Kemanusiaan Sedang Berlibur Dari Sekitar Gaza
Tak ada jalan keluar bagi para pengungsi Gaza yang kini berkumpul di selatan wilayah enclave itu. Negara tetangga tak mau berbaik hati lagi. Mereka terjebak, tersudut, tanpa masa depan.
Tidak ada belas kasih. Bukan pula pembelaan diri dari serangan pihak lain. Hanya ada pembalasan dendam.
Dalam pernyataan pada Minggu (15/10/2023), Kementerian Kesehatan Palestina mengungkap 2.379 warga sipil Palestina tewas akibat serangan Israel sepekan terakhir. Kantor berita Palestina, Wafa, melaporkan ada 47 keluarga Palestina dihapus dari data catatan sipil. Sebab, seluruh anggota keluarga itu tewas akibat serangan Israel sepekan ini.
Sebelumnya, Israel mengungkap 1.300 warganya tewas dalam serangan Hamas pekan lalu. Israel juga masih mendata jumlah warganya yang tewas akibat serangan dari arah Lebanon.
Baca juga: Eksodus Warga Palestina di Gaza, Berpacu dengan Serangan Darat Israel
Dengan perang yang masih terus berlangsung, jumlah korban dikhawatirkan akan terus bertambah. Karena itu, berbagai terus mendorong penghentian kekerasan.
Kepada Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Antony Blinken, Putra Mahkota Arab Saudi Pangeran Mohammed bin Salman menegaskan, serangan darat Israel ke Gaza harus dicegah. Dalam pertemuan pada Minggu (15/10/2023) pagi di Riyadh itu, penguasa faktual Arab Saudi tersebut menegaskan, blokade Gaza harus dihentikan dan bantuan kemanusiaan perlu diizinkan masuk ke sana.
Sejak beberapa hari lalu, Israel telah mengindikasikan akan melancarkan serangan darat ke Gaza. Sementara dalam sepekan terakhir, Israel nyaris tanpa henti melancarkan serangan udara ke Gaza.
Direktur Eksekutif Jewish Voice for Peace, Stephanie Fox, menyebut Israel sedang melakukan pembersihan etnis. “Hilangnya nyawa orang Israel digunakan oleh pemerintah kita untuk membenarkan tindakan genosida, berlindung atas nama moralitas untuk melakukan tindakan yang tidak bermoral, yang menginginkan lebih banyak senjata dan lebih banyak kematian,” kata pemimpin organisasi yang berpusat di California, Amerika Serikat itu, tulisnya di Boston Review
Nakba
Jurnalis Israel, Gideon Levy, menyebut tindakan Israel ini tidak berperikemanusiaan. “Israel mengancam akan melakukan kejahatan perang yang belum pernah kita lihat sejak Nakba tahun 1948,” ujarnya.
Ia merujuk pada serangan milisi Israel terhadap ratusan desa Palestina pada 1948. Mereka membunuhi dan menyerang siapa pun yang bukan Yahudi. Akibatnya, jutaan muslim dan kristiani Palestina mengungsi sampai sekarang di berbagai negara.
Baca juga ”Nakba Kedua” di Jalur Gaza
Serangan militer Israel (IDF) ke Gaza disebut sah. IDF berusaha menghancurkan Hamas. Untuk itu, Gaza harus dihancurkan. Sebab, Gaza dipandang sebagai benteng Hamas. “Ini (Gaza) bukan kota biasa. Ini adalah kota militer dan ada ribuan target militer yang sah (untuk diserang) di lingkungan kota tersebut,” kata mantan pengacara IDF, Avichai Mandelblit, sebagaimana dikutip The Economist.
Hukuman kolektif
Sementara Menteri Luar Negeri China Wang Yi menyebut, serangan Israel bukan lagi untuk pertahanan. Tel Aviv perlu mendengar seruan internasional dan tidak mengenakan hukuman kolektif kepada 2,3 juta warga Gaza.
Bentuk hukuman itu antara lain blokade total Gaza. Israel sama sekali melarang pasokan air, listrik, bahan bakar, makanan, dan obat-obatan ke Gaza. Hukuman itu, menurut Menteri Pertahanan Israel Yoav Gallant, pantas bagi hewan di Gaza. Secara terbuka dalam pidato yang disiarkan berbagai televisi, ia memang menyebut penghuni Gaza sebagai hewan.
Tidak cukup sampai di situ, Israel meminta Gaza Utara dikosongkan. Sebab, wilayah itu sudah ditetapkan sebagai sasaran serangan. Ultimatum dari militer Israel membuat 1,1 juta warga Gaza yang tinggal di utara, mulai bergerak ke selatan, wilayah yang dijanjikan sebagai “zona aman” oleh Israel.
Masalahnya, dengan tambahan sekitar 1 juta pendatang ke selatan, menjadikan wilayah selatan Gaza menjadi tambah sesak. Dengan 2,2 juta jiwa di dalam wilayah seluas 362,5 kilometer persegi dan terbagi dua, utara dan selatan, Gaza sudah sesak.
Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa Josep Borrel menyebut, amat mustahil mengungsikan sebanyak itu dalam waktu singkat. "Anda tidak bisa memindahkan orang sebanyak itu dalam waktu singkat, terutama karena tidak ada penampungan dan angkutan," kata dia.
Koordinator Bantuan Darurat Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) Martin Griffiths menyebut, bergerak di medan pertempuran dalam waktu sempit butuh jaminan keamanan. Tanpa itu, pengungsi akan kesulitan.
Baca juga: Eksodus Warga Palestina di Gaza, Berpacu dengan Serangan Darat Israel
Tragedi di Gaza Tengah pada Jumat (14/10/2023) adalah bukti kesulitan itu. BBC, The Guardian, dan The Washington Post telah memverifikasi video yang direkam di Jalan Salahuddin, Gaza itu.
Dalam video itu, iringan pengungsi dari Gaza Utara ke Gaza Selatan jadi sasaran serangan udara. Akibatnya, 70 orang tewas dan ratusan lainnya luka. BBC menolak menyiarkan ulang rekaman itu karena dinilai terlalu kejam. “Ini adalah adegan pembantaian total,” tulis BBC.
Selama bertahun-tahun, serangan udara ke Gaza hanya dilakukan Israel. Sepanjang pekan lalu, IDF mengaku melepaskan 6.000 bom ke Gaza. Menurut Human Rights Watch dan Amnesty International, Israel juga menggunakan fosfor putih untuk menyerang Gaza. Bahan itu terlarang dipakai untuk menyerang manusia.
Ironisnya, tidak ada kecaman dari negara-negara Barat atas penggunaan bahan terlarang itu. Barat juga bungkam atas kekejaman Israel sejak lama. Fokus kecaman Barat hanya kepada Hamas.
Tanpa kemanusiaan
Kesulitan akibat blokade Israel bukan hanya dirasakan warga Palestina. Indonesia tengah berusaha mengevakuasi 10 WNI dari Gaza.
Sementara Menteri Pertama Skotlandia Humza Yousaf malah seperti terpaksa berpisah dari mertuanya, Maged dan Elizabeth El-Nakba. El-Nakba berada di Gaza sebelum Hamas menyerbu Israel. Di sana, Elizabeth yang pensiunan perawat Skotlandia itu menjenguk cucunya yang sedang sakit. Sayangnya, lawatan itu menjadi kegetiran karena Israel meningkatkan serangan ke Gaza.
Baca juga: Krisis Gaza dan Kecemasan Bangsa Arab Akan Terulangnya Tragedi ”Nakba” 1948
“Di manakah letak kemanusiaan? Di manakah hati orang-orang di dunia yang membiarkan hal ini terjadi di zaman sekarang ini? Semoga Tuhan membantu kita semua. Selamat tinggal,” ujarnya dalam rekaman yang diunggah Yousaf ke media sosial.
Deanna Othman, warga Amerika Serikat berdarah Palestina juga mengalami hal serupa dengan Yousaf dan keluarganya. Melalui media sosial, dia mengikuti dengan cermat setiap perkembangan di Gaza, di mana sebagian keluarganya masih berada di sana. Melalui Instagram, dia menerima pesan dari keponakannya yang menyebut pesan itu mungkin adalah pesan terakhirnya.
“Bagaimana kamu membalasnya?,” kata Othman. “Bagaimana Anda bisa mengatakan sesuatu untuk menghibur seseorang yang sedang menghadapi kematiannya sendiri?”
Haifa Khamis Al-Shourafa (42), bergerak ke Deir Al-Balah bersama sekitar 150 orang dan anak-anaknya. Kini, mereka tidak memiliki apa-apa lagi setelah rumah mereka hancur ketika Israel menyerbu Gaza utara.“Yang kami miliki hanyalah anak-anak kami, dan itulah alasan kami pergi. Kami tidak ingin kehilangan mereka,” katanya.
Dalam artikel di Arab News, Direktur Dewan Kerja Sama Arab-Inggris Chris Doyle, menulis, kemanusiaan tengah berlibur. “Empati, kemampuan memahami soal kehilangan dan penderitaan orang lain, menjadi komoditas langka dan berharga,” tulisnya.
Kondisi itu terjadi karena hukum, normal internasional tidak ditegakkan. Saat berhadapan dengan Israel, hukum internasional lumpuh.
Baca juga: Warga Gaza Kian Terjepit, Tak Ada Jalan Keluar Pasca-ultimatum Israel
Israel bisa begitu karena dukungan penuh AS dan sekutunya. Tidak ada gugatan AS-Eropa pada hukuman kolektif dan kebijakan apartheid Israel terhadap Palestina. Resolusi PBB berulang kali di veto AS. “Ketika berhadapan dengan kejahatan Israel terhadap warga sipil Palestina, mereka tidak hanya berdiam diri namun juga memberikan dukungan aktif kepada Israel untuk melakukan hukuman kolektif dan pemboman terhadap warga sipil,” tulis Doyle.
Terjebak
Situasi ini menjebak jutaan warga Palestina. Negara tetangga sampai saat ini tidak mau membuka pintu gerbang perbatasannya. Satu-satunya pintu perbatasan di selatan yang bisa menyelamatkan para pengungsi Gaza dan Palestina adalah pintu perbatasan di Rafah, perbatasan Palestina dengan Mesir.
Mesir hingga saat ini menjadi tuan rumah jutaan pengungsi dari berbagai negara tetangga yang terlibat konflik, termasuk Palestina. Tahun 1991, Mesir bersedia menampung jutaan pengungsi setelah AS memberikan kompensasi penghapusan utang senilai 10 miliar dolar AS. Mengutip The Economist, hal itu tak semata karena penghapusan utang, tapi juga bantuan Mesir mendukung AS dan sekutu dalam Perang Irak.
Kini, pintu ke Mesir tertutup rapat. Sabtu (14/10/2023), sempat beredar kabar Mesir akan membuka gerbang Rafah dan membiarkan para pengungsi Palestina masuk ke wilayahnya. Akan tetapi, mengutip laman CNN, hal itu tidak benar.
Presiden Mesir Abdelfattah el-Sisi mengatakan, mereka bersimpati terhadap penderitaan warga Gaza dan Palestina. Akan tetapi, mereka tidak akan membuka pintu gerbang perbatasannya dengan Palestina di Rafah. Ia menambahkan, Mesir sudah menampung 9 juta migran dari berbagai negara.
“Tentu saja kami bersimpati. Tapi hati-hati, meski kita bersimpati, kita harus selalu menggunakan pikiran kita untuk mencapai perdamaian dan keamanan dengan cara yang tidak memakan banyak biaya,” katanya.
Baca juga: HRW: Israel Pakai Senjata Terlarang
Kolumnis Al Jazeera, Marwan Bishwara, menulis, bagi Barat, hanya Israel punya hak dan kewajiban membela warganya. Sementara Palestina tidak punya kewajiban dan hak itu.
“Rakyat Palestina tidak mempunyai hak untuk melindungi diri mereka sendiri seolah-olah mereka adalah umat dari Tuhan yang lebih rendah! Israel tampaknya juga mempunyai hak untuk mempertahankan dan bahkan memperluas pendudukan dan rezim apartheidnya, namun Palestina tidak mempunyai hak untuk mengungkapkan rasa frustrasi atau perjuangan mereka demi kebebasan dan keadilan setelah tujuh dekade perampasan, penindasan dan pengepungan,” tulis Bishwara. (AFP/REUTERS)