Menagih Komitmen Perlindungan Lingkungan ASEAN
Isu lingkungan menjadi penting dalam KTT ASEAN tahun ini. Peran Indonesia diperlukan untuk menjawab kebutuhan solusi atas krisis iklim ini.
Di tengah semarak KTT ASEAN, antara krisis Myanmar, penguatan kerja sama ekonomi, dan krisis Laut China Selatan, terselip agenda yang tak kalah penting, yakni agenda lingkungan.
Komitmen ASEAN, terutama Indonesia, terhadap isu lingkungan sangat penting. Hal ini mengingat krisis iklim yang makin genting. Pasalnya, ASEAN menjadi salah satu kawasan yang paling terdampak apabila persoalan lingkungan ini semakin parah.
Dalam pertemuan tingkat tinggi kali ini, persoalan lingkungan dibicarakan secara intensif dalam ASEAN Climate Forum. Forum ini merupakan salah satu bagian dari rangkaian KTT Bisnis & Investasi ASEAN (ASEAN Business & Investment Summit).
Dalam kesempatan ini, para negara anggota menekankan komitmen terhadap lingkungan, yang diturunkan dalam agenda yang lebih terukur. Beberapa di antaranya adalah target net zero di kawasan Asia Tenggara, pasar karbon dan perihal keuangan berkelanjutan sebagai pendorong tercapainya net zero.
Baca Juga: Meningkatkan Kualitas SDM ASEAN, Menguatkan Daya Saing Global
Krisis Iklim
Inisiatif lingkungan, dalam hal ini yang berfokus pada krisis iklim, sebetulnya bukan kali ini saja ditunjukkan. Menanggapi pergelaran UNFCCC COP26 tahun lalu, ASEAN secara kolektif telah menyampaikan sikapnya dengan tegas.
Bagi seluruh organisasi kawasan ini, perubahan iklim adalah persoalan yang memiliki potensi dampak besar dan menyeluruh ke tiap sendi hidup manusia, termasuk pada isu pangan, air, energi, kesehatan, dan ekosistem.
ASEAN juga menyadari bagaimana risiko akibat krisis iklim akan semakin parah dirasakan oleh kelompok marginal, seperti perempuan, anak-anak, kelompok lansia, warga dengan disabilitas, dan masyarakat berpendapatan rendah.
Salah satu bahaya nyata dari krisis iklim yang mengancam kawasan Asia Tenggara adalah kenaikan muka air laut. Pasalnya, beberapa anggota ASEAN termasuk ke dalam negara-negara dengan garis pantai yang relatif panjang.
Indonesia sebagai contohnya, memiliki total panjang garis pantai sekitar 51.000 kilometer. Angka ini menjadikan Indonesia sebagai negara dengan garis pantai terpanjang ketiga di dunia.
Selain Indonesia, Filipina juga menjadi salah satu negara yang memiliki garis pantai cukup panjang di kisaran 36.000 km, menjadikannya negara kelima dengan garis pantai terpanjang di dunia.
Baca Juga: ASEAN Bisa Menua Sebelum Kaya
Emisi karbon
Dalam payung besar isu krisis iklim, emisi karbon menjadi salah satu isu paling dominan. Di kawasan Asia Tenggara, persoalan ini justru paling banyak disumbang Indonesia. Tak ayal, untuk menyelesaikan isu ini, perlu komitmen yang kuat dari pemerintah.
Memang, jumlah emisi Indonesia masih terpaut jauh dibandingkan dengan negara-negara polutan mayor, seperti China, AS, India, Rusia, dan Jepang.
Negara-negara ini memiliki tingkat emisi karbon yang luar biasa besar, di atas 1 miliar metrik ton dalam setahun. Jika digabung, kelima negara ini mewakili sekitar 59 persen total emisi karbon dunia yang berada di angka 37,12 miliar metrik ton pada 2021.
Namun, berdasarkan catatan Our World in Data pada 2021, Indonesia menjadi negara anggota ASEAN dengan emisi CO2 terbesar. Saat itu, Indonesia mengembuskan lebih dari 619.000 metrik ton emisi karbon ke udara.
Angka ini jauh melebihi besaran emisi negara di posisi kedua hingga nyaris dua kali lipat. Di tahun yang sama, Vietnam mengeluarkan emisi CO2 sekitar 326.000 metrik ton.
Di urutan ketiga, Thailand, memiliki jumlah emisi karbon sebesar 278.500 metrik ton pada 2021. Sedikit di bawahnya, Malaysia, menduduki posisi keempat dengan polusi karbon sekitar 256.000 metrik ton di rentang waktu serupa.
Tak heran, di tahun itu Indonesia pun termasuk ke dalam 10 negara dengan jumlah emisi karbon terbesar di dunia. Tepatnya, dengan angka keluaran CO2 tersebut, Indonesia menduduki peringkat ke sembilan, setelah Arab Saudi yang mengeluarkan emisi sekitar 670.000 metrik ton dalam setahun.
Sayangnya, langkah drastis sebagai wujud dari komitmen Pemerintah Indonesia mungkin sulit untuk dilihat dalam waktu dekat. Justru, tren terbaru menunjukkan potensi peningkatan emisi karbon Indonesia hingga beberapa tahun ke depan. Hal ini sangat terkait dengan geliat industri ekstraktif Indonesia yang memiliki primadona yang baru, yakni nikel.
Berdasarkan estimasi dari Kementerian ESDM, diperkirakan Indonesia akan memproduksi 694 juta ton batubara pada 2023. Jumlah tersebut merupakan peningkatan sebesar 5 persen dari target 2023 yang berada di angka 663 juta ton. Pertumbuhan produksi ini diprediksi didorong oleh permintaan dari India dan China.
Terlebih lagi, di luar dari kedua negara tersebut, yang merupakan importir terbesar batubara Indonesia, pasar bagi produk batubara Indonesia makin terbuka lebar di Benua Biru pada 2022. Hal ini utamanya didorong oleh embargo Uni Eropa terhadap produk batubara Rusia sebagai bentuk proses invasi Rusia ke Ukraina yang kini masih berlangsung.
Lebih lanjut, permintaan batubara yang meningkat ini juga didorong oleh makin menggeliatnya industri nikel. Dalam pemrosesannya, smelter nikel membutuhkan batubara sebagai sumber energi dalam jumlah yang cukup masif.
Tak ayal, di tengah kuatnya dorongan, tak mudah untuk mengerem laju dari industri ekstraktif ini. Untuk bisa memenuhi target net zero, Indonesia perlu secara serius memikirkan transisi energi, termasuk menghentikan pembangunan pembangkit listrik energi fosil dan bahkan mematikan beberapa yang kini aktif. Tentunya, hal ini bisa berdampak besar. Pasalnya, struktur energi Indonesia masih sangat didominasi oleh energi fosil.
Baca Juga: Meski Tidak Diagendakan, Isu Peta China Dibahas di Sidang Pejabat ASEAN
Pendanaan
Maka, Indonesia dan negara anggota ASEAN lain akan sulit untuk bisa mewujudkan komitmen lingkungan ini tanpa banyak uluran tangan. Untuk bisa mempercepat transisi energi ke sumber yang lebih bersih, dibutuhkan pembangunan infrastruktur besar-besaran.
Tentunya, hal ini akan membutuhkan modal yang tak sedikit. Diperkirakan, dibutuhkan tak kurang dari 2 triliun dollar AS untuk bisa menyiapkan transisi energi ke energi baru terbarukan (EBT) dalam waktu 10 tahun ke depan.
Urgensi pendanaan ini pun sempat disampaikan dalam pernyataan bersama (joint statement) ASEAN atas UNFCCC COP26. Dalam dokumen tersebut, organisasi ini menekankan pentingnya implementasi dari komitmen negara anggota UNFCCC dan Perjanjian Paris dalam hal pendanaan, pengembangan, dan transfer teknologi serta pembangunan kapasitas untuk memfasilitasi negara anggota ASEAN serta negara berkembang lainnya.
Sedikit banyak, komitmen ini pun telah diupayakan untuk dipenuhi. Salah satunya terlihat dari golnya perjanjian Just Energy Transition Partnership (JETP) tahun lalu.
Melalui perjanjian ini, negara maju yang tergabung dalam G7 akan menggelontorkan 20 miliar dollar AS ke Indonesia untuk mempercepat transisi ke EBT. Harapannya, perjanjian tersebut bisa membantu Indonesia membatasi emisi karbon di kisaran 290 juta metrik ton pada 2030. (LITBANG KOMPAS)
Baca Juga: Indonesia untuk ASEAN, ASEAN untuk Indonesia