Wolfgang Munchau seorang analis dari Eurointelligence, menyimpulkan bahwa tiga kekuatan utama Jerman terletak pada daya saing harga produk, kepemimpinan teknologi, dan kestabilan geopolitik. “Semua itu telah hilang."
Oleh
SIMON P SARAGIH S
·4 menit baca
Gelar pesakitan dari Eropa kini mengarah ke Jerman. Gelar tersebut awalnya adalah untuk Kekaisaran Ottoman, lalu Tsar Nicholas I dari Rusia, kemudian diikuti Inggris. Pemudaran kekuatan negara dan ekonomi memunculkan gelar tersebut. Kini Jerman berpotensi meraih gelar serupa “the sick man of Europe”.
Demikian dituliskan situs media El Pais, harian Spanyol, 4 September. Pemicunya adalah kelesuan ekonomi Jerman sejak akhir 2022 dan sepanjang 2023. Ekonomi Jerman sedang terpukul berat dan menjalani krisis terbesar di jajaran zona euro.
Dalam laporan Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) pada 19 September, ekonomi Jerman terkontraksi 0,2 persen sepanjang 2023, turun dari pertumbuhan 1,9 persen pada 2022. Di antara negara-negara anggota G20, hanya Jerman dan Argentina yang mengalami kontraksi sepanjang 2022 (Bloomberg, 19 September).
Kenaikan suku bunga untuk meredam inflasi turut menjadi penyebab kelesuan. Penuaan penduduk menjadi faktor penambah di balik kelesuan tersebut. Seluruh dunia dan Barat khususnya, sama-sama terpukul secara ekonomi.
Namun Jerman, menurut Clare Lombardelli, ekonom OECD adalah yang paling terpukul di seantero Eropa. Sejumlah opini dari para pakar bermunculan untuk menjelaskan fenomena Jerman tersebut.
Pada September 2023, hasil studi Friedrich Naumann Foundation for Freedom menyarikan ketergantungan pada Rusia, khususnya dalam sektor energi sebagai salah satu penyebab kelesuan. Investasi dua arah antara Jerman dan Rusia juga dianggap sebagai pemukul hebat. Invasi Rusia ke Ukraina yang memunculkan sanksi Barat pimpinan AS ke Rusia, telah memukul Jerman paling keras. Lembaga yang berbasis di Postdam, Jerman tersebut menyerukan pelepasan ketergantungan Jerman secara perekonomian terhadap Rusia.
Efek China
Perekonomian Eropa yang sudah lama lesu darah tentu menjadi dasar kelesuan Jerman, faktor Rusia hanya menambah. Jauh sebelum ekonomi Rusia relatif bangkit, ekonomi Jerman telah berjaya dengan kekuatan industrinya. Perkembangan zaman kemudian membuat Jerman mencari alternatif pertumbuhan ekonomi, termasuk relasi dengan Rusia. Ini menguat di era Kanselir Angela Merkel.
Kelesuan ekonomi Eropa juga membuat Jerman menemukan darah baru ekonomi dengan pertumbuhan tinggi perekonomian China. Jerman menemukan pijakan kuat di China untuk berbagai jenis industri, khususnya otomotif dan kimia dari sisi ekspor. Sayangnya, ekonomi China terpukul pandemi Covid-19. Kelesuan ekonomi China turut menurunkan ekspor Jerman, menurut OECD.
Namun relasi Jerman dengan China secara ekonomi tidak hanya soal kelesuan pertumbuhan. Jerman turut terpukul karena ada pesaing baru, yakni China. BYD, sebuah perusahaan China yang berdiri pada 1995 dan bergerak di bidang elektronik, otomotif, energi baru dan jaringan kereta api dengan baterai yang bisa diisi ulang telah mengancam Jerman.
Patrick Artus analis dari Natixis, sebuah bank investasi, menyatakan ada pesaing Jerman dalam produk elektronik, termasuk otomotif. Hal ini didukung Kepala ING untuk wilayah Jerman dan zona euro, Carsten Brzeski, bahwa dengan China -Jerman menghadapi dua faktor. “China telah menjadi masalah struktural bagi Jerman karena China tidak lagi hanya menjadi pembeli produk Jerman tetapi telah menjadi pesaing,” kata Brzeski.
Dunia yang berubah
Jerman telah menghadapi dunia yang berubah. Marcel Fratzscher, Presiden DIW Berlin, badan peneliti, menyebutkan daya saing Jerman telah tergerogoti. Wolfgang Munchau seorang analis dari Eurointelligence, menyimpulkan bahwa tiga kekuatan utama Jerman terletak pada daya saing harga produk, kepemimpinan teknologi, dan kestabilan geopolitik. “Semua itu telah hilang,” kata Munchau.
Oleh sebab itu kejayaan Jerman diduga telah meredup. “Hampir satu abad terakhir, Jerman mendominasi pasar global dengan produk kualitas tinggi, produk mewah dan permesinan. Semua produk itu pernah sangat laris di pasar global. Hasilnya adalah pekerjaan meluas, keuangan pemerintah Jerman kuat sementara Eropa lainnya terlilit utang, sehingga Jerman menjadi negara yang layak ditiru. “Situasinya sekarang tidak lagi seperti itu bagi Jerman,” demikian Euro News, 23 September. Germany went from envy of the world to the worst-performing major developed economy. What happened? | Euronews
Menolak status pesakitan
Pimpinan umum Deutsche Bank Christian Sewing, kepada CNBC, 20 September, menolak status pesakitan bagi Jerman.“Kita bukan the sick man of Europe,” kata Sewing dalam pertemuan Handelsblatt Banking Summit. “Akan tetapi status itu akan terwujud jika kita tidak mengatasi masalah struktural perekonomian,” kata Sewing.
Sewing menyarankan agar birokrasi Jerman tidak terlalu kaku.Sewing juga menyebutkan kelemahan Jerman lainnya seperti ketidakstabilan harga energi, sambungan internet yang lambat, jaringan kereta yang usang, lambatnya digitalisasi, kurangnya tenaga kerja terampil.
Bagaimana Jerman melakukan semua itu? Jerman tampaknya akan terhambat dengan niat reformasi termasuk karena faktor geopolitik. Ini akan melemahkan upaya penguatan ekonominya.
Pada 16 November 2018, seperti dikutip Reuters, mantan Kanselir Jerman Gerhard Schroeder telah mengingatkan negaranya agar tidak mendengarkan serangan Presiden AS Donald Trump terhadap China. Schroeder menyarankan kerja sama harus dilakukan dengan erat dengan China. Tentu Schroeder tidak setuju semuanya tentang China.
Hanya saja, “Kita harus berpikir tentang siapa sekutu kita, siapa yang memiliki kepentingan serupa dengan kita. Dan tentu saya berpikir juga tentang China,” kata Schroeder. “Kita tidak bisa menjadi bagian dari Amerika Serikat dalam perang dagang dengan China,” lanjutnya.
Nasib Jerman sekarang ini terletak di tangan Kanselir Olaf Scholz. Apakah ia seberani Schroder yang menentang keras invasi Irak, dan seberani Kanselir Angela Merkel dengan relasi bisnis kuat dengan Rusia. Kini Olaf Scholz harus memilih, antara menuruti Amerika Serikat atau menyelamatkan Jerman dan Uni Eropa dan krisis lanjutan termasuk krisis Ukraina. Jerman telah menjadi korban geopolitik, dalam arti sarannya untuk rekonsiliasi dengan Rusia dan China sejak lama tidak didengar oleh AS. (REUTERS/AP/AFP)