Perekonomian ASEAN akan tumbuh, antara lain, jika hilirisasi sumber daya alam dilakukan. Presiden RI Joko Widodo sering membahas soal hilirisasi. Pembahasan itu adalah soal menyebarkan gagasan pembangunan.
Oleh
LUKI AULIA, KRIS MADA
·3 menit baca
Pada berbagai forum regional dan internasional, Presiden RI Joko Widodo membahas soal hilirisasi. Gagasan itu sejatinya bukan soal pemanfaatan sumber daya alam. Pembahasan itu adalah soal menyebarkan gagasan pembangunan.
Gagasan soal hilirisasi kembali dibahas Presiden kala membuka Forum ASEAN-Indo-Pasifik (AIPF), Selasa (5/9/2023), di Jakarta. Perekonomian ASEAN akan tumbuh, antara lain, jika hilirisasi sumber daya alam dilakukan. Presiden juga membahas soal kebutuhan dana transisi energi ASEAN. Nilainya mencapai 29,4 triliun dollar AS. Dana sebesar itu membutuhkan kemitraan yang menawarkan keuntungan sekaligus berkelanjutan. Pendanaan juga perlu menemukan skema-skema inovatif.
Wakil Menteri Luar Negeri RI Pahala Mansury mengatakan, pembiayaan inovatif menjadi salah satu fokus AIPF. Indonesia berusaha menyediakan platform di antara lembaga keuangan dan pihak-pihak lain untuk membahas pembiayaan aneka proyek pembangunan. Forum itu salah satu upaya ASEAN membawa manfaat nyata bagi warga Indo-Pasifik.
Pembiayaan transisi energi merupakan ranah baru bagi mayoritas negara Indo-Pasifik. ”Indonesia dan Vietnam termasuk terdepan dalam mencari terobosan di sektor ini,” kata Chief Sustainability Officer (CSO) Standard Chartered Marisa Drew.
Ia menyebut, Indonesia dan Vietnam termasuk negara Asia Pasifik yang berinisiatif mendorong pencarian pendanaan transisi energi. Bersama sejumlah pihak, Standard Chartered ikut memfasilitasi upaya Indonesia membiayai transisi energi. ”Meski setiap negara punya kondisi masing-masing, konsep dan model besar dari Indonesia bisa menjadi contoh di negara lain. Penerapan di negara lain akan disesuaikan dengan kondisi masing-masing,” tutur Drew.
Komitmen
Memang, bukan hanya Indonesia dan Vietnam yang punya inisiatif pada transisi energi. ”Masalah sekarang bukanlah kurangnya inisiatif. Tantangan sekarang adalah bagaimana mewujudkan komitmen tersebut. Memang tidak akan mudah,” kata Drew.
Di Indonesia dan sejumlah negara Asia Tenggara, Standard Chartered terlibat dalam sejumlah proyek energi terbarukan. Anggota Glasgow Financial Alliance for Net Zero (GFANZ) itu, antara lain, terlibat dalam pembiayaan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) terapung di Cirata. Di Singapura, lembaga keuangan itu ikut membangun mekanisme pasar karbon. ”Mekanisme itu untuk mencari platform kredit karbon. Hasilnya bisa dipakai untuk membiayai program lain di proses transisi energi,” ujar Drew.
Pahala mengatakan, bank-bank di Asia Tenggara kini, antara lain, menggarap soal pengurangan emisi. Konsepnya seperti pasar karbon yang sedang dikembangkan di Singapura. ”Kami berharap bank-bank ASEAN bisa memimpin upaya pembentukan mekanisme ini,” ujarnya.
GFANZ terlibat dalam upaya penggalangan dana dalam Kemitraan Transisi Energi yang Adil (JETP). Untuk Indonesia, ada janji menggalang 20 miliar dollar AS yang diperlukan dalam peralihan dari energi fosil ke energi bersih dan terbarukan. Separuh dari dana JETP, antara lain, akan dimobilisasi GFANZ, sedangkan separuh lagi dari negara-negara kaya.
Drew mengaku belum bisa memastikan bagaimana dana itu akan diwujudkan dan dimanfaatkan. Bisa saja dana itu dipakai untuk garansi agar bisa mendapat pinjaman lebih besar lagi. Bisa juga dipakai untuk aneka pembiayaan lain.
Ia mengingatkan, disebut transisi adil karena proses peralihan harus berimbang untuk semua. ”Tujuan akhirnya adalah menyediakan energi bersih dan terjangkau. Karena kalau mahal, transisi energi akan menjadi ide yang sulit diterima,” kata Drew.