Warga Gaza Kian Terjepit, Tak Ada Jalan Keluar Pasca-ultimatum Israel
Israel mengultimatum, dalam tempo 24 jam warga Gaza harus keluar dari kota itu. Namun Hamas mendesak warga untuk tinggal. Sebagian warga bergerak ke Rafah.
Oleh
LUKI AULIA
·4 menit baca
KOTA GAZA, JUMAT – Rakyat Palestina, khususnya mereka yang tinggal di Gaza, kian tersudut. Perang yang berkecamuk antara Hamas dan Israel membuat mereka tidak memiliki banyak pilihan selain mengungsi. Dalam situasi tersebut, Jumat (13/10/2023) pagi, militer Israel mengeluarkan ultimatum.
Ultimatum berisi desakan agar 1,1 juta warga Palestina di Gaza (yang berada di utara) segera bergerak ke wilayah selatan. Alasannya, Israel hendak menyerang infrastruktur militer Hamas yang sebagian besar terkubur jauh di bawah tanah.
Juru bicara militer Israel, Letnan Kolonel Jonathan Conricus, mengatakan, militer akan menggunakan kekuatan besar sambil menghindari korban warga sipil.
Dia menjanjikan warga Gaza akan diperbolehkan kembali ketika perang telah usai. Israel sejak lama menuding Hamas menggunakan warga sipil sebagai tameng manusia. Jika mencegah warga untuk mengungsi, Hamas harus bertanggung jawab.
”Kami berusaha menyediakan waktu dan kami memahami ini tidak akan bisa dalam 24 jam. Saya tak bisa mengonfirmasi batas waktu 24 jam itu,” kata Laksamana Muda Daniel Hagari, perwira tinggi Israel.
Ultimatum Israel dianggap sebagai sinyal rencana serangan darat Israel. Belum ada kepastian kapan serangan akan dilakukan, tetapi Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu sudah sesumbar akan menghancurkan Hamas. Tank-tank Israel sudah berkumpul di dekat perbatasan.
Di sisi lain, tak mau menuruti ultimatum Israel, Hamas meminta warga Palestina tetap tinggal di rumah mereka. Menurut Hamas, Israel hanya berusaha menciptakan kebingungan di antara warga Palestina dan merusak persatuan. Hamas meminta warga Palestina mengabaikan perang psikologis Israel.
Ultimatum Israel memicu kepanikan karena kabarnya warga hanya diberi waktu 24 jam. Situasi yang dihadapi warga kian rumit. Di satu sisi, Israel terus menggempur Jalur Gaza yang kemudian dibalas Hamas dengan 150 roket.
Di sisi lain, rakyat Gaza tak bisa pergi ke mana-mana karena Israel sudah memblokade wilayah itu dan menutup semua pintu, kecuali pintu antara Jalur Gaza dan Mesir. Namun, Mesir belum bersedia membuka jalur kemanusiaan bagi para pengungsi yang mau berlindung ke negara itu. Sampai sekarang Mesir masih berdiskusi dengan Amerika Serikat, Qatar, dan Turki untuk memberikan bantuan kemanusiaan melalui pintu penyeberangan Rafah.
Kamis lalu, Presiden Mesir Abdel Fatah el-Sisi, yang dikutip Ahram Online, mengatakan, rakyat Palestina di Jalur Gaza harus tetap teguh dan bertahan di tanah mereka. Dia memperingatkan akan upaya membuyarkan perjuangan Palestina. Mesir bersimpati kepada Gaza, tetapi akan menangani masalah ini secara rasional demi tercapainya perdamaian.
”Kami tak mau menimbulkan masalah bagi siapa pun. Kami sudah menampung sembilan juta tamu dari berbagai negara yang datang ke Mesir untuk alasan keamanan, keselamatan, dan perdamaian. Namun, masalahnya berbeda di Gaza karena ada risiko membuyarkan perjuangan Palestina meraih kemerdekaan,” ujarnya. El-Sisi mendorong kedua belah pihak kembali berunding.
Bencana
Perserikatan Bangsa-Bangsa melihat situasi terkini di Gaza sebagai bencana. Juru bicara PBB Stephane Dujarric tegas meminta agar ultimatum dibatalkan untuk menghindari malapetaka. Hal senada diungkapkan tim medis di Gaza. ”Tak mungkin bisa memindahkan begitu banyak orang, terutama mereka yang menjadi korban dan ada di rumah sakit, dalam waktu cepat,” kata Farsakh dari Bulan Sabit Merah Palestina.
Presiden Palestina Mahmoud Abbas kepada Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken di Amman mengatakan menolak pemindahan paksa warga Palestina di Gaza. Kantor berita resmi Palestina, WAFA, menyebutkan pemindahan paksa itu akan menjadi ”Nakba kedua”, mengacu pada eksodus massal warga Palestina dalam perang tahun 1948. Dia menegaskan, jalur kemanusiaan harus segera diizinkan untuk mencegah bencana kemanusiaan.
Indonesia
Sebagian warga Indonesia di Gaza telah dievakuasi keluar dari Palestina. Evakuasi dilakukan secara bertahap sesuai kondisi lapangan.
Pada Jumat (13/10), Kedutaan Besar RI di Amman, Jordania, mengevakuasi 4 WNI dari Tel Aviv. Mereka akan dibawa ke Jordania.
”Saat ini mereka sudah berada di Jordania,” kata Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia, Kementerian Luar Negeri RI, Judha Nugraha.
Soal evakuasi dari Gaza, ia membenarkan upaya itu paling sulit. Penyebabnya, Israel masih mengepung, membombardir, dan memutus akses air, listrik, serta makanan ke sana. Berdasarkan data 12 Oktober 2023, total 143 WNI tinggal di Israel- Palestina. Selain itu, ada 35 WNI tengah melancong ke Israel-Palestina. Para pelancong dijadwalkan keluar dari Israel-Palestina pada Sabtu ini.
Dari 143 WNI itu, 10 berada di Gaza dan menjadi fokus upaya evakuasi. Dari 133 WNI di Israel dan Tepi Barat, hanya empat orang menyatakan mau dievakuasi pemerintah.
”Tugas negara memfasilitasi, tetapi harus dengan consent (persetujuan). Negara tidak bisa memaksa. Tugas kami adalah memberikan informasi dari sisi keamanan,” ujar Judha.