Serangan bertubi-tubi Israel ke wilayah Gaza membuat perdamaian kian menjauh dari Palestina.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD
·4 menit baca
Senyum, tawa, dan canda warga Palestina di Gaza, yang sempat terlihat selama sepekan pelaksanaan jeda kemanusiaan, tiba-tiba kembali lenyap, Jumat (1/12/2023). Serangan udara, hantaman bom, dan rentetan peluru yang ditembakkan serdadu Israel menyudahi harapan jutaan warga Palestina.
Tak butuh waktu lama, korban warga sipil pun kembali bertambah. Menurut Kementerian Kesehatan Palestina di Gaza, sebagaimana dikutip BBC pada Minggu (3/12/2023), jumlah korban tewas selama dua hari terakhir sebanyak 193 orang. Total 15.200 lebih jiwa terenggut. Sebagian besar korban adalah anak-anak. Permintaan agar jeda kemanusiaan diperpanjang, termasuk dari Amerika Serikat, tak didengar.
”Kami akan melanjutkan perang ini sampai kami mencapai tiga tujuan—membebaskan semua sandera, melenyapkan Hamas sepenuhnya, dan memastikan Gaza tidak lagi menghadapi ancaman seperti itu,” kata kantor Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu.
Menteri Pertahanan Israel Yoav Gallant menguatkan pesan Netanyahu. ”Kami akan melawan Hamas sampai kami menang. Tidak peduli berapa lama waktu yang dibutuhkan. Ini adalah perang yang adil. Ini adalah perang untuk (mengalahkan) Hamas. Ini adalah perang untuk memulangkan para sandera. Selama itu diperlukan,” kata Gallant.
Perluasan area serangan
Pernyataan itu membuat seakan tak ada lagi tempat yang aman di Gaza. Setelah menghajar Gaza utara, kini wilayah Gaza selatan pun diserang Israel. ”Tidak ada tempat untuk pergi. Mereka mengusir kami dari utara dan kini mereka mendorong kami meninggalkan wilayah ini,” kata Emad Hajar, yang sebulan lalu melarikan diri ke Kamp Pengungsi di Khan Younis, Gaza selatan.
Sejak jeda kemanusiaan berakhir, militer Israel menyebarkan selebaran dan peta yang berisi seruan kepada warga untuk pindah. Selebaran itu berisi lokasi-lokasi yang mungkin akan menjadi sasaran serangan serdadu Israel. Hal itu menimbulkan kepanikan.
Warga tidak bisa kembali ke utara karena wilayah itu sudah hancur lebur. Mesir juga tidak mau membuka pintu perbatasannya. Alhasil, satu-satunya jalan keluar adalah dengan berpindah-pindah di wilayah Gaza yang luasnya sekitar 220 kilometer persegi. Praktis rakyat Gaza tersudut.
”Terlalu banyak warga Palestina yang tidak bersalah terbunuh. Sejujurnya, skala penderitaan warga sipil serta gambar dan video dari Gaza sangat memprihatinkan,” kata Wakil Presiden AS Kamala Harris di sela-sela konferensi iklim di Dubai, Uni Emirat Arab.
Namun, sejatinya AS juga berada di balik ”kekerasan hati” Israel. AS dan sejumlah negara Barat menyokong Israel.
Genosida
Di sisi lain, situasi tak berimbang itu memicu gerakan solidaritas global. Anak-anak muda keturunan Yahudi di seluruh dunia berbaur dengan kelompok warga lain dari lintas budaya, lintas agama, dan etnis terus turun ke jalan menyuarakan agar serangan serdadu Israel ke Gaza dihentikan. Dalam pandangan mereka, tindakan Israel merupakan genosida terhadap warga Palestina.
Mengutip laman majalah AS, Time, para akademisi meyakini tindakan Israel kepada rakyat Palestina dan Gaza adalah mengarah pada sebuah genosida. Para ahli PBB juga menyebutnya genosida.
Raz Segal, Direktur Program Studi Genosida Stockton University, New Jersey, AS, mengatakan, tindakan Israel terhadap warga Palestina saat ini sesuai dengan kasus genosida dalam buku teks. Tindakan Israel, menurut Segal, dikategorikan genosida karena membunuh, menyebabkan cedera tubuh yang serius, dan penghancuran kelompok warga dengan cara yang sudah diperhitungkan. Ini merujuk pada tingkat kehancuran besar-besaran dengan jumlah korban yang masif, pengepungan total hingga penghentian pasokan kebutuhan dasar, seperti air, makanan, bahan bakar, serta medis.
Dengan sikap Israel yang seperti itu, apakah masih ada jalan ke luar bagi warga Gaza? Sementara itu, Iran dan negara-negara musuh bebuyutan Israel seperti menanti peluang untuk terjun langsung dalam konflik. Situasi itu membuat banyak pihak cemas.
Sejumlah analis meyakini, akan sulit mencari jalan tengah yang bisa diterima oleh para pihak, terutama oleh Hamas dan Israel. Hamas, meski terpukul, diyakini tidak akan bisa dihancurkan oleh Israel. Sebaliknya, kehancuran Gaza, kematian belasan ribu warga Palestina, mendorong Hamas menjadi lebih populer. Kondisi yang sebenarnya tidak diharapkan Israel dan sekutunya.
”Mereka (Israel) mungkin akan segera menyadari bahwa mereka tidak hanya tidak mampu mencapai tujuannya, yakni menghancurkan kemampuan militer dan pemerintahan Hamas. Israel akan sadar kalau mereka akan berhadapan dengan warga (Palestina) yang menjadi tunawisma, putus asa, dan sangat marah,” kata Joost Hiltermann, Direktur Program Timur Tengah dan Afrika Utara International Crisis Group dikutip dari laman Foreign Affairs.
Dengan situasi itu, menurut dia, tidak akan mudah untuk mengontrol kehidupan di Gaza. Hilterman mengingatkan bahwa Hamas adalah partai politik pemenang pemilu di Palestina. Sebaliknya, strategi Israel dan sekutunya menyubsidi Otoritas Palestina demi mengontrol pemerintahan Palestina justru tidak menghasilkan apa pun.
Normalisasi hubungan bilateral sejumlah negara Arab-Israel melalui Perjanjian Abraham juga tak berdampak. Aspirasi untuk memiliki negara sendiri tidak terpenuhi.
Menurut dia, menempatkan pasukan penjaga perdamaian di Palestina atau Gaza bisa menjadi jalan tengah. Namun, untuk mewujudkannya tidak mudah. Selain membutuhkan persetujuan Dewan Keamanan PBB, negara-negara Arab agaknya kurang berminat mengemban tugas itu.
Negara Arab, menurut Hiltermann, memandang tugas itu sebagai tanggung jawab yang berat dan tugas tersebut seharusnya menjadi tanggung jawab Israel.
Sejumlah ahli berpendapat, gencatan senjata mungkin dapat menjadi solusi jangka pendek. Namun, selepas itu, belum ada satu pihak pun yang meyakini adanya solusi jangka panjang.