Scholz Mempertahankan China Sebagai Mitra Penting Jerman
Melalui tulisan opininya yang dimuat di media "Politico", Kanselir Jerman Olaf Scholz menegaskan bahwa Jerman tidak mungkin berpisah dari China, tetapi tidak boleh pula terlalu bergantung pada negara itu.
Oleh
KRIS MADA
·3 menit baca
AFP/JENS SCHLUETER/NOEL CELIS
Gabungan foto yang dibuat, Selasa (1/11/2022), ini memperlihatkan Kanselir Jerman Olaf Scholz (kiri) saat berada di Berlin, Jerman, 16 September 2022; dan Presiden China Xi Jinping di Beijing, China, 23 Oktober 2022.
Kanselir Jerman Olaf Scholz memulai lawatan singkat ke China, Kamis (3/11/2022) malam. Lawatan ini dikritik sebagian orang di Eropa. Ada kemauan Berlin untuk mempertahankan Beijing sebagai mitra terpentingnya.
Lewat lawatan, 3-4 November ini, Scholz mempertahankan tradisi para kanselir Jerman selalu menyambangi China. Lawatan ke Beijing itu bagian dari perjalanan ke Asia yang dilakoni para pemimpin Jerman. Selain ke China, Scholz bertandang ke Kamboja, dan Indonesia. Sementara Presiden Jerman Frank-Walter Steinmeier melawat ke Jepang dan Korea Selatan.
Scholz diiringi sejumlah pebisnis Jerman dalam lawatan ke China. Sejak 50 tahun lalu, Jerman berperan penting dalam perkembangan ekonomi China. Teknologi dan modal Jerman membantu China mengembangkan industri menjadi seperti sekarang. Pada 2021, volume perdagangan Berlin-Beijing mencapai 245 miliar euro. China pun menjadi mitra dagang terbesar Jerman.
Pada 1991, nilai perdagangan dengan China hanya setara 1 persen produk domestik bruto (PDB) Jerman. Pada 2021, nilainya setara 9,5 PDB Jerman. Tahun itu, Beijing mencatat Jerman sebagai sumber 14 persen investasi asing China. Pada Januari-Juni 2022, Jerman menanamkan 10 miliar euro di China. Kamar dagang dan Industri China menyebut lima perusahaan Jerman sebagai investor utama China.
Bersamaan hari kedatangannya di Beijing, opini Scholz diterbitkan media Politico. Di media Amerika Serikat ini, Scholz kembali menegaskan tak mungkin berpisah dari China, tetapi tak boleh pula terlalu bergantung pada negara itu.
AFP/PETER WUTHERICH
Kanselir Jerman Olaf Scholz (kedua dari kanan) dan Sekretaris Pemerintahan Joerg Kukies (kanan) di Berlin, Jerman, Kamis (3/11/2022), berjalan menuju pesawat yang akan menerbangkannya ke China.
Menurut Scholz, dihuni 1,4 miliar jiwa, China terlalu penting untuk diabaikan Jerman. China akan tetap jadi mitra penting Jerman dan Eropa. “Kami tidak mau berpisah dari hal itu,” tulis Scholz.
Ia juga tidak mau Jerman diseret dalam Perang Dingin era baru. Sebagai negara yang terpaksa dipisah gara-gara Perang Dingin, Jerman tidak mau terlibat dalam blok-blok baru, seperti yang pernah berlaku saat Perang Dingin.
Sikap serupa pernah ditunjukkan pendahulunya, Angela Merkel. Dalam sejumlah kesempatan, Merkel menegaskan tidak mau negaranya diseret Amerika Serikat dalam permusuhan Washington-Beijing.
Kritik
Lawatan Scholz ke Beijing memicu kritik dari dalam dan luar Jerman. Presiden Perancis Emmanuel Macron menyindir lawatan itu sebagai pengesahan atas hasil kongres Partai Komunis China (PKC). Kebetulan, Scholz melawat selepas kongres PKC selesai.
Menteri Luar Negeri Jerman Annalena Baerbock menyebut, Berlin harus lebih tegas dan keras pada Beijing. Dalam wawancara dengan Der Spiegel, ia menyebut sikap itu harus dipahami dengan jelas oleh Beijing.
“Kami sudah menyatakan bahwa China adalah mitra dalam berbagai isu global dan kami tidak mungkin berpisah (dari China). Walakin, kami juga menegaskan China sebagai pesaing dan terus menjadi rival sistematis,” kata Baerbock.
AFP/POOL/BERND LAUTER
Menteri Luar Negeri Jerman Annalena Baerbock (kanan) berjabat tangan dengan Menteri Luar Negeri Perancis Catherine Colonna dalam pertemuan bilateral di sela pertemuan para menlu negara-negara G7 di City Hall, Muenster, Jerman, Kamis (3/11/2022).
Anggota parlemen Eropa Samuel Cogolati mempertanyakan tujuan lawatan Scholz. “(Lawatan itu) salah karena setidaknya dua alasan. Pertama, menunjukkan Uni Eropa tidak punya sikap tunggal soal China,” kata dia, sebagaimana dikutip media Euronews.
Ia merujuk pada keputusan UE menetapkan China sebagai pesaing dan lawan penting. Ia juga menyebut lawatan Scholz sebagai wujud kegagalan belajar dari pengalaman sangat bergantung pada satu negara. Kini Jerman dan sejumlah anggota UE sedang tertekan karena menggantungkan pasokan energi dari Rusia. Rantai pasok industri di Jerman dan sejumlah anggota UE, menurut Cogolati, kini bergantung pada China. “Buruk bagi masa depan Uni Eropa,” ujarnya.
Peneliti kajian China pada German Marshal Fund Andrew Small menyebut, di Eropa ada wacana untuk mengurangi ketergantungan pada China. Lawatan Scholz akan mengesankan Uni Eropa atau setidaknya sebagian anggota organisasi itu tidak mau memutus ketergantungan dari China.
“Memang cukup rumit karena sebagai pemimpin negara, bisa saja melakukan lawatan bilateral. Masalahnya, perlu dipertanyakan bagaimana dampak lawatan itu pada pesan yang ingin disampaikan Uni Eropa pada China?” kata dia.
AP PHOTO/POOL/ANDY WONG
Olaf Scholz saat masih menjabat Menteri Keuangan Jerman (kiri) berjabat tangan dengan Wakil Perdana Menteri China Liu He setelah keduanya menyaksikan penandatanganan Dialog Keuangan Tingkat Tinggi China-Jerman di Wisma Tamu Negara Diaoyutai, Beijing, China, 18 Januari 2019.
Scholz, menurut Small, mengesankan ingin menjadi pembawa pesan UE kepada China. Dengan protes Macron dan sejumlah politisi Eropa, lanjut Small, sulit bagi Scholz mengklaim sedang menjalankan peran sebagai pembawa pesan.
“Malah sepertinya Jerman sedang mengejar kepentingan nasional alih-alih UE. Di antara mitra koalisinya saja ada perbedaan pandangan, apalagi dengan koleganya di Eropa,” tutur Small. (AFP/REUTERS)