Palestina Terabaikan dalam ”Pesta” antara Dunia Arab dan Israel
Gejolak di Israel selatan berlangsung di tengah intensifnya negosiasi normalisasi Arab Saudi-Israel. Ada pesan yang ingin dikirimkan pada dunia soal nasib rakyat Palestina yang terabaikan.
Oleh
MUHAMMAD SAMSUL HADI
·5 menit baca
Di tengah perhatian dunia pada negosiasi normalisasi hubungan Arab Saudi-Israel, yang sedang berjalan dengan mediasi AS, gerilyawan Hamas melancarkan serangan masif dan kolosal ke Israel selatan, Sabtu (7/10/2023). Hingga Senin (9/10/2023) pagi, lebih dari 700 orang di Israel tewas. Di seberang perbatasan, lebih dari 400 orang di Jalur Gaza tewas.
Dalam pidatonya, Pemimpin Hamas Ismail Haniyeh menggarisbawahi ancaman terhadap Masjid Al-Aqsa, terus berlangsungnya blokade terhadap Gaza, dan upaya Israel menormalisasi hubungan dengan negara-negara di kawasan Arab. ”Seluruh kesepakatan normalisasi yang kalian (negara-negara Arab) tanda tangani dengan (Israel) tidak akan menghentikan konflik ini,” ujarnya, seperti disiarkan televisi Al Jazeera.
Ada pesan lain yang ingin disampaikan dalam serangan ini. Tidak hanya kepada Israel, pesan itu juga ditujukan kepada dunia Arab. Beberapa pejabat Palestina dan sumber di kawasan menyebutkan, serangan itu membawa pesan: Palestina tak boleh diabaikan jika Israel ingin keamanan atau negara-negara Arab ingin berangkulan dengan Israel.
”Ini pesan bagi Arab Saudi yang tengah mendekat ke Israel dan kepada Amerika (Serikat) yang mendukung normalisasi dan menyokong Israel. Tidak ada keamanan di seluruh kawasan selama Palestina ditinggal di tengah upaya titik temu itu,” ujar sumber di kawasan yang dikutip Reuters.
Serangan Hamas dilancarkan di tengah semakin intensifnya negosiasi normalisasi hubungan Arab Saudi dan Israel. Putra Mahkota Arab Saudi Pangeran Mohammed bin Salman (MBS) dalam wawancara dengan televisi Fox News, yang disiarkan pada 20 September 2023, mengatakan, ”Hari demi hari, kami (Arab Saudi) makin dekat ke normalisasi dengan Israel.”
Pejabat AS dan Israel menyebutkan, kerangka perjanjian normalisasi itu akan bisa diteken awal 2024. ”Perbedaan-perbedaan sudah bisa dijembatani. Bakal makan waktu, tetapi ada kemajuan. Di kuartal pertama 2024, empat atau lima bulan, kita akan tiba pada titik detail-detail (kesepakatan) tuntas,” kata Menlu Israel Eli Cohen, 21 September.
Gambaran kasar kesepakatan normalisasi Arab Saudi-Israel itu dibocorkan tiga sumber di kawasan kepada Reuters, akhir September lalu. Sebagai imbalan atas hubungan diplomatik dengan Israel, Riyadh mendapat jaminan keamanan AS: jika bukan dalam bentuk traktat keamanan seperti antara AS dan para sekutunya di Asia—karena ini butuh persetujuan Kongres—setidaknya mirip kesepakatan AS-Bahrain. Di Bahrain, AS menempatkan pangkalan Armada Kelima Angkatan Lautnya.
Washington juga bisa memberi gula-gula tambahan dengan menjadikan Riyadh sebagai mitra utama non-NATO, seperti dinikmati Israel. Dengan status itu, seperti Israel, Riyadh bisa menerima senjata-senjata canggih AS serta latihan angkatan udara bersama dan latihan pertahanan rudal.
Mengenai tuntutan teknologi nuklir, kata sumber Reuters, Arab Saudi mau berkompromi dengan meneken Pasal 123 UU Energi Atom AS. Kerangka kerja sama nuklir AS untuk tujuan damai. Semula Riyadh menolak menandatangani klausul itu.
Bagaimana dengan isu Palestina? ”Normalisasi ini dilakukan antara Israel dan Arab Saudi. Jika Palestina menolak, Kerajaan (Arab Saudi) jalan terus,” ujar sumber itu.
Pemerintah Arab Saudi tidak merespons atas pertanyaan via surat elektronik yang dikirim Reuters untuk meminta tanggapan atas informasi itu. Juru bicara Departemen Luar Negeri AS tak menyinggung hal-hal spesifik saat memberi tanggapannya.
”Banyak elemen utama jalan menuju normalisasi di atas meja dan ada kesepahaman luas mengenai elemen-elemen yang tidak bisa kami ungkap terbuka,” ujar juru bicara Deplu AS.
Saat wawancara dengan Fox News, Pangeran MBS menyebut tuntutan kepada Israel agar ”mempermudah hidup rakyat Palestina”. Menurut diplomat dan sumber kawasan, dalam upaya menjaga agar pintu solusi dua negara tak tertutup, ia juga meminta komitmen Israel agar memberikan sebagian wilayah yang didudukinya kepada Otoritas Palestina dan membatasi atau menghentikan pembangunan permukiman Yahudi.
Palestina ditinggal
Kepada Otoritas Palestina, yang dipimpin Presiden Mahmoud Abbas, Riyadh disebut menjanjikan bantuan keuangan. Namun, MBS tak menyebut berdirinya negara di Palestina yang dicita-citakan rakyatnya.
Terkait normalisasi itu, Abbas menyebut, semua negosiasi harus mencantumkan pengakuan atas hak Palestina untuk mendirikan negara dengan batas 1967 dan Jerusalem Timur sebagai ibu kotanya. Selain itu, pembangunan permukiman Yahudi juga harus dihentikan.
Namun, seluruh sumber menyebut rancangan kesepakatan Arab Saudi-Israel tak menyentuh isu-isu tersebut. PM Israel Benjamin Netanyahu lebih dingin menanggapi aspirasi Palestina. Palestina, kata dia, tidak boleh menghalangi setiap upaya perjanjian dengan Israel.
Dan, pada 7 Oktober ini, tepat peringatan 50 tahun Perang Yom Kippur, Hamas melancarkan serangan ke Israel.
Pengamat Timur Tengah dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, Ali Munhanif, melihat serangan itu sebagai respons atas tren negara-negara Arab berangkulan dengan Israel. Pada 2020, empat negara Arab (Uni Emirat Arab, Bahrain, Maroko, dan Sudan) menjalin relasi diplomatik dengan Israel, menyusul Mesir (1978) dan Jordania (1994).
”Hamas ingin membuka mata dunia internasional, ’Lihat, ada masalah yang belum selesai di sini (Palestina)’,” kata Ali.
Ia menilai, upaya negara-negara Arab menjalin relasi dengan Israel lebih didasarkan pada kebutuhan domestik masing-masing. Isu Palestina tidak lagi menjadi perhatian mereka.
Pengamat Timur Tengah dari Departemen Hubungan Internasional Universitas Indonesia, Broto Wardoyo, menyebut isu Palestina diangkat melalui pernyataan terkait normalisasi Arab Saudi-Israel tak lebih hanya pemanis diplomasi. ”Masyarakat Palestina tak gembira (dengan normalisasi Arab Saudi-Israel),” ujarnya, merujuk survei lembaga riset Palestina.
Broto mengatakan, rakyat Palestina merasa seakan masyarakat internasional, termasuk dunia Arab, mengabaikan kepentingan Palestina. Apakah negosiasi normalisasi Arab Saudi-Israel terpengaruh oleh serangan Hamas ini, menurut dia, hal itu tergantung pada skala balasan Israel pada Hamas.
Jika balasan Israel lebih keras, hal itu akan memantik negara-negara Arab mengeluarkan pernyataan keras pula. Namun, jika balasan itu sepadan, Broto memperkirakan negosiasi Riyadh-Tel Aviv jalan terus.
Laura Blumenfeld, analis Timur Tengah dari Johns Hopkins School for Advanced International Studies di Washington, melukiskan situasi saat ini seperti jamuan makan. ”Ketika Hamas melihat Israel dan Arab Saudi makin mendekati kesepakatan, mereka memutuskan: tak ada kursi di meja jamuan? Racuni saja makanannya,” ujarnya kepada Reuters. (AP/AFP/REUTERS)