Perang Israel-Hamas, dan Krisis Sandera di Gaza
Tak ada yang bisa menebak bagaimana krisis sandera ini akan berakhir. Yang pasti, darah orang-orang tidak bersalah akan tumpah, yaitu warga Israel, Palestina, dan warga negara asing yang tak terlibat konflik.
Gaza adalah enklaf kecil yang luasnya hanya sedikit lebih besar dari Kota Surabaya. Saat ini, wilayah kecil itu tengah dikepung total oleh tentara Israel. Namun, menemukan ratusan tawanan yang disandera Kelompok Hamas di sana bukan hal mudah. Apalagi menyelamatkan mereka. Saat ini, Israel tengah mengalami krisis tawanan paling rumit sepanjang sejarah mereka.
Gaza memiliki panjang sekitar 25 mil atau 33,7 kilometer dan lebar tidak lebih dari 7 mil atau 11,2 kilometer. Luasnya hanya sekitar 377,4 kilometer persegi. Saat ini, pasokan listrik, air, maupun bahan makanan ke kota yang dikepung tentara Israel itu terhenti.
Ratusan tawanan - sebagian besar warga Israel yang ditangkap Kelompok Hamas dalam penyerbuan yang disebut Badai Al-Aqsa pada Sabtu pekan lalu - diduga ada di kota tersebut. Hingga hari kelima sejak serangan itu, Kamis (12/10/2023), jumlah tawanan dan nama-nama mereka belum jelas. Diduga jumlah tawanan itu 150 orang atau lebih. Beberapa negara seperti Amerika Serikat (AS), Perancis, Jerman, Thailand dan Kanada pun menduga beberapa warga negara mereka juga turut ditawan.
Sejauh ini, upaya mediasi dari Mesir, Turki, dan Qatar belum menunjukkan kemajuan signifikan. Jumlah dan identitas tawanan belum jelas. Beberapa ratus orang yang masih belum ditemukan dan identifikasi jenazah yang masih berlangsung membuat pihak berwenang Israel hanya memiliki perkiraan jumlah yang hilang dan ditahan di Jalur Gaza.
Lanskap Gaza yang padat penduduk dengan jaringan terowongan bawah tanah serta besarnya jumlah tawanan dalam serangan ini membuat Israel menghadapi krisis sandera yang paling rumit yang pernah dihadapi oleh negara ini.
Baca juga : Di Gaza City Kudengar Lagu Itu
Bombardir serangan Israel menyusul serangan mematikan Hamas membuat misi penyelamatan yang sejak awal sudah sulit, menjadi semakin sulit, semakin berbahaya, dan semakin tak terbayangkan.
"Situasinya belum pernah terjadi sebelumnya. Saya pikir Hamas terkejut dengan mudahnya mereka dapat menyandera. Israel benar-benar bingung dengan segala yang terjadi" kata Peneliti Sosial Israel, Gershon Baskin, yang membantu dalam negosiasi pembebasan Kopral (Staff Sergeant) Gilad Schalit.
Kopral Shalit adalah tentara Israel yang ditahan Hamas pada tahun 2011 selama sekitar lima tahun dan dibebaskan dengan menukar 1.000 tawanan Palestina dari tahanan Israel. Gambaran seramnya para sandera yang ditawan Hamas telah meresap dalam kesadaran kolektif Israel.
Korban penculikan
Gambaran yang paling membekas boleh jadi video seorang perempuan muda yang panik diseret sepeda motor sementara pacarnya berjalan kaki dalam tawanan menyeberangi perbatasan. Sembari diseret, sang gadis berteriak. “Jangan bunuh aku, jangan bunuh aku,” kata gadis yang diduga bernama Argamani (26) itu dalam video yang beredar.
Argamani, mahasiswa di Universitas Ben-Gurion, Israel dan pasangannya Avinathan Or, diyakini diculik dari festival musik padang gurun, Supernova, yang digelar dekat perbatasan Gaza. Menurut pejabat Israel setempat, setidaknya 270 pengunjung festival musik itu tewas ditembak gerilyawan Hamas.
Foto seorang ibu muda memeluk dua anak kecil dengan raut muka ketakutan, dan tengah dibungkus selimut ada dalam foto kelompok yang ditawan, menyebar dan menyentuh hati orang yang melihatnya. Hingga saat ini, banyak warga Israel dan warga negara lain yang kerabatnya diduga diculik, kehilangan kontak dengan mereka.
Eli Elbag telah mencoba selama 12 jam untuk menghubungi putrinya Liri (18) yang menjadi penjaga perbatasan Gaza. Ia memperoleh video yang menunjukkan Liri duduk di kursi belakang truk militer Israel yang dikuasai oleh anggota Hamas. Ia duduk di samping dua sandera lain. Wajah salah satu sandera itu berlumuran darah.
Saat Israel menggempur Gaza, Elbag dan istrinya menonton televisi, mencari tanda-tanda keberadaan putrinya. Dia memahami operasi Israel tetapi tetap mengkhawatirkan nasib putrinya yang baru beranjak dewasa. "Dia bukan siapa-siapa, hanya seorang Elbag. Tidak ada yang bisa memahami apa yang kami rasakan," katanya.
Baca juga : Warga Jalur Gaza Terpenjara di Neraka Dunia
Pada Rabu (11/10/2023) Kelompok Hamas mengklaim telah membebaskan seorang perempuan dan dua anaknya. Ketiganya disebut ditahan selama pertempuran dengan pasukan Israel. Pihak Israel tengah memeriksa kebenaran klaim itu.
"Seorang penduduk pemukiman Israel dan dua anaknya dibebaskan setelah mereka ditahan selama pertempuran," demikian pernyataan Brigade Ezzedine al-Qassem, sayap bersenjata Hamas.
Video yang ditayangkan oleh jaringan televisi Hamas Al-Aqsa menunjukkan seorang wanita yang mengenakan kemeja biru bersama dua anak sementara tiga anggota Hamas terlihat menjauh. Lokasi terindikasi berada di area antara Israel dan Jalur Gaza.
Video yang tampaknya diambil siang hari itu tak menunjukkan personel militer yang menerima ketiganya. Namun, sejauh ini saluran televisi Israel menolak klaim Hamas.
Saluran tersebut mengidentifikasi wanita tersebut sebagai Avital Aladjem, seorang penduduk pemukiman Kibbutz Holit. Ia mengatakan bahwa dia dibawa paksa oleh gerilyawan Hamas bersama dua anak tetangganya ke daerah perbatasan antara Israel dan Jalur Gaza.
Warga asing
Perdana Menteri Perancis, Elisabeth Borne, mengatakan bahwa beberapa anak kecil warga negara Perancis hilang dan kemungkinan menjadi sandera yang ditahan di Gaza. Borne mengungkapkan keprihatinan atas warga Perancis yang menjadi korban dan diculik.
Dia mengatakan bahwa 10 warga Perancis telah dikonfirmasi tewas dalam serangan tersebut. Sementara 18 orang, termasuk anak-anak, masih belum ditemukan.
Kementerian Luar Negeri Thailand merilis setidaknya 21 warga Thailand tewas dan 14 lainnya ditawan dalam serangan Hamas pada Sabtu pekan lalu. Salah satunya Owat Suriyasri (40) yang pindah ke Israel pada tahun 2021 untuk mendapatkan penghasilan yang lebih baik.
Banyak warga Thailand bekerja di Israel di sektor pertanian. Bapak dua anak itu berharap dapat membangun rumah yang lebih baik untuk istrinya dan dua anaknya di Thailand.
Pada Selasa, Presiden AS Joe Biden mengkonfirmasi, ada warga AS menjadi korban penculikan. Washington telah menawarkan berbagi keahlian dalam pemulihan sandera dengan Israel. Gedung Putih meyakini, dari 17 warga AS yang belum ada kabar, jumlah warga yang ditawan kurang dari 10 orang. “Tetapi jumlah ini bisa berubah lagi,” kata Juru Bicara Dewan Keamanan Nasional AS John Kirby.
Barter tak imbang
Hamas telah menuntut pembebasan semua tahanan yang ditahan di penjara Israel sebagai imbalan pembebasan para sandera. Menurut pihak Palestina, jumlahnya 5.200 orang. Hamas juga telah mengancam akan membunuh seorang sandera setiap kali militer Israel membombardir target sipil di Gaza tanpa peringatan.
Kelompok ini juga menahan jenazah dua tentara Israel yang tewas dalam perang Israel-Hamas tahun 2014, serta dua warga sipil Israel yang memasuki wilayah mereka beberapa tahun lalu.
Dari kejadian di masa lalu, Hamas biasanya memperlakukan sandera sebagai aset berharga untuk ditukar dengan tahanan Palestina. Mereka biasanya tidak mengungkapkan banyak informasi tentang kondisi atau keberadaan para tawanan tersebut. Hamas biasanya juga menolak memberikan akses kepada Komite Internasional Palang Merah untuk memeriksa kondisi tawanan.
"Ini adalah tantangan penyelamatan sandera dalam skala yang belum pernah dihadapi sebelumnya," tulis Hoffman.
Seorang anggota senior di Dewan Hubungan Luar Negeri AS Bruce Hoffman mengatakan, beberapa sandera mempunyai kewarganegaraan ganda. Hal ini akan semakin mempersulit upaya Israel untuk membebaskan tawanan.
Para sandera itu kemungkinan telah tersebar di seluruh Gaza. Tempat persembunyian itu kemungkinan akan dipenuhi jebakan. "Ini adalah tantangan penyelamatan sandera dalam skala yang belum pernah dihadapi sebelumnya," tulis Hoffman dalam laporannya.
Menurut Hoffman, tak ada yang bisa menebak bagaimana krisis sandera ini akan berakhir. Tetapi satu hal yang pasti, darah orang-orang tidak bersalah akan tumpah, yaitu warga Israel, Palestina, dan bahkan warga negara yang tak terlibat konflik itu.
Secara historis, Israel bersedia melakukan pertukaran besar untuk kebebasan prajurit mereka yang ditawan Hamas. Bahkan, Israel bersedia menukar tawanan untuk jenazah prajurit mereka yang ditawan Hamas. Sejarah pertukaran tahanan ini di antaranya mencakup pertukaran Kopral Schalit dengan lebih dari 1.000 tahanan Palestina, termasuk pemimpin Hamas saat ini di Gaza, Yehia Sinwar.
Di sisi lain, nasib para tahanan juga memicu emosi di pihak Palestina. Sebagian besar warga Palestina pernah berada di penjara Israel atau mengenal seseorang yang pernah berada di penjara itu. Saat ini, belum jelas apakah keselamatan para sandera menjadi pertimbangan utama saat militer Israel memperkuat serangan ke Gaza.
Beberapa pejabat Israel justru menegaskan, mereka akan menggempur Hamas dengan keras tanpa mempertimbangkan nasib para tawanan. Salah satunya Menteri Keuangan Israel, Bezalel Smotrich. Nasib pilu tawanan yang sebagian besar tak bersalah itu belum menyentuh hati mereka. (AFP/AP/REUTERS)