Krisis Gaza dan Kecemasan Bangsa Arab Akan Terulangnya Tragedi ”Nakba” 1948
Memori peristiwa kelam 75 tahun silam, saat warga Palestina terusir dari kampung halaman, kembali membayangi warga Palestina dan pemimpin Arab di tengah krisis di Jalur Gaza saat ini.
Langkah Israel mengultimatum warga sipil di Jalur Gaza utara untuk mengungsi secara massal ke wilayah selatan enklave itu mengundang kecaman banyak kalangan, terutama dari negara-negara Arab. Ada kecurigaan, berbaur dengan kecemasan, tindakan Israel tersebut bakal mengulang tragedi ”Nakba” atau ”Nakbah” tahun 1948.
Tragedi Nakbah merujuk pada peristiwa eksodus besar-besaran warga Palestina dari tempat tinggal mereka di tengah konflik Arab-Israel, bersamaan berdirinya Negara Israel tahun 1948. Kala itu, sekitar 700.000 warga Palestina—separuh dari populasi Arab di wilayah Palestina di bawah mandat Inggris—terusir dari kampung halaman mereka.
Mereka tercerai-berai ke negara-negara Arab tetangga sebagai pengungsi. Sebagian dari mereka dan keturunan mereka saat ini masih berstatus pengungsi. Mereka tinggal di kamp-kamp pengungsi negara-negara Arab hingga hari ini.
Dalam percakapan via telepon dengan Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau, Jumat (13/10/2023), seperti dikutip kantor berita WAFA, Presiden Palestina Mahmoud Abbas menegaskan penolakannya terhadap langkah Israel mengultimatum warga Palestina agar meninggalkan Gaza utara. ”Sebab, hal itu akan menjadi Nakba berikutnya bagi rakyat Palestina,” kata Abbas.
Baca juga: Warga Gaza Terjepit, Tak Ada Jalan Keluar Pasca-ultimatum Israel
Pada Jumat pagi, militer Israel mengultimatum warga sipil di kota Gaza, tempat tinggal bagi lebih dari 1 juta jiwa, agar mengungsi ke wilayah selatan Jalur Gaza dalam waktu 24 jam. Sebelum ultimatum itu keluar, akibat bombardir berhari-hari serangan udara Israel untuk membalas serangan Hamas ke wilayah selatan Israel, Sabtu (7/10/2023), ratusan ribu warga Gaza sudah mengungsi dari tempat tinggal mereka.
Kecaman terhadap ultimatum Israel datang berbagai pihak. ”Warga sipil harus dilindungi. Kami tidak ingin ada eksodus massal warga Gaza,” ujar Stephane Dujarric, juru bicara PBB.
Suara lebih kencang dilontarkan Presiden Mesir Abdel Fattah el-Sisi dan Raja Jordania Abdullah II. Mesir adalah satu-satunya negara Arab yang berbatasan langsung dengan Gaza. Adapun Jordania berbatasan langsung wilayah Tepi Barat, yang diduduki Israel.
”Inilah akar dari semua masalah, masalah bagi seluruh bangsa Arab,” tegas Presiden Sisi, Kamis (12/10/2023). ”Penting bagi rakyat (Palestina) untuk tetap tegar dan bertahan di tanah mereka.”
Di mata Sisi, jika sampai terjadi gelombang eksodus massal warga Palestina dari Gaza, apalagi jika kemudian wilayah itu kembali diduduki Israel, hal ini semakin mempertipis peluang berdirinya negara Palestina di masa depan. Sudah lama rakyat Palestina mengidamkan negara merdeka di atas wilayah garis perbatasan tahun 1967—termasuk Jalur Gaza—dengan ibu kota Jerusalem Timur.
Inilah akar dari semua masalah, masalah bagi seluruh bangsa Arab. (Abdel Fattah el-Sisi)
Pernyataan Raja Abdullah II dari Jordania tak kalah kerasnya. Ia ”menolak setiap upaya paksa bagi rakyat Palestina untuk meninggalkan seluruh teritorial Palestina atau upaya yang memicu perpindahan mereka, sambil menyerukan perlunya langkah-langkah pencegahan agar krisis tidak merembes ke negara-negara tetangga dan memperburuk masalah pengungsi”.
Sekretaris Liga Arab Ahmed Aboul Gheit pun mendesak Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres untuk mengecam keras ”upaya gila Israel untuk menggusur populasi”.
Baca juga: Israel Ultimatum Warga untuk Keluar dari Kota Gaza, Serangan Darat Kian Dekat
Arab Saudi dan Kuwait tak ketinggalan satu suara mengecam Israel. Melalui pernyataan Kementerian Luar Negerinya, Arab Saudi mengecam penggusuran warga Palestina dari Gaza dan serangan terhadap ”warga sipil yang tak terlindungi”. Riyadh ”menekankan kembali penolakan secara mutlak terhadap seruan untuk memaksa penggusuran rakyat Palestina dari Gaza, dan kecaman keras atas serangan terus-menerus yang menarget warga sipil tanpa perlindungan”.
Pernyataan tersebut dirilis bersamaan dengan kedatangan Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken di Riyadh sebagai bagian dari tur lawatan ke enam negara Arab.
Menteri Luar Negeri Kuwait Sheikh Salem al-Sabah, melalui pernyataan tertulis, juga menyatakan penolakan terhadap ultimatum Israel pada warga di Gaza. Kuwait City juga menolak eskalasi terus-menerus dan penghancuran secara random yang masuk dalam pelanggaran hukum internasional dan hukum humaniter.
Universitas Al-Azhar, lembaga pendidikan tinggi yang disegani di kalangan Sunni, menyuarakan hal senada. ”Lebih baik mati sebagai pahlawan dan menjadi syahid di tanah kelahiran daripada menyerah pada para perampas kolonialis,” sebut Universitas Al-Azhar yang disebarkan luas melalui media sosial di kalangan warga Palestina.
”Jika kalian meninggalkan tanah kelahiran, urusan kalian dan urusan kita akan musnah selamanya,” lanjut pernyataan tersebut.
Baca juga: Warga Jalur Gaza Terpenjara di Neraka Dunia
Isu tentang nasib pengungsi Palestina merupakan salah satu dari beberapa isu pelik dalam proses perdamaian Palestina-Israel. Palestina dan negara-negara Arab bersikukuh, perjanjian damai—jika kelak dirundingkan—harus mencakup antara lain hak kembalinya para pengungsi dan keturunan mereka ke wilayah tempat tinggal mereka dulu. Israel selalu menolak tuntutan soal isu pengungsi itu.
Mengenai ultimatum bagi warga Gaza, Duta Besar Israel untuk PBB Gilad Erdan mengatakan, peringatan evakuasi itu ”untuk memindahkan sementara (warga) ke selatan… guna memitigasi agar tidak membahayakan warga sipil”.
”PBB seharusnya berterima kasih kepada Israel atas langkah peringatan ini,” ujar Erdan kepada para diplomat PBB dalam acara yang digelar Israel.
Sekilas tentang ”Nakba”
Pada tahun 1948, lebih dari 760.000 warga Palestina dipaksa mengungsi atau menyerahkan tanah mereka yang diklaim oleh negara baru bernama Israel. Saat itu militer Israel meratakan dengan tanah lebih dari 400 kota atau desa.
Tragedi Nakba tahun 1948 bermula dari adanya tuntutan atas kebutuhan wilayah atau tanah bagi bangsa Yahudi pascagenosida Perang Dunia II yang dilakukan Nazi Jerman. Pada akhir 1947, didahului imigrasi warga Yahudi selama bertahun-tahun sebelumnya, hasil pemungutan suara di PBB (Resolusi 181) membagi wilayah Palestina menjadi dua bagian: wilayah Arab dan wilayah Yahudi.
Baca juga: Tanpa Jalur Kemanusiaan, Warga Sipil Gaza "Tinggal Tunggu Waktu"
Seperti dilansir laman Al Jazeera, Palestina menolak model pembagian tersebut. Alasannya, populasi Yahudi (sekitar 33 persen) yang kala itu hanya punya 6 persen wilayah mendapat bagian 56 persen wilayah, termasuk sebagian besar daerah-daerah subur. Sisanya untuk Palestina (populasi 67 persen) yang sebelumnya menguasai 94 persen wilayah.
Setelah keluarnya resolusi PBB tersebut, gelombang pertama eksodus warga Palestina mulai terjadi. Mereka mengungsi akibat pertempuran antara milisi-milisi Yahudi dan Palestina. Eksodus itu meningkat setelah April 1948 saat terjadi peristiwa pembunuhan lebih dari 100 warga desa Palestina di Deir Yassin, dekat Jerusalem, oleh dua kelompok paramiliter Yahudi.
Militer Israel terus mengusir warga Palestina dari wilayah-wilayah baru yang mereka kuasai, salah satunya di kota Lod dan Ramle di wilayah tengah, serta Galilee di utara. Dalam operasi paramiliter Yahudi sepanjang 1947-1949, lebih dari 500 desa, kota kecil, dan kota besar warga Palestina dihancurkan.
Peristiwa itulah yang kerap dirujuk orang Palestina sebagai ”Nakba” atau ”malapetaka”. Diperkirakan 15.000 warga Palestina tewas.
Paramiliter Yahudi menguasai 78 persen wilayah historis Palestina. Sementara 22 persen lainnya dibagi menjadi wilayah yang saat ini berupa wilayah pendudukan Tepi Barat dan Jalur Gaza. Lebih dari 760.000 warga Palestina terusir dari kampung halaman dan mengungsi.
Pada 14 Mei 1948, Israel mendeklarasikan kemerdekaannya. Negara-negara Arab menanggapi proklamasi kemerdekaan Israel itu dengan segera mendeklarasikan perang. Pada Desember 1948, PBB mengadopsi Resolusi 194 yang menegaskan hak untuk kembali bagi para pengungsi Palestina.
Pengungsi, demikian antara lain isi resolusi itu, ”yang ingin kembali ke rumah asal mereka dan hidup secara damai bersama tetangga-tetangga mereka harus diizinkan pada tanggal yang paling memungkinkan untuk segera dilakukan”. Bagi pengungsi Palestina, yang tidak mengklaim properti mereka, diberi kompensasi.
Israel menolak tegas resolusi PBB itu. Alasannya, mereka tak ingin para pengungsi Palestina kembali karena hal itu bisa membuyarkan rencana mendirikan negara Yahudi.
Baca juga: Palestina Terabaikan dalam ”Pesta” antara Dunia Arab dan Israel
Pada 1950, Israel mengadopsi Undang-Undang Properti Tak Bertuan (Absentees Property Law). Undang-undang ini menegaskan, seluruh aset warga Palestina atau warga Arab (yang mengungsi atau tinggal di luar negeri) di teritorial Israel diserahkan kepada pengawasan negara.
Israel juga berkilah, lebih dari 850.000 warga Yahudi dipaksa keluar dari negara-negara Arab setelah kemerdekaan Israel.
Menurut catatan PBB, saat ini sekitar 5,9 juta pengungsi Palestina tinggal di Tepi Barat, Jalur Gaza, Jordania, Lebanon, dan Suriah. Setelah 75 tahun eksodus massal dalam peristiwa Nakbah itu terjadi, impian para pengungsi Palestina untuk kembali tetap menyala-nyala. Mereka memperingati Nakba setiap tahun pada tanggal 15 Mei.
Sejarah berulang
Di Gaza, mayoritas populasinya adalah para pengungsi Palestina. Banyak dari mereka adalah pengungsi dari wilayah-wilayah yang sama, yang diserang kelompok Hamas, Sabtu (7/10/2023). Mereka bersikukuh mempunyai hak untuk kembali ke tanah asal. Keinginan itu ditolak mentah-mentah oleh Israel.
Saat ini, kekhawatiran membayang-bayangi warga Palestina, sama seperti yang diterawang oleh para pemimpin negara-negara Arab: sejarah seolah sedang berulang. ”Anda lihat, foto-foto orang yang tidak punya kendaraan, naik keledai, kelaparan dan berjalan tanpa alas kaki, keluar dari wilayah sebisa yang mereka lakukan untuk pergi ke selatan,” ujar Talal Awkal, analis politik yang memilih tetap bertahan di kota Gaza.
Ia memilih bertahan karena tidak yakin di wilayah selatan bakal aman. ”Ini malapetaka bagi orang Palestina. Inilah Nakba,” ujar Awkal. ”Mereka sedang menggusur seluruh populasi dari kampung halamannya.” (AP/AFP/REUTERS)