangan udara dan tembakan roket. Ambisi untuk membinasakan lawan perlu segera diredakan dan didamaikan agar tidak berkembang pada tindakan genosida terhadap jutaan orang tak bersalah dan tak berdaya.
Satu purnama telah berlalu, tetapi tanah Gaza masih terus bergetar hebat akibat ledakan bom dan serangan senjata artileri tanpa henti. Adu kekuatan senjata yang tidak seimbang itu menyebabkan setidaknya 45 persen permukiman di Gaza luluh lantak. Akibatnya, 1,5 juta warga Gaza diprediksi kehilangan tempat tinggal dan harus berdesak-desakan di kamp pengungsian.
Serangan udara dan senjata artileri berat yang menyasar daerah rawan penduduk juga mengakibatkan tingginya korban jiwa dari masyarakat sipil Gaza. Hingga hari ke-32 pertempuran atau 7 November 2023, Kementerian Kesehatan Palestina di Gaza melaporkan jumlah korban jiwa telah menembus angka 10.328 jiwa, di mana 67,3 persen (6.958 jiwa) di antaranya perempuan dan anak-anak. Sementara itu, korban jiwa di pihak Israel berada di kisaran 1.400 jiwa, di mana 31 jiwa di antaranya merupakan anak-anak.
Tel Aviv mengklaim, semua aksi militer yang dilakukannya merupakan aksi bela diri terhadap serangan Hamas yang masih berlangsung. Serangan-serangan Israel itu juga ditujukan untuk membalas kematian 1.400 warga Israel dan membebaskan sekitar 240 orang lainnya yang dijadikan tawanan oleh Hamas dalam serangan kejutan 7 Oktober 2023. Adapun lebih dari 80 persen korban serangan Hamas merupakan warga sipil Israel.
Namun, tindakan mempertahankan diri Israel tersebut perlahan berubah menjadi agresi militer yang begitu berdarah. Gempuran yang bertubi-tubi nan membabi buta terhadap warga sipil Gaza seakan mengisyaratkan, Israel mulai menutup mata terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Sejumlah pihak dan ahli bahkan mulai menuding apa yang kini tengah dilakukan Israel terhadap warga Palestina adalah sebuah upaya genosida (Kompas.id, 31/10/2023). Di lain sisi, tindakan Hamas untuk terus menembakkan roket ke kawasan permukiman Israel juga dinilai sebagai sebuah aksi kejahatan perang.
Baca juga: 27 Hari Paling Mematikan di Gaza
Tudingan upaya genosida adalah sebuah hal yang sangat serius. Penentuan apakah suatu tindakan dapat disebut dan diadili sebagai genosida harus dilakukan secara hati-hati. Bagaimanapun, genosida merupakan kejahatan terberat yang dapat dilakukan oleh manusia terhadap umat manusia lainnya.
Berasal dari bahasa Yunani, geno, yang berarti bangsa atau ras, dan bahasa Latin, cidium, yang berarti membunuh, genosida merupakan upaya untuk memusnahkan sebuah kelompok dari muka bumi. Meskipun sudah terjadi sejak awal mula peradaban manusia, upaya internasional atas pencegahan dan pengadilan terhadap genosida baru terjadi seusai Perang Dunia II.
Sejarah pengadilan itu dilatarbelakangi peristiwa genosida paling mengerikan yang pernah disaksikan dunia, yakni Holocaust yang dilakukan Nazi Jerman. Genosida itu diprakarsai oleh Adolf Hitler dan menyasar bangsa Yahudi, Slav, Roma, dan Gypsi. Sejak berkuasanya Partai Nazi pada 1933 hingga berakhirnya Perang Dunia II pada 1945, diperkirakan 6 juta orang atau dua pertiga dari populasi bangsa Yahudi di Eropa dibunuh dalam genosida itu.
Konvensi genosida
Seusai Perang Dunia II, dunia tergerak untuk mencegah manusia melakukan kejahatan yang sedemikian kejam dan mengerikan. Oleh sebab itu, pada 9 Desember 1948, Perserikatan Bangsa-Bangsa yang baru saja terbentuk kala itu mengesahkan Konvensi atas Pencegahan dan Hukuman terhadap Kejahatan Genosida (Konvensi Genosida).
Pasal 2 konvensi itu mendefinisikan genosida sebagai segala macam tindakan yang dilakukan dengan niat untuk menghancurkan, secara keseluruhan atau sebagian, sebuah kelompok bangsa, etnis, ras, atau agama. Adapun tindakan menghancurkan yang dimaksud antara lain: (1) membunuh anggota kelompok tersebut; (2) menyebabkan luka fisik atau mental yang serius terhadap anggota kelompok; (3) secara sengaja menimbulkan kondisi hidup kelompok yang dapat mengakibatkan kemusnahan fisik seluruhnya atau sebagian; (4) menghalangi terjadinya kelahiran di dalam kelompok; dan (5) memindahkan anak-anak kelompok ke kelompok lainnya secara paksa.
Dari definisi tersebut, dapat dilihat bahwa terdapat dua elemen utama dalam genosida. Pertama adalah elemen fisik dan yang kedua merupakan elemen mental. Elemen fisik adalah segala hal yang tercakup dalam lima tindakan menghancurkan sebagaimana telah disebutkan. Untuk elemen mental berpusat pada niat khusus atau dolus specialis pelaku untuk melenyapkan kelompok target genosida dari muka bumi.
Sayangnya, meski 153 negara, termasuk Israel dan Palestina, telah meratifikasi konvensi tersebut, genosida tetap terus terjadi. World without Genocide mencatat, sudah terjadi 19 dugaan upaya genosida pada kurun 1948 sampai sekarang. Sejauh ini, empat kejadian di antaranya sudah dinyatakan sebagai genosida oleh pengadilan internasional, yakni Genosida Rwanda 1994, Genosida Bosnia 1992-1995, Genosida Kamboja 1975-1979, dan Genosida Darfur 2003-2005.
BBC melansir, setidaknya 33 orang telah dinyatakan bersalah atas kejahatan genosida, dengan rincian 29 orang di Rwanda, 2 orang di Bosnia, dan 2 orang di Kamboja. Adapun satu-satunya terdakwa Genosida Darfur, yakni Omar al-Bashir, masih belum menjalani pengadilan.
Baca juga: Membuka Mata Dunia pada Ancaman Kemanusiaan di Palestina
Dilihat dari putusan pengadilan, sebagian besar di antara pelaku dinyatakan melanggar tiga dari lima elemen fisik genosida, yakni membunuh, menyebabkan luka fisik dan mental yang serius, dan menciptakan kondisi yang mengarahkan kelompok pada kemusnahan fisik. Ketika dilihat kembali kepada konteks pertempuran di Gaza, baik Israel maupun Hamas tampak telah melakukan hal yang lebih kurang sama.
Tindakan membunuh dan menyebabkan luka fisik atau mental yang serius terhadap kelompok Palestina secara gamblang dapat dilihat dari korban jiwa dan luka yang diderita oleh warga Palestina dan Israel sepanjang perang. Namun, terdapat ketimpangan yang mencolok antara korban Palestina dan Israel. Jumlah total korban Palestina kini telah mencapai delapan kali lipat untuk korban tewas dan lima kali lipat untuk korban luka dibandingkan korban dari pihak Israel.
Bila diproporsikan dengan total populasi Palestina di Gaza sebesar 2,17 juta jiwa pada 2022, setidaknya sebanyak 50 dari 10.000 penduduk Gaza telah tewas selama sebulan terakhir. Angka ini sangat kontras jika dibandingkan dengan Israel, di mana proporsi korban tewas Israel dibandingkan total populasi penduduknya adalah 2 dari 10.000 orang.
Fakta bahwa 67 persen di antara korban Palestina merupakan anak-anak dan perempuan kian menunjukkan bahwa Israel tidak memiliki niatan untuk mengecualikan permukiman dari serangan udara mereka. Hal serupa pernah terjadi dalam Genosida Darfur, Sudan, di mana pesawat udara Pemerintah Sudan mengebom warga sipil secara membabi buta. Diperkirakan setidaknya 200.000 warga sipil di Darfur meninggal akibat genosida tersebut.
Israel juga secara sengaja menciptakan kondisi hidup warga Palestina menuju pada kemusnahan fisik, yakni melalui blokade total terhadap Gaza. Data statistik dari Kantor PBB untuk Urusan Kemanusiaan (OCHA) menunjukkan, pasokan pangan, air bersih, listrik, hingga bahan bakar Palestina di Gaza sangat bergantung pada akses gerbang perbatasan yang dikontrol oleh Israel (Kompas.id, 19/10/2023).
Ketergantungan tersebut tercipta karena Israel mengontrol penuh perbatasan darat, udara, dan laut Gaza dengan dunia luar. Tak pelak, ketika akses itu ditutup Israel, praktis Gaza kehilangan mayoritas sumber penunjang kehidupan mereka. Di samping itu, serangan udara Israel juga terbukti menghancurkan kapal nelayan, tempat pembuatan roti, dan pabrik penyulingan air, rumah sakit, hingga tempat pengungsian.
Alhasil, kombinasi dari blokade total dan kerusakan infrastruktur penunjang kehidupan di Gaza membuat jutaan warga Palestina di sana kian berada dalam bayang-bayang kemusnahan akibat kelaparan, dehidrasi, dan penyakit (Kompas.id, 7/11/2023; 8/11/2023). Hal ini semakin diperparah dengan 1,5 juta orang yang harus tinggal di tenda-tenda pengungsian karena tempat tinggal mereka sudah rata menjadi puing-puing.
Niat khusus
Mengenai elemen mental genosida, yakni niat khusus untuk melenyapkan seluruh kelompok target, PBB mengakui bahwa cukup sulit untuk mengidentifikasinya secara pasti. Namun, meski demikian, terdapat gejala-gejala yang dapat diamati untuk dapat menemukannya. Salah satunya adalah melalui sepuluh tahapan genosida yang dirumuskan oleh Gregory H Stanton, Presiden Genocide Watch, sebuah lembaga nonprofit internasional yang berfokus pada pencegahan genosida.
Dari sepuluh tahapan tersebut, niatan khusus suatu kelompok untuk menghabisi kelompok lainnya dapat terlihat dari delapan tahap awal, yakni klasifikasi, simbolisasi, diskriminasi, dehumanisasi, organisasi, polarisasi, preparasi, dan persekusi.
Baca juga: Standar Ganda Dunia Barat atas Serangan Israel ke Gaza
Dalam konteks perang, baik Hamas maupun Israel tampak melakukan semua delapan tahapan itu. Namun, jika dipandang dari skala dan cakupannya, apa yang dilakukan oleh Israel terlihat lebih menonjol, terutama di tahap diskriminasi, polarisasi, preparasi, dan persekusi.
Keempat tahapan yang dilakukan Israel itu paling terlihat dari politik apartheid yang diterapkan Israel di Gaza dan Tepi Barat sejak pendudukan pada tahun 1967. Melansir dari Human Rights Watch, politik apartheid terhadap orang Palestina yang diterapkan Tel Aviv mencakup pembatasan perjalanan yang sangat ketat, pembangunan pagar berduri di sekeliling Gaza, hingga pemisahan tempat tinggal antara komunitas Israel dan Palestina di Tepi Barat.
Selanjutnya, dehumanisasi atau menempatkan kelompok target sebagai bukan manusia tampak nyata dilakukan Hamas melalui mutilasi terhadap sejumlah korbannya (Reuters, 18/10/2023). Selain itu, serangan yang menargetkan rumah sakit dan kamp pengungsian yang dilakukan Israel juga menunjukkan minimnya pertimbangan unsur kemanusiaan. Bahkan, dehumanisasi dari Israel juga dapat diamati melalui pernyataan-pernyataan yang dilontarkan oleh pejabat Israel terkait orang Palestina yang cenderung merendahkan dan berintonasi negatif.
Pada 9 Oktober 2023, Menteri Pertahanan Israel Yoav Gallant menyebut orang Palestina sebagai ”manusia hewan” yang harus dilawan (Kompas.id, 9/10/2023). Kemudian, pada Juni 2014, mantan Menteri Kehakiman Israel Ayelet Shaked menyatakan dalam unggahan di Facebook bahwa para perempuan di Palestina melahirkan ”ular-ular kecil” yang harus dibunuh. Selain itu, orang-orang Palestina juga pernah disebut sebagai ”rumput liar” yang mesti ditebas (Al Jazeera, 13/7/2023).
Tahap genosida berikutnya adalah preparasi yang berarti perencanaan atau persiapan untuk menghilangkan kelompok target. Petunjuk terkait tahap ini di pihak Israel dapat ditemukan dalam pernyataan Menteri Warisan Israel, Amichay Eliyahu, pada 5 November 2023. Melansir dari The New York Times, Eliyahu menyatakan kemungkinan penjatuhan bom nuklir ke wilayah Gaza sebagai solusi atas konflik ini. Kemudian, pada akhir Oktober lalu, beredar dokumen draf rencana Israel untuk mengusir dan memindahkan paksa 2,3 juta warga Palestina dari Gaza ke Semenanjung Sinai di Mesir (AP, 31/10/2023).
Meski pola-pola proses genosida tampak lebih banyak dilakukan Israel, kejahatan perang yang dilakukan oleh Hamas pun tak dapat dinafikan begitu saja. Maka dari itu, semua tuduhan dan dugaan masih harus dibuktikan di atas meja pengadilan. Sebagaimana termaktub dalam Statuta Roma, dunia telah memiliki Mahkamah Internasional yang berwenang menyelidiki dan menyeret pelaku genosida untuk diadili.
Selain itu, pengadilan atas kejahatan genosida juga dapat dilakukan di tingkat nasional, sebagaimana telah terjadi di Rwanda. Laporan dari PBB menyatakan, hingga 2006, pengadilan negeri Rwanda telah mengadili sekitar 10.000 tersangka genosida. Rwanda bahkan juga menghidupkan kembali pengadilan komunitas tradisional bernama Gacaca yang diklaim telah menangani 1,2 juta kasus terkait genosida.
Hal tersebut menunjukkan bahwa masih ada harapan atas penegakan keadilan terhadap para pelaku kejahatan kemanusiaan. Namun, sebaik-baiknya pengadilan, tetap lebih baik bagi dunia untuk terus mengerahkan segala sumber daya demi mencegah medan tempur Gaza menjadi lokasi genosida berikutnya. Oleh karena itu, perlu kerja sama banyak pihak untuk bersama-sama turut serta meredakan konflik yang saat ini tengah berkecamuk di Gaza.
(LITBANG KOMPAS)