Harga Minyak Dekati 100 Dollar AS Per Barel, OPEC+ Tetap Pangkas Produksi
Harga minyak dunia bisa menembus 100 dollar AS per barel setelah OPEC+ menyatakan mempertahankan pemangkasan produksi minyak mereka.
RIYADH, KAMIS — Panel menteri negara-negara OPEC+ memutuskan, Rabu (4/10/2023), bahwa mereka akan mempertahankan strategi pemangkasan produksi minyak agar harga minyak global tetap berada pada level saat ini. Selain itu, mereka juga bersiap untuk menurunkan jumlah produksi guna menjaga harga tidak terkoreksi.
Dalam beberapa bulan terakhir, harga minyak dunia terus naik. Pekan lalu, harganya sudah mendekati 100 dollar AS per barel. Kenaikan harga minyak ini terjadi setelah Arab Saudi dan Rusia, dua produsen terbesar minyak, memangkas jutaan barel produksi mereka.
Di tengah kenaikan harga ini, muncul permintaan agar OPEC+ lebih bijak melihat kondisi perekonomian global yang cenderung melemah. OPEC+ adalah gabungan negara-negara anggota Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC), yang secara de facto di bawah komando Arab Saudi, plus negara-negara pengekspor minyak non-OPEC, termasuk Rusia.
Dalam pernyataan seusai pertemuan virtual, Rabu (4/10/2023), Komite Pemantauan Bersama Kementerian OPEC+ menegaskan kembali komitmen negara-negara anggota untuk tetap mempertahankan strategi pengurangan produksinya hingga akhir tahun 2024. Mereka juga menyatakan bahwa negara-negara anggota OPEC+ siap mengambil tindakan tambahan kapan saja, bergantung pada kondisi pasar.
Pascainvasi Rusia ke Ukraina, harga minyak melonjak tajam, sempat menyentuh angka lebih dari 120 dollar AS per barel pada Juni 2022. Harga minyak turun kembali menjadi 70 dollar AS per barel pada bulan Mei tahun 2023. Tapi, hal itu tak bertahan lama.
Baca juga: Ketika Harga Minyak Dunia dan Permintaannya Melonjak Bersamaan
Sejak bulan Juni 2023, harga minyak dunia terkerek antara 23-25 persen selama beberapa bulan terakhir dan telah mendekati 100 dollar per barel. Keputusan Arab Saudi dan Rusia untuk mengurangi pasokan minyak ke pasar hingga sekitar 1,4 juta barel per hari diperkirakan akan mendorong harga naik ke tingkat lebih tinggi.
Jelang pertemuan negara-negara OPEC+ pekan ini, harga minyak Brent naik menjadi 91,02 dollar AS per barel. Sejumlah analis memperkirakan, harga minyak akan terus naik, setidaknya hingga akhir tahun ini.
Tom Allen, analis UBS, seperti dikutip laman Financial Review, memperkirakan harga minyak Brent akan kembali naik menjadi 92 dollar AS ber barel pada kuartal keempat 2023, melonjak hingga tujuh dollar AS per barel dari perkiraan sebelumnya 85 dollar AS.
Baca juga: Harga Minyak Melonjak, Pengendalian Inflasi Semakin Rumit
”Kami memperkirakan defisit serupa akan berlanjut hingga kuartal keempat, tetapi masih ada sedikit peningkatan pada sisi pasokan dari Iran, Venezuela, dan negara-negara lain di Amerika Latin,” kata Allen.
National Australia Bank memperkirakan, harga minyak akan mencapai 94 dollar AS per barel pada akhir tahun ini, berdasarkan asumsi saat ini bahwa OPEC+ akan mempertahankan kebijakannya.
Ahli strategi komoditas pada National Australia Bank (NAB), Baden Moore, mengatakan bahwa pengendalian pasokan minyak di pasar global telah mendorong harga minyak lebih tinggi. NAB memperkirakan, harga minyak akan mencapai 94 dollar AS per barel pada akhir tahun berdasarkan asumsi saat ini bahwa OPEC+ akan mempertahankan kebijakannya.
”Harga harus secara berkelanjutan berada di atas 90 dollar AS per barel sebelum kita dapat melihat pengurangan pasokan,” kata Moore.
Permintaan terus meningkat
Data Badan Energi Internasional (IEA) September 2023 menyebut, permintaan minyak dunia terus meningkat sebesar 101,8 juta barel per hari, didorong oleh meningkatnya permintaan China dan AS. Sementara persediaan minyak global saat ini turun menjadi hanya 76,3 juta barel, level terendah dalam 13 bulan terakhir.
Pengurangan produksi yang dilakukan Rusia dan Arab Saudi, menurut IEA, menyebabkan defisit pasar. Situasi ini diperkirakan akan berlanjut hingga kuartal ke-4 tahun ini.
OPEC sendiri telah menurunkan produksi minyak hingga dua juta barel per hari. Sementara produksi negara-negara non-OPEC sebesar 1,9 juta barel per hari dinilai belum cukup untuk mengatasi defisit tersebut.
Jorge Leon, Wakil Presiden Senior Rystad Energy, mengatakan bahwa fluktuasi harga minyak global masih akan terjadi karena negara-negara OPEC+ bisa setiap saat meninjau kembali kebijakan mereka, baik untuk menahan produksi, memangkas, atau sebaliknya menaikkan produksinya hingga minyak membanjiri pasar global.
Menurut Leon, Arab Saudi sebagai salah satu negara utama penghasil minyak bisa menambah produksinya jika negara itu menilai harga minyak global saat ini telah memperburuk inflasi di negara-negara pengimpor minyak.
Baca juga: OPEC+ Menampar Amerika Serikat
”Hal yang terakhir Anda ingin lakukan adalah memicu inflasi ke tingkat lebih tinggi. Tindakan ini akan mematikan pertumbuhan ekonomi dan angka pertumbuhan menjadi lebih rendah sehingga akhirnya akan berdampak pada permintaan minyak yang juga rendah,” kata Leon. Itu tindakan yang tidak bijaksana, ucapnya.
Saat ditanya soal kekhawatiran harga minyak global bisa menyentuh 100 dollar AS per barel akan mengganggu perekonomian dunia, Sekretaris Jenderal OPEC Haitham al-Ghais menyebut, penting untuk tidak melihat segala sesuatu hanya dalam jangka waktu yang sangat singkat. Dia meyakini, permintaan akan terus meningkat hingga dua juta barel per hari. ”Kami merasa cukup optimistis,” katanya, seperti dikutip laman BBC.
Seruan India
Melihat harga minyak dunia terus naik, India mendesak negara-negara produsen minyak untuk bersikap lebih sensitif terhadap kondisi ekonomi global. India menyebut negara-negara konsumen terpukul oleh harga minyak global yang terus meroket. Seruan dari New Delhi ini mengamplifikasi pernyataan Leon.
”Selama pandemi, ketika harga minyak mentah anjlok, dunia bersatu untuk menstabilkan harga agar berkelanjutan bagi produsen. Sekarang, ketika dunia berada di titik puncak resesi dan perlambatan ekonomi, produsen minyak perlu menunjukkan kepekaan yang sama pada konsumen,” kata Menteri Perminyakan India Hardeep Singh Puri seusai bertemu dengan Ghais di Abu Dhabi, Rabu (4/10/2023).
India dan sejumlah negara ekonomi utama dunia, termasuk AS dan sekutu Barat, mencoba mendesak OPEC+ agar meningkatkan produksi minyaknya untuk membantu perekonomian global, terutama agar biaya yang dikeluarkan untuk energi menjadi lebih rendah. Untuk memenuhi kebutuhan energinya, India mengimpor 85 persen kebutuhan minyaknya. Dari jumlah itu, sekitar 60 persen berasal dari negara-negara anggota OPEC, senilai 101 miliar dollar AS.
Baca juga: Eropa Musim Dingin, Harga Minyak Dunia Akan Melambung Lagi
Puri menyatakan, negara-negara OPEC sering kali membantah jika mereka dinilai mengendalikan harga minyak di pasar global. Akan tetapi, kenyataannya, menurut Puri, saat negara-negara OPEC mengendalikan jumlah minyak yang mereka lempar ke pasar global atau sebaliknya, tindakan itu berkaitan dengan harga minyak dunia.
”Posisi pembuka dengan negara produsen mana pun—seperti yang akan mereka katakan kepada Anda, ’Kami tidak berurusan dengan harga’, tanggapan saya adalah, jika Anda berurusan dengan jumlah energi yang Anda dikeluarkan atau stok yang Anda keluarkan, Anda mungkin tidak mau. Tetapi, (tindakan) Anda benar-benar memengaruhi harga,” kata Puri.
Puri menyatakan, India tetap akan bisa mengimpor minyak dalam jumlah besar meski harga terkerek hingga 100 dollar AS per barel. Akan tetapi, tidak begitu halnya dengan negara-negara berkembang konsumen minyak.
Baca juga: Makin Dekat ke Rusia, Arab Saudi Pimpin Pemangkasan Produksi Minyak
”Saya berharap (harga minyak) tidak melebihi 100 dollar AS. India akan mampu mengatasinya. Saya khawatir dengan apa yang terjadi di negara-negara berkembang lainnya,” katanya dalam panel di Kongres Progresif Energi Abu Dhabi Internasional. (AFP/REUTERS)