Eksodus Warga Palestina di Gaza, Berpacu dengan Serangan Darat Israel
Eksodus massal warga Palestina di Jalur Gaza mengalir dari wilayah utara ke selatan enklave itu, berpacu dengan waktu kemungkinan serangan darat militer Israel.
KOTA GAZA, MINGGU – Eksodus massal warga Palestina mengalir dari wilayah utara Jalur Gaza ke wilayah selatan enklave itu, Sabtu (14/10/2023), berpacu dengan batas akhir ultimatum militer Israel. Mobil, truk, hingga gerobak, yang ditarik keledai dan berbagai alat transportasi penuh dengan warga dan muatan memadati jalan utama keluar dari Kota Gaza.
”Anda lihat, foto-foto orang yang tidak punya kendaraan, naik keledai, kelaparan, dan berjalan tanpa alas kaki keluar dari wilayah sebisa yang mereka lakukan untuk pergi ke selatan,” ujar Talal Awkal, analis politik di Gaza.
Ia memilih bertahan di Kota Gaza karena tidak yakin di wilayah selatan bakal aman. ”Ini malapetaka bagi orang Palestina. Inilah Nakba,” ujar Awkal.
Ia merujuk pada peristiwa eksodus besar-besaran warga Palestina dari tempat tinggal mereka di tengah konflik Arab-Israel, bersamaan berdirinya negara Israel tahun 1948. Kala itu, lebih dari 760.000 warga Palestina terusir dari kampung halaman mereka. Mereka tercerai-berai, mengungsi ke negara-negara Arab tetangga. Sebagian dari mereka dan keturunan mereka tinggal di kamp-kamp pengungsi di negara-negara Arab hingga hari ini.
Baca juga : Krisis Gaza dan Kecemasan Bangsa Arab Akan Terulangnya Tragedi ”Nakba” 1948
Eksodus warga Palestina kali ini dipicu ultimatum militer Israel, Jumat, yang memaksa mereka agar mengosongkan wilayah utara Gaza dalam waktu 24 jam. Ultimatum ini dinilai sebagai sinyal bakal ada serangan darat Israel ke Gaza, membalas serangan Hamas ke Israel selatan, sepekan lalu.
Perserikatan Bangsa-Bangsa, sejumlah pemimpin negara, serta organisasi-organisasi kemanusiaan menentang ultimatum itu dan meminta agar dibatalkan. Namun, Israel tak menggubris. ”Kami telah melihat pergerakan warga sipil Palestina ke arah selatan,” kata Letnan Kolonel Jonathan Conricus, juru bicara militer Israel, Sabtu.
Ia menambahkan, militer Israel telah menyiagakan tentara cadangan mendekati wilayah Gaza dan siap menjalankan operasi tahap berikutnya. Militer Israel mengaku telah melancarkan serbuan sementara di Gaza, antara lain untuk melacak jejak-jejak sekitar 150 orang yang disandera Hamas.
”Tentara dan batalyon IDF (Angkatan Bersenjata Israel) dikerahkan di seantero negeri dan meningkatkan kesiapan operasional untuk tahap-tahap berikutnya dalam perang, dengan penekanan pada operasi darat secara signifikan,” demikian pernyataan militer Israel. Kesiapan itu mencakup rencana serangan udara, laut, dan udara.
Militer Israel juga menyatakan, penduduk Kota Gaza tidak boleh menunda keberangkatan mereka sebelum serangan darat dimulai. Israel menetapkan dua rute aman bagi lebih dari 1 juta penduduk Gaza utara untuk bergerak ke selatan.
Baca juga : Warga Gaza Terjepit, Tak Ada Jalan Keluar Pasca-ultimatum Israel
Jubir militer Israel lainnya, Richard Hecht, menyebut, para pengungsi diberi ”jendela waktu” aman untuk mengungsi, mulai dari pukul 10.00-16.00 waktu setempat, Sabtu. Sejak Jumat pagi, warga Gaza utara menerima pemberitahuan melalui selebaran agar mereka segera pergi mengungsi wilayah selatan dalam waktu 24 jam.
Perjalanan di tengah ”hujan bom”
Kementerian Kesehatan Gaza menyatakan, tidak mungkin mengangkut para pasien luka-luka dari rumah sakit-rumah sakit di wilayah utara. Organisasi Dokter Lintas Batas mengungkapkan, para pasien dan personel dari Rumah Sakit Al Awda di ujung utara Gaza menghabiskan sebagian malam di perjalanan ”dengan bom-bom berjatuhan dari jarak dekat”.
Dengan hujan bom serangan udara Israel yang tak berhenti, perjalanan eksodus itu tidak mudah. Banyak ruas jalan hancur dibom. Keterbatasan bahan bakar—salah satu dampak blokade total yang diterapkan Israel—menghantui perjalanan mereka.
Ribuan orang menyesaki sekolah PBB yang dijadikan tempat pengungsian di Deir al-Balah, selatan zona evakuasi. Banyak orang tidur di lapangan terbuka tanpa alas. ”Saya datang ke sini bersama anak-anak. Kami tidur di atas tanah. Kami tidak punya alas atau pakaian,” ujar Howeida al-Zaaneen (63), warga dari Beit Hanoun, Gaza utara.
Keluarga-keluarga di Gaza menghadapi dilema yang sangat sulit dalam memutuskan apakah akan pergi atau tetap tinggal karena tidak ada tempat yang aman di mana pun. Serangan Israel telah meratakan seluruh blok kota. Akses makanan, air, listrik, dan medis ke wilayah ini telah diblokade total.
Baca juga : Israel Ultimatum Warga untuk Keluar dari Kota Gaza, Serangan Darat Kian Dekat
”Kami kehilangan segalanya. Rumah, harta benda kami, segalanya. Yang kami miliki hanyalah anak-anak kami, dan itulah alasan kami pergi. Kami tidak ingin kehilangan mereka,” kata Haifa Khamis al-Shourafa (42), yang mengungsi setelah apartemennya di lingkungan kelas atas Kota Gaza dihancurkan serangan udara Israel awal pekan ini.
Digempur saat mengungsi
Sebuah laporan menyebutkan serangan udara menghantam beberapa kendaraan berisi warga Palestina yang mengungsi ke selatan. Sebanyak 70 pengungsi tewas akibat serangan ini. Dua saksi mata melaporkan serangan itu dekat Deir el-Balah, selatan zona evakuasi dan wilayah yang disarankan oleh militer Israel untuk dituju warga sipil Palestina.
Fayza Hamoudi, salah satu saksi mata, menuturkan bahwa dia dan keluarganya sedang berkendara menuju ke Deir el-Balah dari rumah mereka di Gaza utara ketika serangan terjadi pada kendaraan yang tidak jauh di depan mereka. Dua kendaraan terbakar akibat serangan itu. Seorang saksi dari mobil lain di jalan memberikan keterangan serupa.
Tidak ada komentar dari Israel soal insiden tersebut.
Menteri Luar Negeri Jordania Ayman Safadi mengatakan, ultimatum Israel yang mendorong eksodus massal warga Palestina ini telah mendorong wilayah itu ke jurang konflik lebih luas. Ia menyebut situasi di Palestina saat ini adalah bentuk kegagalan dunia internasional untuk melindungi warga tak berdosa.
Baca juga : Warga Jalur Gaza Terpenjara di Neraka Dunia
”Kegagalan komunitas internasional menghentikan perang adalah kegagalan melindungi warga sipil tak berdosa yang tidak bisa mendapatkan tempat berlindung atau makanan. Kebisuan atas tragedi yang terjadi para rakyat Palestina di Gaza adalah sama dengan kebisuan dunia internasional terhadap perampasan hak hidup rakyat Gaza dan perlindungan terhadapnya,” kata Safadi, seperti dikutip laman Al Jazeera.
Kegagalan komunitas internasional menghentikan perang adalah kegagalan melindungi warga sipil tak berdosa yang tidak bisa mendapatkan tempat berlindung atau makanan. (Ayman Safadi)
Dia menyatakan, hak-hak warga sipil Palestina tidak berbeda dengan hak sipil warga di belahan dunia manapun. ”Pernyataan perang oleh Israel yang bertujuan untuk melenyapkan Hamas telah membuat rakyat Palestina yang tidak berdosa menjadi pengungsi,” Safadi
”Kami menolak pengusiran warga Palestina dari tanah air mereka dan memperingatkan bahwa upaya Israel untuk memaksakan hal ini akan mendorong seluruh kawasan menuju jurang kehancuran,” lanjut Safadi.
Di tengah eksodus massal warga Palestina ke wilayah selatan Gaza, Kementerian Kesehatan Gaza menyatakan, tidak mungkin mereka mengangkut pasien yang masih perlu mendapatkan perawatan. ”Kami tidak bisa mengevakuasi rumah sakit dan membiarkan korban luka dan sakit meninggal,” kata Ashraf al-Qidra, jubir Kementerian Kesehatan Gaza.
Badan Bantuan Sosial dan Pekerja PBB (UNRWA), yang mengurusi masalah pengungsi Palestina, mengatakan bahwa pihaknya tidak akan mengosongkan sekolah-sekolah, tempat ratusan ribu orang mengungsi. Menurut jubir UNRWA, Juliette Touma, pihaknya merelokasi kantor pusat UNRWA ke Gaza selatan.
”Skala dan kecepatan krisis kemanusiaan yang terjadi sangat mengerikan. Gaza dengan cepat menjadi neraka dan berada di ambang kehancuran,” kata Philippe Lazzarini, Komisioner Jenderal UNRWA.
Kabar terakhir dari seorang pejabat Pemerintah Mesir menyebut, penyeberangan Rafah selatan akan dibuka untuk memungkinkan warga Palestina ke luar dari Gaza, mulai Sabtu malam.
Penangguhan negosiasi
Situasi yang memburuk di Palestina membuat Pemerintah Arab Saudi memutuskan menangguhkan perundingan normalisasi hubungan diplomatiknya dengan Israel. ”Arab Saudi telah memutuskan untuk menghentikan diskusi mengenai kemungkinan normalisasi dan telah memberi tahu para pejabat AS,” kata sumber yang mengetahui diskusi tersebut kepada AFP.
Berita itu muncul ketika Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken hendak bertemu dengan timpalannya dari Arab Saudi, Sabtu waktu setempat. Kunjungan ke Riyadh merupakan perhentian terakhir Blinken dalam tur ke enam negara di kawasan tersebut.
Riyadh telah menyuarakan keprihatinannya mengenai nasib warga Palestina di Jalur Gaza pascaserangan Israel. Pada hari Jumat (13/10/2023), Riyadh mengecam ultimatum Israel yang memaksa eksodus warga Palestina di Gaza.
Menteri Luar Negeri Saudi Pangeran Faisal bin Farhan mengecam jatuhnya korban sipil setelah bertemu dengan Blinken pada hari Sabtu. Dalam pernyataannya, Faisal menyatakan, warga sipil dari kedua belah pihak jadi korban dalam situasi sekarang ini.
“Prioritasnya saat ini adalah menghentikan penderitaan warga sipil lebih lanjut, dan di sini kita perlu menemukan cara untuk segera meredakan ketegangan guna segera mengembalikan perdamaian—setidaknya menghentikan penggunaan senjata—dan kemudian berupaya mengatasi masalah kemanusiaan,” katanya.
Baca juga : Palestina Terabaikan dalam ”Pesta” antara Dunia Arab dan Israel
Blinken, pada bagiannya, menyoroti upaya untuk membangun ”daerah aman” di Gaza serta pembuatan koridor kemanusiaan sehingga organisasi kemanusiaan bisa menjangkau orang-orang yang membutuhkannya.
Dalam beberapa hari terakhir, Riyadh telah memublikasikan upaya diplomatiknya ”untuk menghentikan eskalasi yang sedang berlangsung” dengan menghubungi para pemimpin di kawasan, termasuk Iran. Kamis, media pemerintah Saudi melaporkan bahwa Putra Mahkota Pangeran Mohammed bin Salman melakukan pembicaraan dengan Presiden Iran Ebrahim Raisi untuk membahas situasi di Gaza dan sekitarnya.
Baca juga : Koridor Ekonomi Baru Merayu Riyadh
”Normalisasi antara Arab Saudi dan Israel adalah inisiatif dan proyek Amerika yang disambut baik oleh Kerajaan jika AS bisa memperoleh kesepakatan untuk mengakhiri konflik antara Israel dan Palestina dengan sesuatu yang diterima oleh Palestina,” kata analis Saudi, Hesham Alghannam.
Akan tetapi, menurut dia, Israel belum benar-benar siap untuk mencapai kesepakatan yang bisa memenuhi kebutuhan minimum rakyat Palestina.
Joost Hiltermann, Direktur Timur Tengah International Crisis Group, mengatakan, normalisasi tidak mungkin akan terjadi dan diterima negara Arab mana pun selama mereka melihat apa yang terjadi di Gaza. (AP/AFP/REUTERS/SAM)