Resesi Eropa Tidak Berpengaruh Signifikan terhadap Perekonomian Indonesia
Revisi pertumbuhan ekonomi oleh Badan Pusat Statistik Uni Eropa atau Eurostat menegaskan krisis yang tengah melanda ”Benua Biru”. Indonesia perlu menyikapi situasi itu dengan perluasan pasar ekspor.
Oleh
Agustinus Yoga Primantoro
·4 menit baca
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Siluet deretan gedung bertingkat di kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat, Senin (17/4/2023).
JAKARTA, KOMPAS — Resesi yang terjadi di Eropa tidak berdampak secara signifikan terhadap perekonomian di Indonesia. Kondisi ini justru membuka kesempatan bagi Indonesia untuk meningkatkan pangsa pasar perdagangan ekspor batubara dan diversifikasi ekspor ke negara lain.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad berpandangan, resesi Eropa dapat berdampak terhadap neraca perdagangan Indonesia. Akan tetapi, dampak yang dirasakan oleh Indonesia tidak signifikan.
”Kontribusi Uni Eropa dari segi permintaan untuk impor ke Indonesia akan menurun sehingga dapat berdampak pada sumbangan ekspor terhadap pertumbuhan ekonomi kita. Tapi, hal ini tidak akan berdampak signifikan karena ekspor kita ke Eropa kurang dari 10 persen,” katanya saat dihubungi dari Jakarta, Sabtu (10/6/2023).
Seperti diberitakan AFP pada Kamis (8/6/2023), Badan Statistik Uni Eropa (Eurostat) merevisi pertumbuhan ekonomi zona euro pada triwulan I-2023 dari yang sebelumnya tumbuh 0,1 persen menjadi terkontraksi 0,1 persen. Ini terjadi akibat kondisi perekonomian Jerman yang pada bulan lalu dilaporkan jatuh ke dalam resesi.
ADRYAN YOGA PARAMADWYA
Tauhid Ahmad, ekonom Indef, di acara ”Bincang Dua Puluh” di Hotel Pullman, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (11/10/2022).
Dengan demikian, Eropa memasuki ambang resesi teknis lantaran selama dua kuartal berturut-turut mengalami stagnasi. Ekonom ING Bank, Charlotte de Montpellier, memperkirakan, angka pertumbuhan ekonomi pada tahun 2023 hanya mencapai 0,5 persen. ”Sejak musim semi, semua data buruk. Ekonomi Eropa berada dalam fase stagnasi dan mengalami kesulitan melewati musim dingin karena guncangan energi,” ujarnya.
Senada dengan Tauhid, Wakil Direktur Utama Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) Jahen Fachrul Rezki menjelaskan, dampak resesi Eropa terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak akan terlalu besar. Sebab, persentase ekspor Indonesia ke Uni Eropa pada periode Januari hingga April 2023 tercatat 7,25 persen dari total ekspor Indonesia.
Terdapat beberapa sektor industri yang terpukul akibat resesi Eropa, seperti produk-produk alas kaki, furnitur, dan karet. Ini karena negara-negara zona Eropa menjadi salah satu andalan pangsa pasar produk-produk tersebut.
”Ekspor ke Uni Eropa terhadap total ekspor nonmigas kita mencapai 5,8 miliar dollar AS, jauh lebih kecil dibandingkan dengan China sebesar 20,5 miliar dollar AS, ASEAN 15,1 miliar dollar AS, Amerika Serikat 7,4 miliar AS, dan Jepang 6,8 miliar dollar AS. Sederhananya, pertumbuhan ekonomi di EU sebesar 1 persen berdampak pada ekonomi Indonesia sebesar 0,8 persen,” ujarnya.
Wakil Kepala LPEM FEB UI Mohamad Dian Revindo menambahkan, negara-negara anggota zona Eropa tersebut juga tidak masuk ke dalam 10 tujuan utama ekspor Indonesia. Berdasarkan urutannya, Belanda menempati posisi ke-12, Jerman di posisi ke-16, Italia di posisi ke-17, dan Spanyol di posisi ke-20. Lebih lanjut, keempat negara tersebut pada 2022 hanya menyumbang 4,8 persen dari total ekspor Indonesia ke seluruh dunia.
Hal ini juga berlaku pada impor Indonesia dari negara-negara zona Eropa. Jerman sebagai sumber impor utama dengan kontribusi 1,6 persen dari total impor Indonesia berada di posisi ke-15.
AGUSTINUS YOGA PRIMANTORO
Wakil Kepala LPEM FEB UI Mohamad Dian Revindo dalam acara rilis Indonesia Economic Outlook Q2-2023 bertajuk Back to the Old Normal yang diadakan oleh LPEM FEB UI, di Jakarta, Kamis (4/5/2023).
Kendati demikian, lanjut Revindo, terdapat beberapa sektor industri yang terpukul akibat resesi Eropa seperti produk-produk alas kaki, furnitur, dan karet. Ini karena negara-negara zona Eropa menjadi salah satu andalan pangsa pasar produk-produk tersebut.
”Kondisi zona Euro pada kuartal II-2023 diperkirakan belum membaik. Selain karena kenaikan harga pangan dan energi, kenaikan suku bunga oleh European Central Bank yang telah dilakukan tujuh kali dengan total kenaikan 3,75 persen semakin membuat lesu dunia usaha di 20 negara anggota zona Eropa,” ujarnya.
Selain berpengaruh terhadap ekspor dan impor, krisis ekonomi di Eropa turut berpengaruh pada penanaman modal luar negeri di Indonesia. Badan Pusat Statistik menyebut, realisasi investasi penanaman modal Eropa pada periode 2022 tercatat 2,9 miliar dollar AS atau setara 6,3 persen dari total penanaman modal luar negeri, yakni 45,6 miliar dollar AS.
Namun, penanaman modal Eropa di Indonesia pada tahun 2022 cenderung menurun sekitar 16 persen dari tahun 2021 sebesar 3 miliar dollar AS. Tauhid menjelaskan, kemungkinan investasi dari Eropa juga menurun karena mereka akan mempertimbangkan investasi domestik ketimbang luar negeri.
”Berdasarkan posisinya, Indonesia berada di posisi ketiga negara Asia Tenggara yang menjadi tujuan investasi Eropa setelah Singapura dan Malaysia,” ujarnya.
Dari sisi perdagangan, krisis yang tengah melanda negara-negara ”Benua Biru” ini dapat menjadi kesempatan bagi Indonesia. Batubara, misalnya, selama tahun 2022, permintaan batubara dari Eropa untuk mengatasi krisis energi membuat Indonesia mencatatkan rekor ekspor 6,6 juta ton.
Namun, kata Revindo, potensi permintaan terhadap batubara kali ini tidak sebesar tahun lalu. Sebab, selama setahun terakhir sejumlah negara Eropa mempercepat pembangunan pembangkit listrik bertenaga surya dan angin.
”Peningkatan ekspor batubara berisiko menghambat upaya hilirisasi batubara. Selain itu, ekspor batubara juga berpotensi menyebabkan industri dalam negeri mendapat batubara dengan kualitas rendah,” katanya.
Revindo menambahkan, Indonesia juga berpeluang untuk meyakinkan negara-negara zona Eropa dalam perdagangan produk pangan. Uni Eropa perlu mempertimbangkan impor produk pangan, seperti minyak nabati baik yang berbasis sawit maupun kopra, guna mengurangi tingginya harga pangan.
Di sisi lain, Indonesia juga perlu kembali mempertimbangkan pasar dari kawasan lain. Dalam jangka menengah panjang, sudah waktunya Indonesia melihat peluang pasar di negara-negara di kawasan Afrika, Amerika Selatan, dan Asia Tengah yang masih punya peluang berkembang secara pesat.